Mohon tunggu...
Marulam Nainggolan
Marulam Nainggolan Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh

Kementerian Agama Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inspirasi Moderasi Beragama dari Konsili Vatikan II

30 Juni 2024   18:10 Diperbarui: 3 Juli 2024   15:05 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.dicasteryinterreligious.va

Konsili Vatikan II, yang digelar dari tahun 1962 hingga 1965, merupakan tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik. Konsili ini diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI. Salah satu tema utama dari Konsili ini adalah semangat moderasi beragama melalui dialog antaragama. Melalui berbagai dokumen dan keputusan, Konsili Vatikan II menekankan pentingnya sikap moderat dan keterbukaan terhadap agama dan kepercayaan lain.

Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja Katolik boleh dikatakan memiliki pandangan yang cukup eksklusif. Belum kuat keterbukaan terhadap agama dan kepercayaan lain, termasuk dengan budaya lokal. Selama berabad-abad, Gereja menutup diri terhadap dialog dengan agama lain. Pandangan ini didasari oleh keyakinan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya institusi yang memiliki kebenaran penuh tentang Allah dan keselamatan manusia.

Nostra Aetate

Konsili Vatikan II membawa perubahan besar dalam sikap Gereja Katolik terhadap agama dan kepercayaan lain. Melalui berbagai dokumen dan pernyataan, Gereja mulai mengadopsi sikap yang lebih moderat dan terbuka terhadap dialog antaragama. Salah satu dokumen penting yang dihasilkan oleh Konsili ini adalah Deklarasi Nostra Aetate (1965), yang secara khusus membahas hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen.

Nostra Aetate menyatakan bahwa Gereja Katolik menghormati apa yang baik dan benar dalam agama lain. Dokumen ini menekankan bahwa Gereja tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama lain, serta mendorong umat Katolik untuk terlibat dalam dialog dan kerjasama dengan pemeluk agama lain Nostra Aetate juga mengakui bahwa berbagai agama lain, seperti Islam, Hindu, dan Buddha, memiliki nilai-nilai spiritual dan moral yang patut dihormati dan dipelajari (Konsili Vatikan II, 1965).

”Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni "jalan, kebenaran dan hidup" (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka” (NA 2).

Gaudium et Spes

Selain Nostra Aetate, Konsili Vatikan II juga menghasilkan Gaudium et Spes, sebuah dokumen yang menekankan pentingnya keterlibatan Gereja dalam dunia modern. Gaudium et Spes menyoroti perlunya dialog antara Gereja dan berbagai budaya serta ideologi, termasuk yang berasal dari agama lain. Dokumen ini mengajak umat Katolik untuk menghargai pluralisme dan bekerja sama demi kesejahteraan umat manusia (Konsili Vatikan II, 1965).

”Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan manusiawi. Yang kita harapkan adalah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira. Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan kebenaran, tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagai mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang mengembangkan nilai-nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal Penciptanya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu, karena bersama mengemban panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam damai yang sejati (GS 92).

Gereja Katolik memandang dengan saksama bahwa bumi yang damai dan diwarnai kebenaran dan keadilan sebagaimana dicita-citakan Allah sejak penciptaan dan melalui pengurbanan Yesus Kristus hanya bisa diwujudkan apabila semua umat manusia bersatu padu dalam cinta kasih. Agama-agama dan aliran kepercaaan merupakan sahabat yang sedang berjalan melalui jalan lain menuju tujuan yang sama sebagaimana Allah kehendaki. Nilai-nilai kemanusiaan dan keilahian hendaknya menjadi semangat bersama semua orang.

 

Moderasi dan Dialog Antaragama

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik semakin menekankan pentingnya moderasi dan dialog antaragama. Paus Paulus VI, yang memimpin Gereja selama sebagian besar periode Konsili, adalah tokoh kunci dalam mendorong dialog ini. Dalam ensiklik Ecclesiam Suam (1964), Paus Paulus VI menyatakan bahwa dialog adalah cara yang penting untuk membangun hubungan yang lebih baik antara Gereja dan dunia luar. Dia menekankan bahwa dialog harus didasarkan pada rasa hormat, cinta kasih, dan pencarian kebenaran bersama (Paus Paulus VI, 1964).

Setelah Konsili Vatikan II, berbagai Paus berikutnya terus mengembangkan semangat dialog antaragama ini. Paus Yohanes Paulus II, misalnya, dikenal sebagai pendukung kuat dialog antaragama. Dia sering kali bertemu dengan pemimpin agama lain dan mengadakan berbagai pertemuan antaragama, seperti Hari Doa untuk Perdamaian di Assisi pada tahun 1986. Pada kesempatan tersebut, Paus Yohanes Paulus II mengundang para pemimpin agama dari seluruh dunia untuk berdoa bersama demi perdamaian dunia (Paus Yohanes Pualus II, 1995).

Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus juga melanjutkan tradisi ini. Paus Benediktus XVI menekankan pentingnya dialog yang jujur dan terbuka dalam membangun perdamaian dan memahami perbedaan agama. Paus Fransiskus, dalam berbagai kesempatan, mendorong dialog dan kerjasama dengan umat Islam, Yahudi, dan agama-agama lain untuk mengatasi tantangan global seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan perubahan iklim.

 

Implementasi Praktis dari Moderasi Beragama

Salah satu aspek penting dari semangat moderasi beragama yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II adalah implementasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari umat Katolik. Paus Paulus VI dalam Ecclesiam Suam menekankan bahwa dialog tidak hanya terjadi pada level teologis atau hierarki Gereja, tetapi juga harus diwujudkan dalam interaksi sehari-hari antara umat Katolik dan pemeluk agama lain (Paus Paulus VI, 1964).

Dalam konteks ini, pendidikan agama menjadi kunci penting. Gereja Katolik melalui sekolah-sekolah dan program pendidikan agamanya berusaha untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya dialog antaragama. Buku-buku ajar dan kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan pasca Konsili Vatikan II menekankan pentingnya memahami dan menghormati keyakinan agama lain.

Selain itu, berbagai organisasi dan komunitas Katolik di seluruh dunia juga aktif dalam mempromosikan dialog antaragama. Misalnya, Komisi Kepausan untuk Dialog Antaragama bekerja sama dengan berbagai lembaga dan organisasi untuk menyelenggarakan konferensi, seminar, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk memperkuat dialog dan kerjasama antaragama. Melalui kegiatan-kegiatan ini, Gereja Katolik berusaha untuk membangun jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok agama dan budaya.

Untuk menjaga keberlanjutan semangat moderasi yang telah ditekankan oleh Konsili Vatikan II, Gereja Katolik terus memperbarui komitmennya terhadap dialog dan keterbukaan. Paus Fransiskus, sebagai pemimpin Gereja saat ini, telah menunjukkan komitmen kuat dalam mempromosikan dialog antaragama. Dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), Paus Fransiskus menekankan pentingnya persaudaraan universal dan dialog sebagai cara untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia. Dia mengajak seluruh umat manusia, termasuk pemeluk agama lain, untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan global (Paus Fransiskus, 2020).

Paus Fransiskus juga aktif dalam membangun hubungan baik dengan pemimpin agama lain. Salah satu contoh penting adalah dokumen Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama yang ditandatanganinya bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb, pada tahun 2019. Dokumen ini yang dikenal juga dengan sebutan Dokumen Abu Dhabi ini menekankan pentingnya dialog, toleransi, dan kerjasama antara umat Katolik dan Muslim untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan adil.

 

Keberlanjutan Semangat Moderasi

Semangat moderasi beragama yang digagas oleh Konsili Vatikan II memiliki dampak jangka panjang yang signifikan bagi Gereja Katolik dan dunia secara keseluruhan. Salah satu dampak utama adalah terciptanya hubungan yang lebih baik antara Gereja Katolik dan agama-agama lain. Dialog antaragama yang dipromosikan oleh Konsili telah membantu mengurangi prasangka dan stereotip negatif antara berbagai kelompok agama, serta membangun pemahaman dan kepercayaan yang lebih besar.

Selain itu, moderasi beragama juga telah memperkuat komitmen Gereja Katolik terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial. Konsili Vatikan II menekankan pentingnya memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan martabat manusia sebagai bagian dari misi Gereja. Sikap moderat dan terbuka terhadap agama lain telah membantu Gereja Katolik untuk lebih efektif dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial di berbagai belahan dunia.

Di bidang pendidikan, semangat moderasi beragama juga telah mendorong pengembangan kurikulum dan program pendidikan yang lebih inklusif dan menghargai pluralisme. Sekolah-sekolah dan universitas Katolik di seluruh dunia berusaha untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya dialog antaragama kepada para siswa dan mahasiswa mereka.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun