Mohon tunggu...
Maruta Muhammad
Maruta Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia yang hobi membaca dan menulis. Yang saya lakukan selama berada di dalam ruang akademik adalah bagaimana caranya agar saya dapat terus menerus mempertajam kreativitas dan daya kritik saya. Sehingga dengan menuliskan apa yang saya pikirkan ke dalam bentuk blog, menjadi upaya bagi saya untuk melatih kritisisme dan daya kreatif saya...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggugat Konvensi Jokowisme

9 Desember 2023   18:32 Diperbarui: 9 Desember 2023   18:32 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/PSI_Jakarta

Sebagai seorang akademisi, saya layak resah melihat realitas politik yamg dipermainkan oleh para pemangku jabatan politik yang semakin hari semakin haus akan kepemimpinan ini, entah bermotif apa. 

Pasalnya, akan banyak masyarakat yang terpedaya oleh berbagai bentuk atau manuver pelanggengan kekuasaan, yang hari ini ramai disebut dengan politik dinasti keluarga Jokowi itu. 

Bagaimana bisa sebuah ideologi diiciptakan secara instan dan tidak berdasar kepada kaidah-kiadah ilmu pengetahuan yang secara historis dan empiris sudah sangat memadai di dunia akademisi? 

Hal ini menandakan ketidakmampuan politisi Indonesia untuk secara kritis memahami bagaimana sebuah ideologi murni dapat diciptakan. Sedang sebagai konsekuensi, akan lebih banyak lagi politisi-politisi yang naik ke permukaan untuk melakukan manipulasi besar-besaran melalui slogan-slogan yang menyesatkan. Dalam hal ini, esai ini akan menggugat konvensi ‘jokowisme’ melalui teori semiotika mitologi Roland Barthes.

Jokowisme sendiri merupakan sebuah fenomena politik yang berkaitan dengan kepemimpinan Joko Widodo di Indonesia yang menciptakan citra kuat dan popularitas yang mendalam di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 

Maka esai ini akan mengambil pendekatan kritis dengan menggunakan teori semiotika mitologi Roland Barthes untuk membongkar konvensi-konvensi yang melandasi Jokowisme. 

Dengan menganalisis tanda-tanda mitologis yang melibatkan pemimpin dan kebijakan, kita dapat mengeksplorasi bagaimana Jokowisme tidak dijadikan sebagai realitas politik tetapi justru sebagai konstruksi mitologis yang mempengaruhi pandangan kolektif masyarakat.

Roland Barthes mengenalkan konsep semiotika mitologi untuk membahas cara di mana tanda-tanda di dalam budaya menciptakan mitos atau narasi yang diterima secara kolektif. Mitos, menurut Barthes, bukan hanya cerita rakyat kuno tetapi juga konstruksi simbolis yang mempengaruhi cara kita memandang dunia. 

Analisis semiotika mitologi memungkinkan kita untuk menyelidiki bagaimana tanda-tanda Jokowisme menciptakan mitos politik yang mengarah pada interpretasi tertentu, dalam hal ini yang ditujukan untuk menaikkan popularitas Jokowi beserta dinasti yang kian sedang dibangunnya. 

Tak lain, mitos Jokowisme tersebut dibuat oleh sederek pengikutnya yang mengatasnamakan rakyat. Padahal, dalam kenyataannya kita menemukan sebagian besar masyarakat justru menyayangkan atau bahkan geram terhadap kebijakan-kebijakan politik Jokowi  yang terkesan berpihak kepada oligarki atau para pengusaha yang berimbas kepada tidak meratanya kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Lalu bagaimana bisa Joko Widodo dijadikan sebagai sebuah icon dengan digelarnya slogan-slogan ‘Jokowisme’ sebagai sebuah Ideologi? Betapa kita kecolongan sebagai masyarakat akademisi.

Dalam Jokowisme, retorika politik, narasi kepemimpinan, dan simbol-simbol visual menciptakan mitos politik yang mengelilingi Joko Widodo. Bahasa yang digunakan, seperti "presiden rakyat" atau "pemimpin yang berdedikasi” bukan hanya berfungsi sebagai deskripsi tetapi juga sebagai tanda-tanda mitologis yang membangun citra yang diinginkan. Melalui lensa semiotika mitologi Roland Barthes ini, kita dapat mengidentifikasi bagaimana tanda-tanda ini membentuk dan memperkuat mitos kepemimpinan Jokowisme.

Simbol-simbol visual dalam Jokowisme, seperti lambang partai atau logo kampanye, juga memiliki kekuatan mitologis yang tak kalah penting yang dijadikan sebagai upaya untuk menggolorifikasi si Pak Lurah ini. Mereka tidak hanya mewakili identitas visual tetapi juga membentuk citra mitologis yang terkait dengan kepemimpinan Joko Widodo. 

Dengan menggunakan semiotika mitologi ini, terbongkarlah makna di balik simbol-simbol tersebut yang dengan begitu kita dapat memahami bagaimana mereka berkontribusi pada konvensi mitologis Jokowisme. 

Dengan memandang Jokowisme sebagai sebuah mitos politik, esai ini mengajukan pertanyaan kritis tentang bagaimana konvensi ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kebijakan dan kepemimpinan, terutama pada isu-isu yang selama ini menggaung mengenai Presiden Jokowi yang menciptakan dinasti politik agar tetap harum namanya di tengah  masyarakat, padahal jelas-jelas kebijakannya tidak memihak kepada masyarakat banyak.

Sehingga konvensi tersebut dapat digugat sejadi-jadinya, agar tersadar bahwa slogan Jokowisme hanyalah sebuah mitos yang dijadikan sebagai alat untuk menciptakan sebuah konvensi kebahasaan yang memengaruhi kesadaran masyarakat banyak yang sebetulnya jauh lebih layak untuk hidup di dalam kepemimpinan yang jelas-jelas membela kedaulatan rakyat dan bukannya melulu memanjakan oligarki. Karena negeri ini bukan hanya lahan yang dapat dieksploitasi, lebih jauh dari itu, merupakan kombinasi kekuatan spiritual yang kompleks, yang entah berapa lama  lagi akan menggeliat memperlihatkan kedaulatan dirinya, pada saat sang Ratu Adil memimpin.

Mitos politik Jokowisme ini tidak hanya ditujukan untuk menciptakan citra pemimpin yang kuat tetapi juga  dapat mengaburkan realitas politik yang lebih kompleks. Meskipun demikian, sekuat apapun suatu pihak bersikukuh memengaruhi masyarakat dengan menciptakan konvensi kebahasaan ‘Jokowisme’ yang balihonya ada di mana-mama ini– yang secara psikologis dapat memengaruhi kesadaran masyarakat dalam memandang realitas, masyarakat Indonesia tidak akan semudah itu terpedaya. 

Oleh karena itu, esai ini ditujukan untuk merangsang pemikiran kritis masyarakat Indonesia, terkhusus para akademisi tentang dampak konvensi- konvensi mitologis dalam membentuk budaya politik Indonesia. 

Agar tercipta kelindan mesra, harmonisasi di antara akademisi murni yang tidak dipengaruhi oleh ambisi politik apapun dengan politisi yang adil dan mampu menciptakan tatanan Indonesia yang berdaulat. Karena tanpa kehadiran akademisi, politisi akan cacat. Dan tanpa politisi atau pemangku jabatan kepemimpinan yang mampu menerima kritik dari para akademisi, sebuah negara tidak akan berjalan kecuali mengikuti gairah-gairah yang dibisik-halusi oleh Iblis yang terkutuk, sehingga upaya pelanggengan kekuasaan, buah busuk dari ambisi politik semakin menjadi-jadi dengan menghalalkan segala cara, bahkan nyawa tak akan ada harganya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun