Dari aktivitas ini, sang guru memperoleh informasi tentang pribadi anak setidaknya dalam dua hal, yakni cita-cita dan gaya belajar anak. Dari apa yang dibuat anak, tampak ada begitu banyak cita-cita anak seperti ingin menjadi reporter, sutradara, arsitektur, pengacara, bahkan masih banyak lagi. Dan, dari kategori kegiatan yang dipilih, sang guru mulai mengenal gaya belajar anak. Kategori meneruskan gambar memiliki kecenderungan belajar dengan visual. Kategori meneruskan kalimat lebih cenderung belajar dengan media verbal (audio) dan tulisan. Bagi yang memilih kategori meneruskan batang korek api, mereka memiliki kecenderungan belajar dengan kinestetik. Dan bagi kategori meneruskan kasus memiliki kecenderungan belajar dengan studi kasus atau analisis.
Dengan media itu sang guru mulai mengenal karakter anak-anaknya. Tentunya informasi itu akan sangat mempermudah sang guru dalam mendesain pembelajaran untuk mereka dengan mempertimbangkan keragaman karakter anak didiknya. Bukan lagi penyeragaman yang dilakukan sang guru tetapi justru mendesain pembelajaran yang mengakomodasi keragaman itu. Hal ini menjadi sebuah pembelajaran tersendiri bagi sang guru tentang esensi pembelajaran itu sendiri bahwa pembelajaran itu ada untuk anak didik.
Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H