Indonesia memulai sejarah baru hari ini, Minggu, 20 Oktober 2024. Kepemimpinan baru di bidang eksekutif telah berganti. Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru telah dilantik untuk masa jabatan 2024-2029. Mereka mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sumpah itu juga diucapkan'di hadapan seluruh rakyat Indonesia' yang menyaksikan prosesi pengambilan sumpah dan pelantikan presiden dan wakil presiden melalui saluran media massa yang disiarkan secara luas.
Kita harapkan tidak ada halangan apa pun, lima tahun ke dapan, nahkoda kapal yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ada di tangan pemimpin baru. Rakyat Indonesia yang saat ini berjumlah kira-kira 280 juta jiwa menggantungkan harapan dan masa depan di tangan mereka. Sumpah jabatan yang mereka ucapkan hari ini menjadi jaminan bahwa mereka akan mendahulukan kepentingan rakyat dalam keadaan apa pun. Menjadi pertanyaan, kepemimpinan seperti apa yang akan diusung oleh presiden dan wakil presiden baru?
Pemimpin yang Melayani
Mungkin hanya sebuah kebetulan bahwa Presiden dan Wakil Presiden baru dilantik pada hari Minggu. Hari Minggu dalam Bahasa Latin 'Dominus Dies' berarti Hari Tuhan. Dan hari ini, saat Presiden dan Wakil Presiden baru dilantik, umat Katolik sedang beribadah, berdoa, dan merenungkan Sabda Tuhan. Uniknya, Injil hari ini dari Mrk 10:35-45 berbicara tentang kepemimpinan. Sangat tepat dengan peristiwa nasional. Gereja Katolik merefleksikan makna pemimpin yang sesungguhnya dan mendoakan secara khusus pemimpin yang baru agar menghayati nilai kepemimpinan. Kita berharap, Tuhan selalu memandu perjalanan Presiden dan Wakil Presiden setiap kali membuat kebijakan yang mereka buat.
Meskipun Presiden dan Wakil Presiden bukan Katolik, tidak ada salahnya mereka membaca dan merefleksikan Injil di Gereja Katolik hari ini. Kitab Suci bukan semata-mata buku iman, tetapi juga buku kehidupan. Ada banyak kebajikan dan keteladan hidup yang bersifat universal dalam Kitab Suci yang dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam berpartisipasi bagi negara dan masyarakat. Satu di antaranya tentu saja ajaran tentang kepemimpinan. Jika berkenan, Presiden dan Wakil Presiden dapat membaca teks Injil Markus ini lalu menjadikannya sebagai pedoman memimpin bangsa.
Injil hari ini diawali dengan permintaan dua bersaudara, Yakobus dan Yohanes, putra Zebedeus. Mereka meminta kedudukan kepada Yesus. Kedudukan merupakan simbol kekuasaan. Tentu saja, dengan memiliki kedudukan atau jabatan, dua bersaudara itu akan memiliki kehidupan yang lebih baik, akses yang lebih terbuka terhadap sumber-sumber daya yang ada, dan jaminan mendapat layanan dengan fasilitas terbaik. Yakobus dan Yohanes mengaku siap melakukan apa pun, bahkan minum cawan yang Yesus minum - artinya menderita, demi memperoleh kedudukan atau jabatan.
Melihat hasrat dari dua orang itu, Yesus menegur mereka dengan memberi penjelasan. "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu" (ay. 42-43). Yesus dapat menerima keinginan mereka yang mencari jabatan dan kuasa. Tidak ada salahnya orang mengejar kedudukan. Namun, memiliki keinginan berkuasa saja tidak cukup. Keinginan tidak masuk kualifikasi kepemimpinan. Perlu disadari secara jernih esensi seorang pejabat dan penguasa.
Pemimpin itu pelayan rakyat, bukan penindas rakyat. Yesus mengatakan, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (ay. 43-44). Pernyataan ini sungguh sangat radikal dan bisa dipastikan sangat jauh dari pikiran mereka yang punya hasrat berkuasa. Tidak ada dalam pikiran Yakobus dan Yohanes menjadi hamba. Sangat sulit, bahkan mustahil, menemukan pemimpin yang mau jadi pelayan dan hamba.
Berharap pada Presiden
Hamba dan pelayan termasuk orang yang banyak menghadapi hambatan dan keterbatasan dalam hidupnya. Tidak ada kesempatan yang luas untuk menikmati kemudahan, bahkan yang paling sederhana sekali pun. Pelayan dan hamba selalu berada di bawah kendali tuannya. Ia tidak bisa mengatur dirinya. Yang ada dalam pikirannya semata-mata bagaimana memberikan yang terbaik kepada majikan. Matanya selalu awas untuk melihat apa lagi yang kurang pada tuannya sehingga dengan segera bergegas memenuhinya. Sikapnya selalu merendah dengan tutur kata yang halus-lembut. Berjalan di hadapan majikan ia akan selalu menunduk, merendah penuh sopan-santun.
Tentu saja kita tidak perlu meminta Presiden dan Wakil Presdien berlaku bagaikan pembantu di rumah kita. Mereka toh memiliki keistimewaan sebagai pelayaan publik. Peraturan negara telah menjamin berbagai kemudahan diberikan kepada mereka, mulai jaminan keamanan, kesehatan, hingga menata sumber daya yang ada. Bersama dengan DPR, Presiden berhak membuat peraturan yang berisi kebijakan demi terselenggaranya pemerintahan yang baik. Undang-undang juga memberi hak kepada Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Presiden memiliki kekuatan untuk mengatur apa pun di negara ini. Jadi, sebagai pemimpin, Presiden sangat jauh dari kondisi yang dialami oleh hamba dan pelayan.
Namun, semangat kepemimpinan yang melayani dan menghamba tetap harus dihayati oleh Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara mengatakan guru harus menghamba kepada murid, Presiden dan Wakil Presiden pun haruslah menghamba kepada rakyat. Kita berharap semua kekuatan yang diberikan dan berada di tangannya saat ini digunakan sebaik mungkin untuk mewujudkan pelayanan terbaik kepada rakyat. Rakyat harus dinomorsatukan dalam semua pengambilan keputusan dan kebijakan apa pun. Rakyat harus dilayani sebaik mungkin agar semakin berdaya, bukan melanggengkan kedudukan. Semangat menjadi hamba dan pelayan tetap dihayati dan dijalankan.
Presiden pastilah sudah menyadari bahwa kekuatannya sangat besar. Ia bebas memilih menteri yang akan membantunya. Agar semangat kepemimpinan yang melayani benar-benar dapat diwujudkan, Presiden hendaknya mengangkat menteri berdasarkan kompetensi, bukan emosi. Kita tidak berharap pemilihan menteri hanya sekadar bagi-bagi kue kekuasaan agar pemerintahan berjalan mulus hingga akhir dan periode kedua dapat ditembus dengan enteng. Tidak tepat seorang pemimpin negara memancangkan visi dan misinya untuk mempertahankan kekuasaan atau mewariskannya kepada kroninya, sekalipun disembunyikan lewat kebijakan yang terlihat sepintas sangat populis.
Presiden sungguh mengerti juga bahwa ia memiliki aparatur sipil dengan jumlah sangat besar mulai pusat sampai desa. Ia dapat memberdayakan mereka untuk memastikan pelayanan kepada rakyat berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Namun, harus disadari bahwa Presiden adalah pelayan utama (minister principalis) dan pelayan dari para pelayan (servus servorum). Presidenlah yang pertama-tama memberikan contoh dan teladan pelayanan kepada rakyat dan bawahannya. Ingat, ikan busuk selalu berawal dari kepalanya. Semua tindakan pelayan publik yang tidak berdampak kepada rakyat berawal dari tindakan Presiden yang lalai terhadap panggilannya sebagai hamba dan pelayan.
Selamat bekerja Presiden dan Wakil Presiden! Selamat menjadi pelayan dan hamba bagi rakyatmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H