Oleh : Ma'ruf Amari, Lc. M.Si.
Salah satu aktivitas 'favorit' masyarakat muslim di akhir Ramadan adalah melaksanakan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Banyak masjid yang menyelenggarakan iktikaf selama sepuluh hari penuh, dan semakin banyak masyarakat yang mengikutinya.
Untuk masjid tertentu, bahkan harus mendaftar jauh-jauh hari sebelumnya, karena kapasitas yang terbatas. Masjid Jogokariyan Yogyakarta, adalah salah satu contohnya.
Masalah muncul di masa pandemi Covid-19 saat ini. dimana ruang aktivitas sangat dibatasi ---terkhusus di zona merah. Hingga hari ini belum ada tanda-tanda yang nyata, bahwa pandemi akan segera berakhir di bulan ini.Â
Maka ada kemungkinan, masyarakat muslim yang tinggal di zona merah tetap belum bisa beraktivitas dalam bentuk perkumpulan atau kerumunan hingga akhir Ramadan nanti. Tentu saja kita berdoa semoga pandemi corona segera berakhir dan kita semua bisa beraktivitas secara normal.
Bagaimana melakukan iktikaf jika belum memungkinkan ke masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadan nanti? Bolehkah iktikaf di mushalla (tempat shalat) yang ada di dalam rumah kita sendiri? Bolehkah iktikaf di rumah yang di dalamnya tidak memiliki tempat khusus untuk shalat?
Pengertian Iktikaf
Secara bahasa, iktikaf adalah tinggal dan menetap pada sesuatu, untuk urusan yang baik atau urusan yang jelek. Sedangkan secara istilah, Al-Qaduri dari mazhab Hanafi mengatakan: "iktikaf adalah mustahab (sunnah) yaitu tinggal di masjid dengan puasa dan niat iktikaf". (Mukhtashar Al-Qaduri juz 1 hal 65).
Menurut Ad-Dasuqi dari mazhab Malikiyyah,iktikaf adalah menetapnya seorang muslim yang mumayyiz (jelang baligh) di masjid yang mubah dengan puasa dengan meninggalkan hubungan badan dan prolognya selama sehari semalam atau lebih untuk ibadah disertai niat. Dan dia (iktikaf) adalah mandub (sunnah) muakkad. (Asy-Syarhul Kabir, juz 1 hal 541)
Al-Kasani menukil perkataan Al-Karkhi: "(Laki-laki) tidak sah iktikaf kecuali di masjid jami'. Ath-Thahawi mengatakan sah di semua masjid". (Badai' juz 2 hal 113). Asy-Syairazi dari mazhab Syafi'iyyah mengatakan: "Dan tidak sah iktikaf seorang laki-laki kecuali di masjid". (Al-Muhadzdzab juz 1 hal 350)
Menurut Nawawi Al-Bantani dari Mazhab Syafi'iyyah: "Tinggal di masjid oleh seseorang tertentu disertai niat. Dan dia (iktikaf) sunnah di semua waktu". ( Nihayatuz-Zain juz 1 hal 197).Â
Abun Naja dari mazhab Hanbali mengatakan: "Menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan kriteria tertentu oleh seorang muslim berakal sekalipun jelang baligh yang suci dari perkara yang wajib mandi". (Al-Iqna' juz 1 hal 321)
Menurut Ibnu Hazm Adz-Dzahiri: "Iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla sa'atan (sesaat, karena Ibnu Hazm tidak membatasi waktu iktikaf) atau lebih, baik malam atau siang". (Al-Muhalla juz 3 hal 411). Ibnu Hazm juga mengatakan: "Iktikaf adalah perbuatan yang baik". (Al-Muhalla juz 3 hal 413)
Al-Qaduri dari mazhab Hanafi mengatakan: Iktikaf adalah mustahab (sunnah)". (Mukhtashar Al-Qaduri juz 1 hal 65). Syaranbalali dari hanafiyyah mengatakan, "Iktikaf terbagi tiga macam: Wajib dalam puasa nadzar dan sunnah kifayah muakkadah pada sepuluh terakhir dari Ramadan dan mustahab di selain itu". (Nurul Idhah juz 1 hal 145)
Menurut Ad-Dasuqi dari mazhab Malikiyyah: " Dan dia (iktikaf) adalah mandub (sunnah) muakkad" (Asy-Syarhul Kabir, juz 1 hal 541). Miyarah dari mazhab Malikiyyah mengatakan: "Dan yang afdhal iktikaf pada sepuluh terakhir dari Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar" (Ad-Durruts Tsamin, juz 1 hal 492).
Nawawi Al-Bantani dari Syafi'iyyah mengatakan: "Dan dia (iktikaf) di sepuluh terakhir dari Ramadan lebih utama dibanding lainnya untuk mencari Lailatul Qadar". (Nihayatuz Zain juz 1 hal 198).
Abun Naja dari mazhab Hanabilah mengatakan: "Dan ia (iktikaf) sunnah di setiap waktu kecuali bernadzar maka wajib sesuai dengan kriteria nadzarnya, dan tidak dikhususkan pada waktu tertentu, dan lebih ditekankan di Ramadan, dan lebih ditekankan lagi di sepuluh terakhir". Al-Iqna' juz 1 hal 321)
Hukum sunnah ikikaf tersebut didasarkan pada hadits shahih, Nabi saw bersabda, "Barang siapa iktikaf bersamaku maka hendaklah iktikaf pada sepuluh terakhir". HR. Al-Bukhari no 2027
Tempat iktikaf
Dari pemaparan lima mazhab tentang definisi iktikaf di atas, semua mengatakan bahwa iktikaf tempatnya di masjid -- dengan perbedaan di antara mereka tentang krIteria masjid -- baik laki-laki maupun perempuan -- kecuali mazhab Hanafiyyah dan Asy-Syafi'i fil Qadim yang mengatakan wanita iktikaf di masjid rumahnya -- seperti yang dikatakan oleh Ibnu Quddamah: "Dan tidak sah iktikaf di selain masjid apabila yang iktikaf laki-laki. Dalam hal ini kita tidak mengenal perbedaan di antara ulama". (Al-Mughni Juz 3 hal 189).
Pendapat ini, berdasarkan firman Allah swt, "Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam mesjid" (QS. Al-Baqarah:187).
Sekalipun demikian Ibnu Lubabah Al-Maliki memiliki pendapat berbeda yaitu kebolehan iktikaf bukan di masjid seperti yang dikatakan oleh Ibnu Bazizi Al-Maliki: "Dan kebanyakan ulama' berpendapat bahwa iktikaf yang syar'i tidak sah kecuali di masjid, dan Ibnu Lubabah mengatakan sah di selain masjid". Raudhatul Mustabin juz 1 hal 548
Tempat Iktikaf Wanita
Menurut Jumhur ulama, wanita iktikaf di masjid, sedangkan menurut mazhab Hanafiyyah dan Asy-Syafi'i fil Qadim (mazhab lama) wanita iktikafnya di "masjid rumahnya."
Yang dimaksud dengan "masjid rumah" menurut Syaranbalali dari Hanafiyyah adalah tempat di dalam rumah yang definitif untuk shalat" (Nurul Idhah juz 1 hal 145). Dalam istilah yang lazim di masyarakat kita adalah mushala ---satu ruang atau space tempat yang dikhususkan untuk shalat di dalam rumah.
Asy-Syaranbalali dari mazhab Hanafi mengatakan: Apabila bagi wanita tidak ada tempat definitif maka tidak sah iktikaf di dalamnya dan dia dilarang datang ke masjid," (Maraqil Falah juz 1 hal 265).
Al-Kasani dari Hanafiyyah mengatakan, "Adapun wanita maka disebutkan di "Al-Asl" bahwa dia (wanita) tidak iktikaf kecuali di masjid rumahnya dan tidak iktikaf di masjid jama'ah."
Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa wanita iktikaf di masjid jama'ah, dan apabila mau iktikaf di masjid rumahnya, dan masjid rumahnya lebih afdhal baginya daripada masjid kampungnya dan masjid kampungnya lebih afdhal baginya daripada masjid agung.
Ini tidak berarti perbedaan riwayat, bahkan boleh wanita iktikaf di masjid jamaah berdasar dua riwayat semuanya tanpa ada perbedaan di antara pengikut kami. Yang terdapat dalam kitab "Al-Ashl" dimaknai nafyul fadhilah (tidak yang utama) bukan nafyul jawaz (tidak boleh) untuk memadukan antar dua riwayat.( (Hanafiyyah)". (Badai', juz 2 hal 113)
Al-Kasani memberikan alasan kebolehan bahkan utamanya wanita iktikaf di masjid rumahnya dengan mengatakan: "Ini (iktikaf) adalah taqarrub yang dikhususkan di masjid, akan tetapi masjid rumahnya memiliki hukum masjid bagi wanita dalam iktikaf."
Karena masjid rumah memiliki hukum masjid bagi wanita untuk shalat karena wanita butuh menjaga keutamaan berjamaah maka masjid rumah diberi hukum masjid jama'ah bagi perempuan sehingga shalatnya di rumah lebih afdhal.
Hal ini didasarkan pada riwayat, "Shalat wanita di masjid rumahnya lebih afdhal daripada shalat di masjid daar (rumah beserta pekarangannya) dan shalatnya di halaman daar-nya lebih afdhal daripada shalat di masjid kampungnya."
Apabila (masjid rumahnya) memiliki hukum masjid bagi wanita dalam shalat, maka demikian pula dalam iktikaf, karena masing-masing memiliki kesamaan kekhususan yaitu dilaksanakan di masjid. (Badai' juz 2 hal 113).
Beberapa Hadis Lain tentang Shalat Wanita di Rumah
Nabi saw bersabda, "Sebaik-baik shalat wanita di bagian dalam rumahnya," HR. Ahmad no 26570 dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no 709.
Syaikh Al-Arnauth mengatakan hadits hasan dengan syawahidnya (tahqiq Musnad Ahmad no 26570). Syaikh Al-Albani mengatakan: shahih (Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir no 3311).
Nabi saw bersabda, "Jangan larang wanita-wanita kalian datang ke masjid, dan rumah mereka lebih baik baginya." HR. Ahmad no 5472, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no 13820, Ibnu Khuzaimah no 1684 dan Al-Hakim no 755. Al-Hakim mengatakan: Ini adalah hadits Shahih sesuai syarat syaikhaini. Adz-Dzahabi (dalam ta'liq Al-Mustadrak) mengatakan: sesuai syarat keduanya.
Nabi saw bersabda, "Shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di kamarnya, dan shalatnya di makhda-nya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya," HR. Abu Dawud no 570, Ibnu Khuzaimah no 1690 dan Al-Hakim no 757.
Al-Hakim mengatakan: Shahih sesuai syarat Asy-Syaikhaini. Adz-Dzahabi: Sesuai Syarat keduanya (Al-Bukhari dan Muslim). (Ta'liq Mustadrak no 757). Syu'aib Al-Arnauth mengatakan: sanadnya hasan (Tahqiq Sunan Abu Dawud no 570). Al-Adzami mengatakan: sanadnya shahih (Tahqiq Shahih Ibu Huzaimah no 1688).
Makhda' adalah rumah kecil dalam rumah besar (Al-Qamus Al-Fiqhi juz 1 hal 113) atau kamar dalam rumah (al-Mu'jam Al Wasith juz 1 hal 221).
Dari Ummu Humaid ra, istri Humaid al-Sa'idi ra, bahwasanya ia mendatangi Nabi saw lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya senang shalat bersamamu".
Beliau berkata: "Saya tahu engkau menyukai shalat bersamaku, Dan shalatmu di masjid rumahmu (ruangan yang khusus untuk shalat) lebih baik daripada shalatmu di kamar, dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu, dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku (Masjid Nabawi)".
Kemudian Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai wafat. HR. Ahmad no 27090, dihasankan oleh Syu'ai Al-Arnauth
Yahya Al-Imrani dari mazhab Syafi'iyyah mengatakan: "Tidak sah iktikaf wanita kecuali di masjid, maka apabila dia iktikaf di masjid rumahnya -- yaitu yang ia jadikan untuk shalat di rumahnya -- maka terdapat dua pendapat. Diriwayatkan oleh Ibnush Shabbagh dan penulis "At-Tatimmah", pendapat pertama --ini adalah pendapatnya yang baru-- bahwasanya tidak sah.
Kedua -- pendapatnya fil qadim -- sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Karena ini adalah tempat utama shalat wanita maka itu pula tempat iktikafnya, seperti halnya masjid bagi laki-laki.
Pendapat yang pertama (tidak sah) yang lebih benar karena itu (masjid rumah) adalah tempat dimana orang junub boleh tinggal di situ, maka tidak sah iktikaf di dalamnya seperti tanah lapang. (Al-Bayan juz 3 hal 574-575)
Tempat Iktikaf di Saat Wabah
Apa yang dikatakan para ulama di atas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan iktikaf termasuk di dalamnya keharusan laki-laki iktikafnya di masjid -- kecuali pendapat Ali Al-Marginani dari Malikiyyah -- berlaku pada kondisi normal.
Namun apabila kondisi tidak seperti biasanya, dimana ada syarat yang terpaksa tidak dapat dipenuhi, tentunya Islam memberikan keringanan-keringanan yang oleh para ulama disebut "takhfifatusy syar'i". Dalil atas itu adalah firman Allah swt,
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan". (QS. Al-Insyirah: 5 - 6)
Takhfifusy syar'i ini tidak hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib, juga berlaku untuk perkara-perkara yang sunnah semisal kebolehan melaksanakan shalat sunnah dengan duduk dengan pahala separuh dari shalat berdiri dan seperti orang puasa sunnah dapat membatalkan puasanya apabila bertamu dan disuguhi makanan.
Begitu pula iktikaf yang hukumnya sunnah tatkala ada udzur tentu terdapat takhfif (keringanan).
Ada dua jenis takhfif, yaitu takhfif isqath ---keringanan untuk tidak melaksanakannya, dan takhfif ibdal ---keringan untuk melaksanakan gantinya. Dalam kondisi tidak memungkinkan iktikaf di masjid, manakah yang harus dipilih, apakah takhfif isqath atau takhfif ibdal?
Di dalam memutuskan takhfif mana yang dipilih sangat memungkinkan terjadi beda pendapat dengan argumen masing-masing.
Bagi yang memilih takhfif isqath (tidak melaksanakan sama sekali) karena berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa tempat iktikaf adalah masjid, sedangkan rumah atau "masjid rumah" bukanlah masjid.
Dan sebagaimana shalat Jum'at dalam kondisi wabah tidak dilaksanakan padahal wajib dan diganti dengan shalat dhuhur maka terlebih iktikaf yang hukumnya sunnah untuk tidak dikerjakan.
Apabila di halaman atau di pekarangan rumah ada mushala maka iktikaf dapat dilakukan di tempat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Shabbagh dari Mazhab Syafi'iyyah yang dinukil oleh Yahya Al-Imrani.
"Maka adapun apabila seorang laki-laki atau perempuan menjadikan di daar-nya (rumah dengan pekarangannya) sebuah masjid maka boleh baginya untuk iktikaf di dalamnya dan di atas rooftopnya, karena rooftop termasuk bagian dari masjid. Oleh karenanya orang junub dilarang untuk tinggal di situ". (Al-Bayan, juz 3 hal 575).
Bagi yang memilih takhfif tabdil (mengganti tempat iktikaf semula di masjid kemudian diganti dengan iktikaf di masjid rumah) karena ibadah yang sunnah lebih utama dikerjakan di rumah dan iktikaf adalah sunnah, dan karena terdapat pendapat ulama yaitu Muhammad bin Amr bin Lubabah dari mazhab Maliki yang mengatakan iktikaf tidak harus di masjid.
Kalau dalam kondisi wajar saja boleh terlebih dalam kondisi tertentu. Dan ini sejalan dengan kaidah fiqhiyyah "Al-masyaqqah tajlibut taisir" (kondisi sulit menghadirkan kemudahan).
Perbedaan seperti ini juga terjadi dalam mazhab Hanafiyyah dalam kasus iktikaf wanita di masjid rumahnya. Dalam kondisi seorang wanita bermazhab Hanafiyyah yang ingin melaksanakan iktikaf -- yang menurut mazhabnya dia iktikaf di masjid rumahnya -- sementara tidak ada ruangan yang statusnya sebagai masjid di dalam rumahnya, maka menurut mazhabnya apa yang harus dia lakukan. Terdapat dua pendapat yang berseberangan.
Az-Zaila'i dari mazhab Hanafi mengatakan: "Apabila tidak ada masjid di dalam rumah maka tidak boleh dia iktikaf di rumah". (Tabyinul Haqaiq juz 1 hal 350).
Sementara Ali Al-Marghinani dari mazhab yang sama mengatakan, "Apabila tidak memiliki masjid di rumah maka dia (wanita) membuat satu tempat di rumahnya kemudian iktikaf di situ". (Bidayatul Mubtadi juz 1 hal 42).
Mungkin di antara kita ada yang ingin sekali melaksanakan iktikaf dapat melaksanakannya masjid rumahnya dan tentunya tatkala seseorang mengambil pendapat ini menyadari ini adalah kondisi khusus, dan harus memenuhi ketentuan-ketentuan iktikaf sekalipun berada di rumahnya sendiri.
Bagi yang mengambil pendapat lain dengan tidak melaksanakan iktikaf sama sekali di rumahnya ---sekalipun hatinya sangat ingin melakukannya--- dapat dengan cara meningkatkan berbagai macam ibadah di rumah dan berharap mendapatkan pahala yang setimpal dengan iktikaf.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Apabila seorang hamba sakit atau musafir, maka dicatat pahala baginya seperti dia laksanakan saat mukim dan sehat". HR. Al-Bukhari no 2996.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin.
Yogyakarta 14 Ramadhan 1441 H/ 7 Mei 2020 M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H