Mohon tunggu...
Makruf Amari Lc MSi
Makruf Amari Lc MSi Mohon Tunggu... Guru - Pengasuh Sekolah Fiqih (SELFI) Yogyakarta

Alumni Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, melanjutkan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Shalat Syuruq, Apa Bedanya dengan Shalat Dhuha?

4 Mei 2020   12:15 Diperbarui: 14 April 2021   08:53 34713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Shalat Syuruq disebut juga sebagai shalat Isyraq. Apakah yang dimaksud dengan shalat Syuruq? Sama atau berbeda dengan Shalat Dhuha? Kapan mengerjakannya? Berapa banyak raka'atnya? Mari sejenak kita bahas.

Hadits yang dijadikan pegangan untuk shalat Isyraq di antarnya adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dari Anas ra, berikut ini.

Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang shalat Subuh dengan berjama'ah, kemudian duduk dzikrullah sampai terbit matahari, kemudian shalat dua raka'at, maka dia mendapatkan seperti pahala haji dan umrah". Anas berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sempurna, sempurna, sempurna". HR. At-Tirmidzi no 586.

At-Tirmidzi mengatakan ini adalah hadits hasan gharib. At-Tirmidzi bertanya kepada Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari) tentang Abu Dzilal? Beliau menjawab dia "muqaribul hadits", dan Muhammad berkata namanya Hilal.

Muqaribul hadits artinya haditsnya jelek, dan merupakan tingkatan ta'dil kedelapan dan ini tingkatan yang paling bawah, tingkatan yang rasa-rasanya dekat dengan jarah. (lihat Abu Syuhbah, Al-Wasith fi Ulum wa Mushthalahul Hadits, juz 4 hal 258)

Status Hadits

Hadits tersebut dha'if karena dalam sanadnya terdapat Abu Dzilal. Mengenai Abu Dzilal, beberapa ulama memberikan penjelasan di antaranya Imam Al-Mazi dalam Tahdzibul Kamal no 6632  juz 30 hal 351-352 , beliau menukil komentar para ulama tentang Abu Dzilal:

  • Yahya bin Ma'in mengatakan: Abu Dzilal dia adalah Hilal Al-Qasmali, dha'if, laisa bi Syai' (tidak ada apa-apanya).
  • Al-Bukhari mengatakan: Muqaribul hadits.
  • Abu Ubaid Al-Ajurri bertanya kepada Abu Dawud tentang dia (Abu Dzilal) maka beliau tidak menyenangi dan mengedipkan matanya.
  • An-Nasa'i mengatakan: dha'if, juga mengatakan: tidak tsiqah.
  • Abu Ahmad bin Adi mengatakan: seluruh yang ia riwayatkan tidak ada mutabi' dari perawi tsiqah.
  • Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab "Tsiqah".
  • Al-Bukhari mengambilnya sebagai syahid.
  • At-Tirmidzi meriwayatakan haditsnya.

Penilaian Abu Dzilal, salah satu perawi hadits di atas, juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrib, beliau mengatakan: Dha'if terkenal dengan kuniyahnya (Taqribut Tahdzib no 7349). Imam Adz-Dzahabi  dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menukil ucapan Al-Bukhari: indahu manakir (memiliki hadits-hadits mungkar). (Mizanul i'tidal 9280, Tahdzibut Tahdzib no 142)

Syahid untuk Hadits

Syahid adalah istilah dalam ilmu hadits, secara ringkas adalah pendukung hadits yang dimaksud yang memiliki kesamaan dalam isi. Abul Ala Al-Mubakfuri menyebutkan dua syahid untuk hadits Abu Dzilal dari Anas di atas.

Pertama

Dari Umamah ra, dia berkata: Rasululah saw bersabda: "Barangsiapa yang shalat Subuh dalam jama'ah kemudian duduk mengingat Allah sampai terbit matahari kemudian  shalat dua raka'at (setelah matahari setinggi tombak. Pent) dia pulang dengan pahala haji dan umrah". HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir no 7741.

Al-Haitsami mengatakan: Sanadnya jayyid (baik). (Al-Majma' no 16938)

Kedua

Dari Abu Umamah dan Utbah bin Abd, bahwa Rasulullah saw dahulu mengatakan: "Barangsiapa yang shalat Subuh di masjid dengan berjama'ah kemudian berdiam diri sampai shalat Dhuha, maka baginya seperti pahala orang haji dan orang umrah yang sempurna, dia mendapatkan haji dan umrah". HR. At-Tabrani dalam Al-Kabir no 7649.

Al-Haitsami mengatakan: Di dalamnya terdapat Al-Ahwash bin Hakim; Al-Ijli dan lainnya mengatakan tsiqah, sebagian yang lain mendha'ifkan, perawi lainnya tsiqah, dan sebagiannya terdapat perselisihan yang tidak merusak. (Majma' no 16939)

Syu'aib Al-Arnauth saat mentahqiq Musnad Ahmad no 22304 mengatakan: "Dan di dalamnya terdapat Al-Ahwash bin Hakim, dia diperselisihkan. Dan Ad-Daruquthni mengatakan dia dianggap apabila perawi tsiqah meriwayatkan darinya. Kami (Syu'aib Al-Arnauth) katakan: Dan dalam hadits ini Marwan bin Mu'awiyah Al-Fazzari  meriwayatkan darinya, dan dia (Marwan) tsiqah. (Musnad Ahmad juz 36 hal 642)

Tim Muhaqqiq kitab Al-Mathalibul Aliyah mengatakan: dan dengan demikian maka hadits yang seperti hadits Anas yang menunjukkan berdiam diri di tempat shalat setelah shalat fajar sampai terbit matahari mengingat Allah, (statusnya) tidak kurang dari hasan lighairihi (Al-Mathalibul Aliyah dengan Tahqiqi juz 4 hal 259)

Tambahan Syahid

Selain dua syahid di atas yang disebutkan oleh Abul Ala Al-Mubakfuri, hadits berikut dapat juga dijadikan syahid:

Ibnu Umar mengatakan: "Rasulullah saw apabila shalat Fajar (Shubuh) tidak berdiri dari tempat duduknya sampai memungkinkan shalat (sesaat setelah terbit matahari.Pent)". dan Mengatakan: "Barang siapa shalat Shubuh kemudian duduk di tempat duduknya sampai memungkinkan shalat, maka seperti kedudukan umrah dan haji yang maqbul". HR. At-Thabrani dalam Al-Awsath no 5602.

Al-Haitsami mengatakan: Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan di dalamnya terdapat Al-Fadhl bin Muwaffaq. Ibnu Hibban mengatakan tsiqah, Abu Hatim Ar-Razi mendha'ifkan haditsnya dan perawi lainnya tsiqah (Majma' no 16940).

Dari Tim Muhaqqiq kitab Al-Mathalibul Aliyah mengatakan: dan dengan demikian maka hadits yang seperti hadits Anas yang menunjukkan berdiam diri di tempat shalat setelah shalat fajar sampai terbit matahari mengingat Allah, (statusnya) tidak kurang dari hasan lighairihi (Al-Mathalibul Aliyah dengan Tahqiqi juz 4 hal 259)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan: "hadits ini memiliki jalur-jalur "la ba'tsa biha" (yang tidak mengapa), dengan demikian dianggap wilayah "hasan li ghairihi". (Majmu' Fatawa Bin Baz juz 25 hal 171).

Makna Hadits

Makna hadits dari Anas di atas, melaksanakan shalat dua raka'at dengan pendahuluan yaitu: shalat Subuh berjama'ah -- dalam salah satu hadits syahid mengatakan di masjid -- dan tidak beranjak dari tempatnya, dengan melakukan dzikir sampai terbit matahari. Setelah  tinggi matahari sekitar satu tombak ---atau sekitar 15 menit semenjak terbit matahari--- melaksanakan shalat dua raka'at. Para ulama menyebutnya dengan shalat Isyraq, sebagian kita menyebutnya shalat Syuruq. Artinya shalat yang dilaksanakan sesaat setelah matahari terbit.

Pahala seperti pahala haji dan Umrah diraih oleh orang yang melaksanakan shalat dua raka'at -- salah satu riwayat di masjid -- berdasar hadits hasan lighairihi atau hasan seperti yang dikatakan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani -- yang di awali dengan shalat Shubuh berjama'ah dilanjutkan dengan dzikir, dan tidak beranjak dari tempatnya sampai melaksanakan shalat dua raka'at tersebut. 

Dalam hadits Muslim no 670, para sahabat berbincang-bincang dengan Rasulullah saw sampai terbit matahari. Dan di antara perbincangannya tentang masa lalu jahiliyyah, sehingga mereka tertawa dan Rasulullah saw tersenyum. Tanpa menyebutkan shalat dua raka'at dan balasannya.

Hukum Shalat Isyraq

Para ulama sepakat tentang adanya shalat Isyraq, shalat dua raka'at sesaat -- sekitar 15 menit -- setelah matahari terbit. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang status shalat tersebut, apakah merupakan bagian dari shalat Dhuha atau shalat tersendiri yang bukan bagian dari shalat Dhuha.

Imam Al-Ghazali : Shalat Isyraq Berbeda dengan Shalat Dhuha

Hujjatul Islam imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin memahami dua shalat tesebut berbeda. Dan pendapat yang mengatakan berbeda antara kedua shalat tersebut sepertinya dinisbatkan kepada beliau.

Beliau mengatakan: "Dan bahwasanya yang utama shalat dua raka'at saat matahari, yaitu apabila matahari sudah terbentang dan tinggi sekitar setengah tombak. Dan shalat empat, enam, atau delapan raka'at apabila anak unta atau lembu yang sudah disapih merasa kepanasan dan kaki terkena matahari tersebab panas matahari".

Maka waktu shalat dua rakaat yaitu yang dimaksud oleh Allah swt dalam firmanNya "inna sakharna al-jibala ma'ahu yusabihna bil 'asyiyi wal isyraq, sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama Dia (Daud) di waktu petang dan pagi", adalah waktu terbit matahari yaitu munculnya cahaya matahari yang sempurna dengan melewati gelombang uap air dan debu yang di atas bumi, karena itu semua menghalangi cahaya matahari secara sempurna.

Dan waktu raka'at-raka'at yang jumlahnya empat yaitu dhuha yang atas yang Allah bersumpah dengannya dengan firmanNya "wadh dhuha wal laili idza saja" (Ihya' Ulumididdin juz 1 hal 337-338)

Di antara ulama yang berpendapat seperti imam Al-Ghazali adalah As-Suyuthi dan Ali  Al-Muttaqi seperti yang dikatakan oleh Muhammad Anwar Syah (Al-Urfusy Syadzi juz 1 hal 443)

Syaikh Nawawi Al-Bantani -- ulama' yang berasal dari Nusantara -- sepertinya mengatakan demikian juga. An-Nawawi Al-Bantani mengatakan: "Dan di antara hal itu (shalat sunnah yang dianjurkan untuk tidak berjama'ah) adalah shalat Isyraq". (lihat: Nihayatuz Zain juz 1 hal 103)

Beliau sampaikan secara terpisah setelah membahas shalat Dhuha, dan tidak ada pernyataan beliau bahwa shalat Syuruq bagian dari shalat Dhuha. Sekalipun saat menjelaskan soal waktu terdapat kesamaan antara keduanya. Ini indikasi bahwa menurut beliau shalat Isyraq berbeda dengan shalat Dhuha. Wallahu A'lam.

Pendapat Jumhur : Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha di Awal Waktu

Sementara jumhur ulama mengatakan: shalat Syuruq bagian dari shalat Dhuha yang di awal waktu. Ath-Thayyibi, beliau menafsirkan hadits "tsumma shalla rak'ataini" --kemudian shalat dua raka'at-- seperti yang dinukil oleh Abul Ala Al-Mubakfuri dengan mengatakan: artinya shalat setelah terbit matahari kira-kira setingga tombak sampai berlalu waktu makruh. Dan shalat ini dinamai shalat Isyraq dan dia itu awal shalat Dhuha. (Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal 157)

Ar-Ramli dari madzhab Asy-Syafi'i, beliau mengatakan: "Bahwasanya yang diakui, bahwa shalat Isyraq adalah shalat Dhuha" (Fatawa Ar-Ramli juz 1 hal 220)

Ibnu Hajar Al-Haitsami, beliau berkata: "Dan -- Imam Al-Ghazali -- menjadikan firman Allah surat Shad ayat  18 "yusabbihna bil 'asyiyi wal isyraq" bukan shalat Dhuha, perlu dipertanyakan. Karena di dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas ra bahwa itu (surat Shad ayat 18) adalah shalat Awwabin (no 6873) dan itu adalah shalat Dhuha. 

Dinamai demikian (shalat Awwabin sebagai shalat Dhuha) berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Tidak komitmen terhadap shalat Dhuha kecuali  awwab". Rasulullah saw bersabda: "Yaitu sahalat nya Awwabin ". HR. Al-Hakim no 1182. Al-Hakim mengatakan: sesuai syarat Muslim.

Ibnu Hajar Al-Haitsami melanjutkan ucapannya: "bahwasanya tidak boleh melaksanakannya dengan niat shalat Isyraq". (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra juz 1 hal 188)

Syaikh Al-Utsaimin, beliau mengatakan: "Dia adalah shalat Isyraq dan dia adalah shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha dari saat  tinggi matahari satu tombak sampai menjelang tergelincir. (Majmu' Fatawa dan Rasail Al-Utsaimin no 872)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau mengatakan: "Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha di awal waktunya. Dan yang afdhal melaksanakannya waktu dhuha tinggi dan sangat panas". (Majmu' Fatawa bin Baz juz 11 hal 401). "Dan dianjurkan shalat ini setelah terbit matahari dan tingginya seukuran tombak, yaitu kira-kira setelah sepertiga atau seperempat jam setelah terbit". (Majmu' Fatawa Bin Baz Juz 25 hal 171)

Penggabungan Makna

Apakah shalat dua raka'at sesaat setelah matahari terbit itu adalah terpisah dari shalat Dhuha, para ulama berbeda pendapat. Pangkal perbedaannya pada bagaimana memposisikan shalat dua rakaat yang dikatakan oleh Nabi dalam hadits At-Timidzi di atas. Apakah shalat Dhuha atau terpisah? Karena waktunya adalah waktu shalat Dhuha.

Al-Utsaimin memadukan keduanya. Beliau mengatakan, "Dua raka'at Dhuha adalah dua raka'at Isyraq. Kalau  anda laksanakan dua raka'at di awal waktu yaitu setelah matahari setinggi tombak maka itu shalat Isyraq dan Dhuha, Apabila anda tunda sampai akhir waktu maka dua raka'at itu adalah shalat Dhuha" (Majmu' Fatawa dan Rasail Al-Utsaimin no 872).

Kesimpulan

Dari pemaparan hadits-hadits beserta statusnya dan juga pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa:

  • Shalat Isyraq atau shalat Syuruq berbeda dengan shalat Dhuha, menurut pendapat Imam Al-Ghazali dan yang lainnya
  • Shalat Isyraq atau shalat Syuruq adalah shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu, sebagaimana pendapat mayoritas ulama
  • Jika dilaksanakan di awal waktu, disebut shalat Isyraq, jika dilaksanakan di akhir waktu, disebut shalat Dhuha, sebagaimana pendapat Syaikh Utsaimin.

Walhamdulillahi Rabbil Alamin.

Yogyakarta, 10 Ramadhan 1441 H/ 3 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun