Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (3): Kembali ke Masyarakat, Pedulinya Pembelajaran

1 September 2021   04:05 Diperbarui: 1 September 2021   04:03 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan bisa menjadi penghalang besar atas berkembangnya peradaban manusia yang humanis ketika tidak berani menembus batas kemapanan. Saatnya pendidikan membiasakan anak-anak dengan rasa peduli pada sesama.

Teringat dengan sekolah Tomoe Gakuen, sekolah di gerbong kereta di mana Totto-Chan belajar, ada harapan besar mengambil spirit pembelajaran di sekolah itu.  Di sekolah itu anak didik  belajar tentang persahabatan, rasa hormat, menghargai orang lain, mandiri, dan memiliki kebebasan menjadi diri sendiri lewat dinamika dan pengalaman hidup secara nyata. 

Bukan bergelut dengan hafalan teori-teori membosankan dan drill latihan untuk menghadapi ujian. Sekolah Tomoe Gakuen justru menjadi kerinduan bagi anak-anak di saat malam mulai tiba. Ingin rasanya pagi segera datang dan kembali ke sekolah untuk belajar. 

Hal ini sangat kontras dengan sekolah di negeri kita tercinta ini. Sekolah menjadi sosok yang membosankan dan melelahkan serta menjadi monster yang menakutkan. Ingin sekali anak-anak segera mengucapkan "Selamat Tinggal Sekolah".

Menembus Tembok Kelas

Terinspirasi dari film Dead Poets Society yang dibintangi oleh aktor terkenal Robin Williams  yang menjadi guru Bahasa Inggris, John Keating namanya, ada konsep baru untuk menembus tembok kelas dalam pembelajaran. Kadangkala tembok kelas telah memenjarakan pengembangan kemampuan anak didik dengan teori-teori yang ampuh pada jamannya. 

Guru Keating telah mendobrak banyak hal tentang kebiasaan dan tradisi di sekolah itu. Dia mengatakan bahwa para siswa boleh memanggil dia dengan "O Captain! My Captain!" jika mereka merasa tertantang dan berani. Sebutan itu merupakan judul dari puisi Walt Whitman. Ini adalah cara yang unik dan tidak lazim di sekolah itu. Tidak berhenti sampai di situ.

Dead Poets Society. www.esquire.com
Dead Poets Society. www.esquire.com
Pertama kali dia masuk kelas, dia jalan santai dengan menyiulkan sebuah musik intro dari tahun 1812-an lalu mengajak para siswa keluar kelas untuk fokus tentang sebuah ide "Carpe Diem" (Bahasa Latin untuk Seize the day) dengan melihat foto-foto siswa Welton yang sudah lulus yang dipajang di lemari tropi. Dia mengantar para siswa pada sebuah permenungan dan refleksi tentang hidup. 

Itu semua dia lakukan untuk mengajarkan kualitas puisi yang ada dalam essainya Dr. J. Evans Pritchard, Phd yang berjudul "Understanding Poetry" dengan cara lain.

Keating benar-benar membuka kesadaran kita bahwa pembelajaran itu sangat luas. Kelas dan buku bisa menjadi penjara tatkala keduanya dijadikan fokus utama dalam pembelajaran. Di luar kelas ada begitu banyak materi pembelajaran yang justru menghubungkan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun