Dari segi latar belakang pendidikan, seorang calon uskup harus 'mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan tinggi yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu'.Â
Tahapan pemilihan uskup cukup rumit. Kanon 377 menjelaskan, sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para Uskup provinsi gerejawi atau, dimana keadaan menganjurkannya, Konferensi para Uskup, hendaknya melalui perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para imam, juga anggota-anggota tarekat hidup-bakti, yang kiranya tepat untuk jabatan Uskup, dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik; tetapi setiap Uskup tetap berhak untuk memberitahukan sendiri kepada Takhta Apostolik nama-nama para imam yang dianggapnya pantas dan cakap untuk jabatan Uskup.
Saat seorang uskup dibutuhkan, kepausan memberi tugas kepada duta untuk menyelidikinya satu demi satu calon yang masuk daftar. Penyelidikan dapat melibatkan berbagai pihak dalam Gereja mulai dari konferensi para uskup, kolegium konsultor, kapitel katedral, kaum klerus diosesan dan religus, serta kaum awam yang unggul dalam kebijaksanaan. Pendapat mereka dihimpun dan dinilai lalu disampaikan kepada Tahta Apostolik. Â
Pada akhirnya Paus secara bebas mengangkat seorang uskup setelah mendalami semua informasi penyelidikan. Semua tahapan pemilihan ini dilakukan secara tertutup dan kerahasiaan penuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H