"Ada, bagiku permasalahan hanya berputar dalam lingkaran, tidak pernah menemukan titik, tapi menara memiliki ujung." Tampaknya Jill tidak paham, "Di atas sana, bersyukurlah atas indahnya alam, itu membuatmu tidak tamak," lanjutku.Â
Dia menjawab pelan, "Benarkah? Kalau begitu aku harus pergi bersamamu, sebotol bir bisa melengkapinya, kan?" Aku menutup toko lebih larut dari biasanya, Jill mengunci pintu kaca dan aku memastikan semuanya terkunci. Rumah kami bersebrangan, jadi kami jalan berdua, hari ini sangat menyenangkan.
Jill memasuki rumah kecilku dan menganggapnya rumah sendiri, kepercayaan dirinya sangat tinggi. Aku mengambil dua buah gelas kaca di dapur, meraih beberapa makanan ringan yang kupunya. Jill berdiri di depan lukisan di mana peradaban digambarkan, tangannya meraba lukisan itu seakan dia sungguh menyukainya.Â
"Hella, kau punya secarik kertas?" tanya Jill. "Ada! Di ruang belajarku, ayo ke sana!" jawabku spontan. Kami duduk di kursi anyaman bamboo pemberian paman Will, menikmati indahnya malam dan bintang bersinar.Â
Tidak lama kemudian, dia berkata, "Aku sadar manusia memang harus bersyukur, tolong simpanlah ini untukku." Mata kami saling bertemu, bagaikan anak panah yang sudah menemukan tuannya.
*WHy-diA
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.
***Setelah Senja:Â Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H