Mohon tunggu...
Kencang Lantang
Kencang Lantang Mohon Tunggu... Lainnya - Rakyat Kecil

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Langkah Mundur Penerapan Kembali UN

9 November 2024   16:16 Diperbarui: 11 November 2024   15:47 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ujian Nasional (KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO)

Ada sejumlah alasan mengapa UN harus dihapuskan. Pertama, UN acap kali membuat para murid stres dan mengalami tekanan hebat dalam menjalani proses pendidikan mereka. Tak jarang murid harus mengakhiri hidupnya karena tidak mampu menanggung beban psikologis akibat UN. Hubungan antaranggota keluarga juga menjadi terganggu karena anak-anak tidak mampu memenuhi harapan orang tua yang sudah bersusah payah menyekolahkan tetapi gagal menurut UN. Sekolah sungguh tidak menyenangkan.

Kedua, UN mendorong terjadinya kecurangan masif. Sudah menjadi rahasia umum, UN selalu diwarnai dengan kejadian mencontek di kalangan siswa. Kunci jawaban bisa tersebar luas, bahkan dibagikan oleh gurunya sendiri,karena UN menentukan nama baik sekolah. Pengalaman jadi pengawas UN, panitia ujian terang-terangan meminta agar tidak ketat mengawasi murid. Hal itu terjadi saat UN menentukan kelulusan siswa, bagaimana pula jika UN hanya tes biasa yang tidak menentukan kelulusan.

Ketiga, UN merupakan tindakan ketidakadilan yang disengaja oleh negara kepada murid. Harus diakui, negara belum bisa memberikan mutu pendidikan yang merata kepada seluruh warga di seluruh pelosok negeri. Tambah lagi, karakter dan budaya tiap-tiap daerah tentu berbeda-beda dan tidak mungkin disamakan. Memberlakukan standar yang sama kepada semua murid sungguh tidak adil karena menghilangkan hak anak untuk diakui. Menjadi terdidik bukan berarti harus lulus UN.

Keempat, UN melestarikan terjadinya diskriminasi guru dan mata pelajaran karena hanya mengujikan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Yang diuji pun hanya kognitif. Tidak ada UN afeksi dan keterampilan. Perlakuan ini memantik buruknya penerimaan siswa terhadap guru dan mata pelajaran non-UN. Efeknya jelas, guru mata pelajaran di luar UN merasakan kehadirannya tidak penting. Penerimaan siswa terhadap mereka pun pada umumnya sangat rendah.

Kelima, UN menghilangkan tanggung jawab sebenarnya dari negara terhadap warganya. Jika UN diharapkan untuk memetakan mutu pendidikan, sungguh tidak tepat apabila murid yang diuji. Buruknya kualitas pendidikan pasti bukan kesalahan murid, melainkan kesalahan negara. Seharusnya negara lebih dulu menguji guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, dan pemerintah apakah sudah sesuai standar benar. Kalau hanya menerapkan ujian kepada murid, negara hanya 'lempar batu, sembunyi tangan'.

Jatuh ke Lubang yang Sama

Keenam, UN bukan unsur hakiki dalam pendidikan. Pendidikan adalah proses pembudayaan dan tumbuh kembang segala kekuatan yang ada dalam diri murid. Itu filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sekolah bukan arena lomba lari yang mengharuskan murid bergerak serantak sampai batas akhir. Menerapkan standar yang sama terhadap setiap siswa ibarat memaksa ikan harus mampu memanjat pohon. UN tidak akan menganimasi murid tumbuh menjadi pribadi berbudaya, numerat, dan literat.

Melihat realitas itu, pemerintah atau menteri di bidang pendidikan harus menolak penerapan ulang UN dan tidak hanya memerhatikan celotehan masyarakat di media, termasuk para tokoh atau pesohor di negara ini. 

Lebih baik negara menguji dirinya terlebih dahulu dan semua perangkat yang mendukung proses pembelajaran terbaik sesuai standar yang tepat-terukur daripada sibuk menghabiskan energi membuat alat ukur kepada murid sebagai standar tunggal keberhasilan pendidikan.

Penerapan kembali UN akan membawa pendidikan Indonesia berjalan mundur. UN akan membuat kita menjadi keledai bodoh yang selalu jatuh ke lubang yang sama. Banyak riset dan realita yang membuktikan program UN menghasilkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. 

Memang standar diperlukan, tetapi bukan UN. Melihat disparitas wilayah dan keadaan warga negara, mungkin ada baiknya dibuat beberapa standar menurut kondisi riil para murid. Standar di kota tentu berbeda dengan standar di pelosok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun