Lalu bagaimana bisa Joko Widodo dijadikan sebagai sebuah icon dengan digelarnya slogan-slogan ‘Jokowisme’ sebagai sebuah Ideologi? Betapa kita kecolongan sebagai masyarakat akademisi.
Dalam Jokowisme, retorika politik, narasi kepemimpinan, dan simbol-simbol visual menciptakan mitos politik yang mengelilingi Joko Widodo. Bahasa yang digunakan, seperti "presiden rakyat" atau "pemimpin yang berdedikasi” bukan hanya berfungsi sebagai deskripsi tetapi juga sebagai tanda-tanda mitologis yang membangun citra yang diinginkan. Melalui lensa semiotika mitologi Roland Barthes ini, kita dapat mengidentifikasi bagaimana tanda-tanda ini membentuk dan memperkuat mitos kepemimpinan Jokowisme.
Simbol-simbol visual dalam Jokowisme, seperti lambang partai atau logo kampanye, juga memiliki kekuatan mitologis yang tak kalah penting yang dijadikan sebagai upaya untuk menggolorifikasi si Pak Lurah ini. Mereka tidak hanya mewakili identitas visual tetapi juga membentuk citra mitologis yang terkait dengan kepemimpinan Joko Widodo.
Dengan menggunakan semiotika mitologi ini, terbongkarlah makna di balik simbol-simbol tersebut yang dengan begitu kita dapat memahami bagaimana mereka berkontribusi pada konvensi mitologis Jokowisme.
Dengan memandang Jokowisme sebagai sebuah mitos politik, esai ini mengajukan pertanyaan kritis tentang bagaimana konvensi ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kebijakan dan kepemimpinan, terutama pada isu-isu yang selama ini menggaung mengenai Presiden Jokowi yang menciptakan dinasti politik agar tetap harum namanya di tengah masyarakat, padahal jelas-jelas kebijakannya tidak memihak kepada masyarakat banyak.
Sehingga konvensi tersebut dapat digugat sejadi-jadinya, agar tersadar bahwa slogan Jokowisme hanyalah sebuah mitos yang dijadikan sebagai alat untuk menciptakan sebuah konvensi kebahasaan yang memengaruhi kesadaran masyarakat banyak yang sebetulnya jauh lebih layak untuk hidup di dalam kepemimpinan yang jelas-jelas membela kedaulatan rakyat dan bukannya melulu memanjakan oligarki. Karena negeri ini bukan hanya lahan yang dapat dieksploitasi, lebih jauh dari itu, merupakan kombinasi kekuatan spiritual yang kompleks, yang entah berapa lama lagi akan menggeliat memperlihatkan kedaulatan dirinya, pada saat sang Ratu Adil memimpin.
Mitos politik Jokowisme ini tidak hanya ditujukan untuk menciptakan citra pemimpin yang kuat tetapi juga dapat mengaburkan realitas politik yang lebih kompleks. Meskipun demikian, sekuat apapun suatu pihak bersikukuh memengaruhi masyarakat dengan menciptakan konvensi kebahasaan ‘Jokowisme’ yang balihonya ada di mana-mama ini– yang secara psikologis dapat memengaruhi kesadaran masyarakat dalam memandang realitas, masyarakat Indonesia tidak akan semudah itu terpedaya.
Oleh karena itu, esai ini ditujukan untuk merangsang pemikiran kritis masyarakat Indonesia, terkhusus para akademisi tentang dampak konvensi- konvensi mitologis dalam membentuk budaya politik Indonesia.
Agar tercipta kelindan mesra, harmonisasi di antara akademisi murni yang tidak dipengaruhi oleh ambisi politik apapun dengan politisi yang adil dan mampu menciptakan tatanan Indonesia yang berdaulat. Karena tanpa kehadiran akademisi, politisi akan cacat. Dan tanpa politisi atau pemangku jabatan kepemimpinan yang mampu menerima kritik dari para akademisi, sebuah negara tidak akan berjalan kecuali mengikuti gairah-gairah yang dibisik-halusi oleh Iblis yang terkutuk, sehingga upaya pelanggengan kekuasaan, buah busuk dari ambisi politik semakin menjadi-jadi dengan menghalalkan segala cara, bahkan nyawa tak akan ada harganya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H