Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (9): Pameran, Kolaboratifnya Pembelajaran

8 September 2021   04:05 Diperbarui: 11 September 2021   06:55 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Cita-cita bukan sesuatu yang ada jauh di depan. Justru cita-cita dimulai saat ini dan di sini. Saatnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi anak-anak menyusun puzzle cita-cita mereka dalam kebersamaan dan kepercayaan.

Pagi itu ruang kerja guru tampak sunyi dan sang guru pun tampak asyik di depan laptopnya mengerjakan sebuah rancangan pembelajaran untuk minggu depan sembari diiringi musik klazik. 

Serasa menemukan situasi terbaiknya, ide sang guru begitu mengalir dari kata demi kata di layar laptopnya. 

Rangkaian kata demi kata itu diberi judul "Kolaborasi, Mengapa Tidak?" oleh sang guru. Tampaknya ada sesuatu yang baru yang akan dibawa sang guru ke dalam kelas untuk minggu depan.

Seminggu berjalan dan waktu menantikan realisasi rancangan sang guru pun tiba. Apakah yang akan terjadi? Tampak sang guru sudah berjalan menuju sebuah kelas dengan langkah santai seolah-olah tidak ada sesuatu yang baru yang hendak terjadi di kelas. 

Serasa semuanya akan berjalan seperti hari-hari biasanya. Hanya sang guru, Sang Penguasa Semesta, dan laptoplah yang tahu rahasia itu.

Sesampainya di kelas sang guru seperti biasa tegur sapa dengan anak-anak dengan senyum dan gaya khasnya. Sesekali melepas guyonan yang membuat kelas senang dan nyaman untuk memulai pembelajaran bersama sang guru. 

Canda tawa tidak akan lepas dari interaksi sang guru dan anak-anak seiring dengan dinamika yang ada. Kecintaan dan ketertarikan anak-anak pada gaya sang guru telah mengantarkan anak-anak itu memperoleh kenyamanan dan makna dalam pembelajaran.

Tiba saatnya sang guru melontarkan pertanyaan kepada anak-anak. "Pelajaran apakah yang kalian sukai?" Anak-anak diminta menentukan minimal 2 mata pelajaran dari pertanyaan sang guru itu. 

Spontan kelas pun mulai disibukkan dengan hiruk pikuk anak-anak yang mencoba melihat kembali pelajaran-pelajaran yang ada. Di sisi lain, sang guru pun harus siap kalau mata pelajarannya tidak disukai anak-anak.

Setelah semua menentukan pilihannya dan menuliskan di sebuah kertas beserta alasannya. Tiba saatnya mereka mengutarakan pilihannya itu pada kelas. Desta yang memulai pembicaraan itu menyatakan bahwa dia menyukai matematika dan fisika. 

Alasannya sangat sederhana karena dia ingin menjadi seorang pilot yang handal. Selain itu, menurut dia dua mata pelajaran itu sangat kuat melatih cara berpikir sistematis.

Beda halnya dengan Frederica yang lebih menyukai Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Biologi. Dia memang bercita-cita menjadi dokter. Tetapi bagi dia, kemahiran dalam berbahasa akan sangat membantu dia tatkala harus berkomunikasi dengan pasien. 

Oleh karena itu, dia sangat senang sekali ketika ada aktivitas dalam pembelajaran yang lebih menekankan aspek bicara seperti debat, diskusi kelompok, atau dinamika lain seperti drama, baca puisi, atau wawancara.

Sedangkan Anton yang sangat menyukai hobi fotografi lebih menyukai Sejarah dan Menggambar. Rupanya Anton banyak menghabiskan waktu sepulang sekolah atau saat libur dengan hunting foto di tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah. 

Banyak koleksi foto dia tentang bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda. Dia bercita-cita menjadi seorang arsitektur handal sehingga nantinya bisa mendesain dan merenovasi bangunan-bangunan kuno yang terbengkalai itu. Itulah sebabnya dia menyukai Sejarah dan Menggambar.

Masih banyak pilihan anak-anak dengan berbagai alasannya. Yang membuat sang guru bangga adalah anak-anak mampu menghubungkan pelajaran yang disukai dengan cita-citanya.

 Bahkan ada juga yang mengkaitkan dengan kepeduliannya pada lingkungan sekitar seperti apa yang diutarakan Anton tentang kepeduliannya pada peninggalan sejarah yang ada.

Pameran Ekspresi

Khusus untuk satu minggu itu sang guru telah merancang bahwa pembelajaran dengannya akan digunakan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan interest mereka. 

Sang guru telah menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk ruang ekspresi anak-anak. Ruangan itu didesain sebagai ruang pameran anak-anak akan ekspresi mereka tentang mata pelajaran yang mereka sukai dan cita-cita mereka.

Anton dengan antusias memamerkan foto-foto jepretannya dan juga desain bangunan kuno yang dirancang sebagai versi renovasinya. Idealisme Anton benar-benar tertuang dalam pameran kelas itu. 

Kecintaannya pada sejarah telah mendorong dia bukan hanya belajar sejarah belaka namun justru memotivasi dia mencintai gambar sebagai media ekspresinya.

Ada juga kumpulan anak-anak penggemar fisika dan kimia yang mencoba menampilkan konstruksi ujicoba roket. Bahkan mereka juga akan mendomentrasikan kerja roket itu di lapangan sepak bola. 

Anak-anak lain bisa menyaksikan di lorong lantai dua yang menghadap ke lapangan bola tepat di samping ruang pameran. Begitu bangganya anak-anak itu tatkala demonstrasi roket mereka berhasil dan pujian dari teman-teman pun begitu mereka rasakan.

Di saluh satu pojok ruang pameran pun ada kelompok anak-anak pencinta ilmu bumi. Mereka mencoba membuat simulasi proses terjadinya gunung berapi. 

Gunung yang dibuat dari kertas dengan kombinasi campuran tertentu telah membuat miniatur itu tampak seperti gunung sungguhan. Bahkan lahar dan larva buatan mereka pun nyaris tak ada bedanya dengan yang asli keluar dari gunung berapi.

Seperti tak mau kalah dengan yang lain, di salah satu pojok yang lain ada anak-anak pecinta bahasa, biologi, dan komputer menyajikan sebuah pertunjukan seni sederhana. Ada anak yang menampilkan musikalisasi puisi tentang sastra kontemporer versi mereka. 

Berbagai kreativitas mereka buat seperti puisi organ tubuh manusia atau puisi komputer. Imaginasi dan fantasi mereka mencoba menguraikan tentang kehidupan ini layaknya sebuah manusia dengan organ tubuhnya atau komputer dengan segala sistemnya (software dan hardwarenya).

Anak-anak seperti menemukan dunianya yang telah lama hilang dalam pameran itu. Begitu antusias dan energiknya mereka bergulat dengan imaginasi dan simulasi yang ada. 

Mereka saling berlomba-lomba mengekspresikan kemampuan dan cita-citanya. Tetapi mereka juga saling menghargai satu sama lain dan tampak saling memuji hasil karya teman yang lain.

Kolaborasi: Kreatif dan Inovatif

Sang guru telah memberi kesempatan yang berharga bagi anak-anak untuk mengekspresikan dirinya dalam sebuah kolaborasi pembelajaran. 

Anak-anak tidak hanya belajar satu mata pelajaran saja dalam ruang pameran itu tetapi mereka mampu mengkombinasikan beberapa mata pelajaran dalam pameran mereka.

Dan anak-anak pun telah memberi kebanggaan yang tiada tara pada sang guru. Anak-anak itu menjawab kepercayaan sang guru dengan menunjukkan kemampuan kolaboratif mereka dalam kombinasi beberapa mata pelajaran dalam pemeran mereka. 

Tampak sekali betapa kreatif dan inovatifnya anak-anak itu dalam mengekspresikan kemampuan dan cita-citanya. Mereka serasa terbebas dari "kurungan" kurikulum yang sering memenjarakan mereka dengan penjara mata pelajaran yang terkotak-kotak itu.

Ketika pameran itu berakhir, sang guru dan anak-anak mencoba melihat kembali proses itu dan kemudian memaknainya, tampak sang guru menutup proses pembelajaran itu dengan mengacungkan kedua ibu jarinya dan berkata "Super Hebat". 

Tak lama kemudian, tepuk tangan pun membahana serasa merayakan kreativitas dan inovasi mereka dalam pembelajaran. Ibu pertiwi pun tersenyum bangga.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. 

Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. 

Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun