Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (14): Dinamika "Meneruskan", Analisisnya Pembelajaran dalam Keragaman

15 September 2021   15:15 Diperbarui: 15 September 2021   15:16 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Banyak pendidik datang ke ruang-ruang kelas berharap untuk dipahami dan dimengerti. Akhirnya kekecewaan dan amarah yang muncul tatkala harapan itu berbanding terbalik. Saatnya pendidik berusaha aktif untuk memahami dan mengerti.

Tahun ajaran baru dimulai, tentunya kegembiraan para siswa sangat nampak seiring dengan teman baru dalam satu kelas. Tak lupa pula sang guru pun tampak berseri-seri karena akan mendapatkan anak didik baru setelah mengantar anak didik sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi. 

Pastinya wajah-wajah anak di kelas itu masih begitu asing bagi sang guru. Senyum terbaik coba dikembangkan sang guru sebagai ekspresi ungkapan selamat datang untuk mereka. Senyum itu pun dibalas dengan antusiasme dan keceriaan anak-anak untuk sang guru.

Tak lama kemudian sang guru sudah asyik terlibat dalam pembicaraan perkenalan dengan anak-anak. Alur dari utara sampai selatan dan dari barat sampai ke timur menjadi bahan perbincangan di kelas itu. 

Tampak begitu akrab sekali sang guru dengan anak-anak seperti teman akrab saja yang sudah begitu lama terpisah dan bertemu kembali. Itulah awal perkenalan sang guru dan anak didik barunya, begitu renyah dan menyenangkan.

Setelah perkenalan itu selesai, sang guru mengajak anak-anak keluar kelas menuju ruangan lain yang berbeda kompleks di lingkungan sekolah itu. 

Sesampainya di ruangan yang dituju, anak-anak melihat sudah ada begitu banyak kertas yang tertempel di tembok yang lengkap dengan spidol. 

Kertas-kertas yang tertempel ada yang sudah ditulisi sebuah kalimat dan ada juga yang baru digambar sederhana seperti garis, titik, lingkaran, dan segitiga.

Bahkan ada beberapa meja yang sudah siap dengan beberapa korek api lengkap dengan kertas, gunting, dan lem. Di sisi yang lain, anak-anak pun melihat tumpukan kertas kecil yang sudah ada tulisannya. Rupanya tulisan itu berupa cerita seperti kasus-kasus tertentu. 

Anak-anak sejenak memandangi keadaan ruangan itu. Mereka masih tampak termenung sambil mencoba memprediksi aktivitas selanjutnya.

Analisis untuk Pembelajaran

Suatu ketika sang guru membaca sebuah buku yang ditulis oleh Ralph W Tyler dengan judul Basic Principles of Curriculum and Instruction. Dalam buku itu Tyler menekankan tentang pentingnya analisis kebutuhan dalam mendesain pembelajaran karena            analisis kebutuhan dapat menjadi sebuah media bagi guru untuk mengenal latar belakang dan kebutuhan anak didik. Hal itu muncul berawal dari pengalaman Tyler ketika menjadi guru di sebuah sekolah.

Suatu ketika Tyler harus mendesain pembelajaran untuk anak-anak yang berasal dari berbagai ras di Amerika waktu itu. Ada berbagai ras dan latar belakang dari anak-anak yang bersekolah di mana Tyler mengajar. Belum lagi pastinya ada begitu beragam pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki anak-anak. Akhirnya Tyler menyadari bahwa pembelajaran bukan hanya berbicara materi belaka tetapi  prior knowledge, prior experience, dan keadaan lingkungan anak didik itu juga.

www.goodreads.com
www.goodreads.com
Belajar dari pengalaman Tyler itu, sang guru berusaha mengenali karakter anak didiknya yang baru saja belajar bersama sang guru untuk pertama kalinya. Bagi sang guru, analisis karakter pada anak-anak akan sangat membantu sang guru dalam mendesain pembelajaran untuk mereka ke depan seperti halnya yang dilakukan oleh Tyler. Ruangan yang sedang dipandangi anak-anak itu menjadi media awal bagi sang guru untuk mengenal karakter anak-anak.

Setelah sejenak memandangi segala sesuatu dalam ruangan itu, sang guru memberi kebebasan individual bagi anak-anak untuk memilih aktivitas yang akan dilakukan di ruangan itu. Sang guru memberi empat pilihan untuk anak-anak. Pertama, sang guru memberi kebebasan pada anak-anak untuk meneruskan gambar sederhana yang ada. Mereka boleh membuat gambar apa saja sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan dari gambar sederhana yang ada itu.

Kedua, anak-anak dapat juga melanjutkan satu kalimat yang ada di kertas tertentu, misalnya tertulis "Hari ini aku akan pergi ke Paris". Dari kalimat itu, anak-anak boleh melanjutkan menjadi sebuah cerita dengan alur tertentu. Ada begitu banyak kertas yang hanya ditulisi satu kalimat sehingga anak-anak  bisa memilihnya. Ketiga, anak-anak bisa memilih melanjutkan sebuah batang korek api dengan menggunakan kertas dan lem yang ada menjadi sebuah hasil karya tertentu. Mereka boleh berkreasi membuat apapun. Keempat, anak-anak juga boleh memilih membaca cerita kasus yang ada lalu memecahkan solusinya.

Setelah sang guru memberi penjelasan tentang empat jenis kegiatan itu, tiba waktunya anak-anak menentukan untuk dirinya sendiri akan memilih kegiatan apa dari empat pilihan yang ada. Sembari anak-anak sibuk memilih dan melakukan aktivitas, sang guru begitu asyik mencermati aktivitas anak-anak. Anak-anak tampak begitu antusias berkreasi dalam gambar, tulisan, hasil karya, dan memecahkan masalah. Sang guru tak lupa mengingatkan anak-anak untuk menuliskan nama mereka.

Setelah beberapa lama anak-anak melakukan kegiatan itu mulai tampak hasil kerja mereka dan sang guru pun sangat antusias melihat dan berbincang-bincang dengan anak-anak tentang apa yang mereka buat. Untuk kategori meneruskan gambar, sang guru melihat ada anak yang meneruskan gambar titik menjadi sebuah puncak gunung dengan pemandangan yang indah. Dan tampak ada gambar orang yang sedang berjalan menuju puncak gunung itu. Dari hasil perbincangan dengan anak itu, sang guru menjadi paham bahwa gambar itu adalah sebuah analogi dari perjalanan cita-cita anak itu di mana untuk mencapai puncak gunung itu membutuhkan perjuangan. Seperti halnya cita-citanya menjadi reporter petualangan adalah sebuah perjuangan.

Di bagian kategori meneruskan kalimat, sang guru juga berbincang-bincang dengan anak yang melanjutkan kalimat "Hari ini aku akan pergi ke Paris". Vina, begitulah nama anak itu, melanjutkan kalimat itu menjadi sebuah cerita petualangan tentang cita-citanya ingin menjadi seorang sutradara handal. Bagaimana dia mempelajari film-film perancis terurai dalam cerita yang dibuatnya. Sang guru pun hanya bisa terkagum-kagum dengan kemampuan Vina melanjutkan kalimat itu.

Sang guru pun menemukan kreativitas anak-anak yang ada di kategori meneruskan batang korek. Ayu begitu teliti dan sabarnya menumpuk batang-batang korek itu menjadi layaknya menara Eiffel. Di puncak menara itu dia kibarkan bendera merah putih. Menara buatan Ayu itu menjadi perlambang dari harapan Ayu yang ingin menjadi seorang arsitektur yang bisa membuat desain yang indah dan estetis.

Lalu, bagaimanakah dengan anak-anak yang memilih meneruskan kasus yang ada dengan mencari solusinya? Tampaknya anak-anak di kelompok ini tidak kalah antusias dan kreatif. Seorang anak bernama Pianta tampak memecahkan kasus tentang peradilan dari beberapa jenis kasus yang ada. Pianta mencoba memposisikan dirinya sebagai pengacara untuk melakukan pembelaan untuk terdakwa. Dengan berbagai argumen yang disodorkan dalam pemecahan masalahnya, Pianta mencoba membela terdakwa dari tuntutan jaksa.

Dari aktivitas ini, sang guru memperoleh informasi tentang pribadi anak setidaknya dalam dua hal, yakni cita-cita dan gaya belajar anak. Dari apa yang dibuat anak, tampak ada begitu banyak cita-cita anak seperti ingin menjadi reporter, sutradara, arsitektur, pengacara, bahkan masih banyak lagi. Dan, dari kategori kegiatan yang dipilih, sang guru mulai mengenal gaya belajar anak. Kategori meneruskan gambar memiliki kecenderungan belajar dengan visual. Kategori meneruskan kalimat lebih cenderung belajar dengan media verbal (audio) dan tulisan. Bagi yang memilih kategori meneruskan batang korek api, mereka memiliki kecenderungan belajar dengan kinestetik. Dan bagi kategori meneruskan kasus memiliki kecenderungan belajar dengan studi kasus atau analisis.

Dengan media itu sang guru mulai mengenal karakter anak-anaknya. Tentunya informasi itu akan sangat mempermudah sang guru dalam mendesain pembelajaran untuk mereka dengan mempertimbangkan keragaman karakter anak didiknya. Bukan lagi penyeragaman yang dilakukan sang guru tetapi justru mendesain pembelajaran yang mengakomodasi keragaman itu. Hal ini menjadi sebuah pembelajaran tersendiri bagi sang guru tentang esensi pembelajaran itu sendiri bahwa pembelajaran itu ada untuk anak didik.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun