Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (86): Tafsiran Kehidupan dalam Kumparan Makna

24 Mei 2021   08:48 Diperbarui: 24 Mei 2021   09:21 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.raymond.tours 

Kehidupan adalah tafsiran dari hukum semesta dan keilahian Sang Pencipta. Kehidupan masing-masing orang begitu beragam dengan segala pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Itulah kristalisasi dari sebuah tafsiran pada dunia abstrak penuh dengan gelombang ide dan kumparan makna.

Ternyata hidup seorang diri adalah kebahagiaan sesaat, aku anak Greenhigh yang muak dengan semua peraturan orangtua. Sudah dua minggu lamanya aku tinggal di Hideaway, pinggiran kota impianku. Semua kardus sudah habis kubongkar dan sekarang buku-buku tertata rapi di ruang belajar. 

Dari semua ruang yang ada, mataku tetap memilih ruang itu, letaknya di dekat atap rumah. Langit tampak dekat dan bintang sangat bercahaya bila dilihat dari jendela ruang itu, hal ini menyenangkan. 

Aku bekerja di Toko Paman Will, menyediakan kebutuhan sehari-hari, letaknya di ujung jalan ini. Paman sering pergi meninggalkan Hideaway dan lebih memilih bekerja di kota. Bagiku, dia sangat baik, mau meminjamkan sepeda kepadaku untuk bekerja dan mengantar pesanan pelanggan. Terkadang melayani pelanggan membuatku teringat keadaan di Greenhigh, semua orang gila hormat.

Kira-kira pukul tujuh pagi, aku memulai hari dengan memotong ilalang yang terlalu panjang di halaman depan. Sepeda kuno dan jendela kaca juga aku bersihkan dari kotoran-kotoran burung. "Hey! Kau baru pindah? Aku tidak pernah mengenalmu." Suara terdengar dari kejauhan. Aku mengabaikannya dan tidak berniat membuka hati kepada siapapun di lingkungan ini, aku tidak ingin berteman. 

Aku sibuk membereskan peralatanku dan berharap sesegera mungkin mencapai gagang pintu. Dia sudah mendekat ke halaman, tatapannya mengamati, "Kau senang membuat menara batu, huh?" Tanpa melihatnya aku menjawab, "Desa berevolusi, hutan akan hilang, ribuan manusia akan datang." Aku berharap dia mengerti maksud perkataanku itu. Kemudian, aku masuk ke dalam rumah, menenangkan diri, menikmati indahnya sungai di belakang toko Paman Will.

Ilustrasi.www.forrent.com 
Ilustrasi.www.forrent.com 
Rasanya mustahil jika lelaki tadi membiarkan kami tidak berkenalan, sekarang otakku dipenuhi koma. Aku mengambil karung besar berisi ilalang dan dedaunan kering, meletakkannya di halaman belakang. Lalu, aku mandi, bergegas ke toko Paman Will, Koran terbitan lama harus dibereskan sebelum pelanggan datang. 

Seketika, darahku mengalir hingga ujung kepala, melihat lelaki tadi berada di dalam toko paman. Ia membersihkan bekas tinta bolpen pada meja kasir sambil bersiul dengan gembira. 

"Bagaimana kau bisa masuk? Lebih baik kau kembali ke rumah dan bersantai," kataku tenang. Dia memberikan senyuman aneh, "Galaknya! Namaku Jill, aku rasa toko ini milik pamanku, wajar aku masuk," balasnya. Kami terdiam, "Hey, yang benar saja hanya terdiam, siapa namamu?" Dia melihat name tag nama di dada kiriku "Hella?"

Lagu modern terdengar kencang di setiap sudut toko dan berantai-rantai lirik sudah terekam dalam pikiranku. "Aku pindah dari Greenhigh kemari, ribuan orang datang kesana dan mencari kehormatan, sangat serakah," kataku. "Lalu, untuk apa menara batu di halaman rumah? Ada hubungannya?" tanya Jill menatapku penasaran. 

"Ada, bagiku permasalahan hanya berputar dalam lingkaran, tidak pernah menemukan titik, tapi menara memiliki ujung." Tampaknya Jill tidak paham, "Di atas sana, bersyukurlah atas indahnya alam, itu membuatmu tidak tamak," lanjutku. 

Dia menjawab pelan, "Benarkah? Kalau begitu aku harus pergi bersamamu, sebotol bir bisa melengkapinya, kan?" Aku menutup toko lebih larut dari biasanya, Jill mengunci pintu kaca dan aku memastikan semuanya terkunci. Rumah kami bersebrangan, jadi kami jalan berdua, hari ini sangat menyenangkan.

Jill memasuki rumah kecilku dan menganggapnya rumah sendiri, kepercayaan dirinya sangat tinggi. Aku mengambil dua buah gelas kaca di dapur, meraih beberapa makanan ringan yang kupunya. Jill berdiri di depan lukisan di mana peradaban digambarkan, tangannya meraba lukisan itu seakan dia sungguh menyukainya. 

"Hella, kau punya secarik kertas?" tanya Jill. "Ada! Di ruang belajarku, ayo ke sana!" jawabku spontan. Kami duduk di kursi anyaman bamboo pemberian paman Will, menikmati indahnya malam dan bintang bersinar. 

Tidak lama kemudian, dia berkata, "Aku sadar manusia memang harus bersyukur, tolong simpanlah ini untukku." Mata kami saling bertemu, bagaikan anak panah yang sudah menemukan tuannya.

*WHy-diA

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun