Mohon tunggu...
Marsekal Vero Herivo
Marsekal Vero Herivo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa jurusan Sosiologi di UIN Walisongo Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengkritisi Ulang Pernyataan Karl Marx: Agama adalah Candu Masyarakat?

7 Juni 2024   17:05 Diperbarui: 7 Juni 2024   17:27 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Handwritten graffiti Religion Is The Opium sprayed on the wall (sumber: AdobeStock by M-SUR)

Konteks Historis Pernyataan Marx

Pada abad ke-19, Eropa terjadi peristiwa besar yang dinamakan Revolusi Industri, peristiwa ini mengalami dampak besar yang membuat Eropa mengalami perubahan sosial dan ekonomi yang sangat drastis. Periode ini ditandai dengan peralihan dari ekonomi agraris ke ekonomi industri, yang dimana hal ini mengakibatkan migrasi massal dari pedesaan ke kota-kota besar.

Kota-kota seperti Manchester dan London mengalami pertimbuhan yang pesat dari migrasi massal tersebut, akan tetapi pertumbuhan ini tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan bagi mayoritas penduduknya. Pada saat itu kondisi pekerja di pabrik-pabrik sangat buruk, dengan jam kerja yang panjang, upah rendah, dan lingkungan kerja yang tidak aman. Banyak pekerja hidup dalam kemiskinan ekstrem dan menghadapi eksploitasi yang sistematis oleh pemilik modal (kondisi kapitalisme pada saat itu).

Revolusi Industri juga membawa perubahan dalam struktur sosial yaitu munculnya kelas pekerja (proletariat) dan kelas pemilik modal (borjuis). Dua kelas sosial ini berdampak pada ketimpangan sosial yang tajam, proletariat dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat keras dan tidak manusiawi demi keuntungan para pemilik modal (borjuis). Dari keadaan ini juga yang sampai pada akhirnya menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan proletar dan memunculkan berbagai gerakan sosial yang menuntut adanya keadilan.

Pengaruh Filsafat Hegel

Karl Marx adalah seorang pemikir yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel memandang sejarah sebagai proses dialektis, yang di mana setiap tahap perkembangan sosial dipicu oleh adanya kontradiksi internal yang pada akhirnya menghasilkan suatu sintesis baru. Marx mengadopsi pendekatan dialektis ini, akan tetapi Marx juga menggantikan idealisme Hegel dengan materialisme. Menurut Marx, materi—terutama hubungan produksi ekonomi—merupakan dasar dari semua struktur sosial dan ideologi, termasuk juga agama.

Dalam pandangan Hegel, sejarah adalah proses realisasi roh absolut yang bergerak melalui tahapan-tahapan dialektis. Marx mengambil metode dialektis ini tetapi membumikan dalam materialisme historis, yaitu keyakinan bahwa perubahan sosial dan sejarah digerakkan oleh faktor-faktor ekonomi dan materi. Menurut Marx, sejarah ialah perjuangan kelas, kelas sosial yang berkuasa berusaha mempertahankan dominasinya sementara kelas yang tertindas berjuang untuk mengubah kondisi mereka.

Kritik Terhadap Ideologi dan Agama

Marx memandang agama sebagai bagian dari superstruktur ideologis yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dan menundukkan kelas pekerja (proletar). Menurut pandangan Marx, agama menawarkan hiburan dan rasa tenang kepada orang-orang yang tertindas, mengalihkan perhatian mereka dari ketidakadilan yang mereka alami di dunia nyata dan mengarahkan perhatian mereka pada janji-janji kehidupan setelah mereka meninggal dunia. Dari cara ini pula, agama berfungsi sebagai alat yang menenangkan dan membius kesadaran kaum proletar, mencegah mereka dari pemberontakan terhadap sistem kapitalis yang menindas mereka.

Marx dalam bukunya "A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right," menyatakan bahwa

"Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah opium (candu masyarakat)" [1].

Dari pernyataan ini menandakan bahwa Marx melihat agama sebagai pelarian sementara dari realitas keras yang dihadapi oleh masyarakat, hal ini mirip seperti opium yang digunakan dalam perang dunia sebagai penghilang rasa sakit. Menurut Marx, agama adalah respons terhadap penderitaan sosial yang nyata, tetapi juga merupakan hambatan bagi revolusi karena agama meredakan rasa sakit tanpa mengatasi penyebab yang mendasarinya.

Pemikiran Marx dalam Konteks Revolusi Industri

Pada masa Revolusi Industri, kondisi hidup dan sistem kerja sangat tidak manusiawi. Dari tidak adanya regulasi mengenai ketenagakerjaan yang menyebabkan para pekerja, termasuk anak-anak, harus bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan upah kerja yang sangat rendah. Dari situasi ini menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan kaum pekerja.

Marx percaya bahwa untuk mengatasi ketidakadilan sosial, kelas pekerja harus menyadari kondisi penindasan mereka (class consciousness) dan bersatu untuk menggulingkan sistem kapitalis. Dalam pandangan ini, agama menjadi salah satu hambatan utama bagi tercapainya kesadaran kelas karena ia menciptakan ilusi kebahagiaan dan mengalihkan perhatian dari realitas material yang keras.

Kritik terhadap Pandangan Marx

Pandangan Marx tentang agama telah dikritik dari berbagai sudut pandang. Salah satu kritik utama adalah bahwa Marx mengabaikan aspek positif dari agama yang memberikan harapan, komunitas, dan moralitas kepada pengikutnya. Studi menunjukkan bahwa agama dapat memiliki efek positif terhadap kesehatan mental dan fisik individu. Misalnya, penelitian dari Pew Research Center menemukan bahwa individu yang aktif dalam kegiatan keagamaan cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan merasa lebih puas dengan hidup mereka [2][3].

Disisi lain, agama juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas budaya dan moral masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas sering kali berakar dalam ajaran-ajaran agama. Seperti misalnya, gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat banyak dipimpin oleh tokoh-tokoh agama seperti Martin Luther King Jr., yang menggunakan ajaran agama sebagai landasan moral untuk memperjuangkan keadilan [4]. Ini menunjukkan bahwa agama bisa menjadi kekuatan positif yang mendorong perubahan sosial yang progresif.

Marx juga dikritik karena pandangannya yang terlalu deterministik dan ekonomistik, yang mengabaikan kompleksitas kehidupan manusia. Agama tidak hanya berfungsi sebagai alat opresi, namun juga sebagai sumber inspirasi, identitas, dan solidaritas sosial. Misalnya, dalam masyarakat-masyarakat yang terpinggirkan, agama sering kali memberikan dukungan moral dan psikologis yang penting bagi individu dan komunitas.

Relevansi Pandangan Marx di Dunia Modern
Di era modern, pernyataan Marx tentang agama sebagai candu mungkin tidak sepenuhnya relevan. Meskipun kritik terhadap agama masih ada, peran agama dalam masyarakat telah mengalami perubahan signifikan. Banyak organisasi keagamaan yang aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan kemanusiaan. Misalnya, Gereja Katolik Roma melalui Caritas Internationalis, aktif dalam memberikan bantuan kemanusiaan di berbagai belahan dunia [5].

Demikian pula, berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia memainkan peran penting dalam pendidikan dan bantuan sosial. Akan tetapi, ada juga argumen yang mendukung pandangan Marx, terutama dalam konteks penggunaan agama oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol masyarakat. Misalnya, di beberapa negara agama digunakan sebagai alat politik untuk melegitimasi tindakan-tindakan pemerintah yang otoriter dan menekan hak-hak minoritas [6].

Di Indonesia, isu-isu agama sering kali dimanfaatkan oleh elit politik untuk mendapatkan dukungan massa dan melegitimasi kebijakan-kebijakan tertentu. Contoh nyata dari hal ini adalah penggunaan agama dalam kampanye politik dan legislasi yang diskriminatif.

Misalnya, dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, isu-isu agama digunakan secara intensif untuk mempengaruhi persepsi publik dan menggalang dukungan. Tuduhan penistaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan mobilisasi massa dalam bentuk aksi-aksi protes menunjukkan bagaimana agama dapat digunakan sebagai alat politik yang efektif [7].

Agama dan Sosial Politik di Indonesia

Di Indonesia, agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial dan politik. Negara ini dikenal dengan pluralitas agama yang kaya, dengan Islam sebagai agama mayoritas. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa agama sering menjadi faktor penting dalam pergerakan sosial dan politik. Misalnya, organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak hanya berfokus pada aspek spiritual tetapi juga aktif dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Kedua organisasi ini memiliki jaringan sekolah, universitas, dan rumah sakit yang luas, memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan sosial di Indonesia. Selain itu, organisasi-organisasi keagamaan sering kali menjadi yang terdepan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, terutama dalam situasi bencana alam. Ini menunjukkan bahwa agama dapat memainkan peran konstruktif dalam masyarakat dengan menyediakan layanan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umum.

Agama Sebagai Alat Politik

Dalam beberapa dekade terakhir, kita juga melihat bagaimana agama digunakan sebagai alat politik (politik identitas). Pada saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 adalah salah satu contoh paling menonjol di mana isu-isu agama digunakan secara intensif dalam kampanye politik. Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menunjukkan bagaimana sentimen agama dapat dimobilisasi untuk mempengaruhi hasil politik atau pemilu. Ahok, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dihadapkan pada tuduhan penistaan agama yang memicu banyak protes dan demo besar-besaran yang sampai pada akhirnya hal ini juga mempengaruhi hasil dari pada pemilu [8].

Disisi lain, berbagai kasus intoleransi terhadap minoritas agama di Indonesia juga menunjukkan sisi gelap dari penggunaan agama sebagai alat politik. Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah, serta diskriminasi terhadap penganut agama-agama tradisional merupakan contoh bagaimana agama itu dapat digunakan untuk menindas kelompok minoritas atau suatu kelompok tertentu[9].

Kompleksitas dan Tantangan
Dalam konteks sosial politik Indonesia, agama memainkan peran yang kompleks dan ambivalen. Di satu sisi, agama memberikan dukungan moral dan spiritual bagi banyak orang, serta mendorong solidaritas dan aksi sosial. Di sisi lain, agama juga dapat digunakan untuk mempolarisasi masyarakat dan melegitimasi tindakan-tindakan merugikan dan diskriminatif. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana mengelola pluralitas agama dengan cara yang mendukung inklusivitas dan keadilan sosial, sekaligus mencegah penyalahgunaan agama untuk tujuan politik identitas.

Pernyataan Karl Marx mengenai agama merupakan refleksi dari keadaan dan kondisi sosial-ekonomi pada zamannya. Meskipun pandangan ini memiliki relevansi dalam konteks tertentu, penting untuk mengakui bahwa agama juga memiliki potensi positif yang signifikan dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Mengkritisi ulang pernyataan Marx membantu kita untuk melihat agama dengan perspektif yang lebih seimbang, mengakui baik kritik maupun kontribusi agama dalam dunia modern.

Di Indonesia, peran agama dalam konteks sosial politik sangatlah kompleks, baik potensi untuk kebaikan maupun risiko penyalahgunaan. Oleh karena itu, memahami peran agama secara kritis dan konstruktif adalah langkah penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.


Sumber:

1. Marx, K. (1844). A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right.
2. Koenig, H. G., McCullough, M. E., & Larson, D. B. (2001). Handbook of Religion and Health. Oxford University Press.
3. Pew Research Center. (2019). Religion’s Relationship to Happiness, Civic Engagement and Health Around the World.
4. Garrow, D. J. (1986). Bearing the Cross: Martin Luther King, Jr., and the Southern Christian Leadership Conference. HarperCollins.
5. Caritas Internationalis. (2023). Annual Report 2022.
6. Philpott, D. (2007). "Explaining the Political Ambivalence of Religion". American Political Science Review, 101(3), 505-525.
7. Amnesty International. (2018). Indonesia: Politicized Prosecution of Former Jakarta Governor Wounds Rule of Law.
8. Human Rights Watch. (2013). In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia.
9. International Crisis Group. (2012). Indonesia: Defying the State, Discrimination and Intolerance in the Enforcement of Law.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun