Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BAPER #12 Bermain, Melayani, Belajar dengan Tuntas, Tidak Setengah-setengah

7 Mei 2021   18:08 Diperbarui: 7 Mei 2021   18:15 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#Anak yang cerdas itu sejatinya adalah yang mampu membuat keputusan, saat jatuh sekali, dia cepat bangkit kembali. Bukan yang hanya bisa mengandalkan rapor dan ijazahnya ke mana-mana. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang bisa mengandalkan dirinya sendiri. Bukan hanya mengandalkan ijazah, tetapi tidak adaptif terhadap perubahan.

Pengalaman menjadi guru belasan tahun, menarik bagiku mencermati satu hal ini dari banyak fenomena dan fakta dunia persekolahan, yakni tentang karakter anak. Tentunya aku sangat senang dan bangga ketika anak-anak didikku memperoleh hasil akademik yang baik bahkan sempurna. Aku tak jarang kagum dengan mereka yang bisa menjadi yang terbaik dalam nilai akademik, menjadi juara kelas, menjadi juara angkatan. Pastinya mereka dan orang tuanya juga senang dan bangga. Apalagi bagi mereka yang juara, namanya akan disebut dan diminta maju ke depan pada saat upacara bendera menjelang pembagian hasil belajar. Menjadi terkenal di seluruh penjuru sekolah, dikenal oleh para guru, staff, dan teman-teman.

Akan tetapi, di sisi lain kadang aku sedih dan prihatin dengan anak-anak hebat itu. Tidak sedikit dari mereka hanya memiliki misi dan prioritas dalam sekolah hanyalah untuk mencapai nilai tinggi, menjadi hebat dalam akademik saja. Mereka akan menolak bahkan tidak melihat sisi positif dari kegiatan-kegiatan non-akademik, seperti terlibat dalam organisasi siswa (OSIS), aktif dalam berbagai kepanitiaan, atau ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang sifatnya non akademik. Bagi kebanyakan mereka, hal-hal non-akademik itu hanyalah penghalang untuk menjadi sukses karena menyita waktu belajar dan les. Sangat disayangkan.

Pengalamanku mendampingi anak-anak muda di persekolahan, anak-anak yang sukses secara akademik belaka akan tumbuh menjadi anak yang sangat egois dan lemah dalam sisi-sisi humanis, seperti sosialisasi, kepedulian, nurani, persudaraan, dan semangat hidup bersama. Anak-anak yang sukses secara berimbang antara akademik dan non-akademik, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diterima berbagai kalangan, memiliki kepribadian yang menyenangkan, dan dewasa dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.

#Ijazah bukan kendaraan bagi hidup kita. Itu hanya bukti bahwa kita telah bersungguh-sungguh mengejar ilmu. Dan sekolah masa kini, tidak boleh ada tamatnya. Selesai dari pintu universitas, bukan berarti kita selesai belajar. Kelulusan justru permulaan belajar yang sesungguhnya.

Setiap hari aku berangkat kerja pukul 05.30 dan 05.50 sudah sampai di kantor. Masih ada waktu 50 menit bagiku untuk membaca atau menulis di meja kerja sebelum pukul 06.40 untuk briefing pagi bersama seluruh komunitas yang dilanjutkan doa pagi dan perutusan. Di sela-sela waktu kerjaku, aku pasti menghabiskan waktu untuk membaca dan membaca sambil sesekali membuat tulisan. Yang jelas berbeda dari meja kerjaku dari yang lain adalah, begitu banyak buku bacaan serasa mini perpustakaan. Hal ini dikarenakan oleh betapa cintanya diriku pada buku-buku.

Ilustrasi. unsplash.com
Ilustrasi. unsplash.com
Pernah suatu ketika beberapa teman berkomentar, "Apa semua buku ini kamu baca?" atau komentar yang lain, "Untuk apa buku-buku sebanyak itu!" bahkan ada yang komentar sinis, "Mesti nggak pernah dibaca, cuma untuk gaya-gayaan saja!" Pasti aku jawab semua komentar itu. Pasti semua buku tidak aku baca dalam satu waktu. Buku sebanyak itu pastinya berguna bagiku, sebagai materi belajar dan belajar karena lewat buku aku bisa belajar banyak tentang banyak hal. Dan, pastinya bukan untuk gaya-gayaan karena kalau mau gaya lebih baik aku beli jam tangan mahal atau mobil mewah. Begitulah kira-kira dinamikaku tentang buku dan belajar. Yang pasti adalah, aku butuh belajar dan terus belajar, salah satunya lewat inspirasi dari berbagai buku. Ini mengasyikkan sekali ketika sudah menjadi habit (kebiasaan), membaca tidak lagi menjadi beban. Bahkan malam hari pun, aku biasakan masih membaca dan menulis.

Rhenald Kasali dalam BAPER (Bawa perubahan) menegaskan:

#Kita bisa berkaca pada anak-anak di Paud dan TK Kutilang, bermain saja mereka diajarkan untuk tuntas. Ini akan memupuk kemampuan fokus dan tanggung jawab semenjak usia dini. Inilah permasalahannya yang banyak terjangkit di pemimpin dan birokrat kita, tidak tuntas melayani.

Sepakat dengan Rhenald Kasali bahwa segala sesuatu mestinya dilakukan secara tuntas atau istilahku adalah mendalam, tidak setengah-setengah. Aku mencoba untuk belajar dengan mendalam, sehingga mencoba belajar dari banyak hal, seperti lewat berbagai inspirasi buku atau tulisan di berbagai media, lewat diskusi dan obrolan ringan, lewat menulis berbagai ide, lewat observasi, dan juga lewat melihat film-film. Tahun 2009 untuk pertama kalinya aku diberi tugas mendampingi anak-anak jurusan IPS yang terkenal (maaf) buangan karena tidak bisa masuk IPA, secara kemampuan akademis rendah, dan cenderung anak-anak nakal atau bermasalah. Pastinya tidak semua demikian, karena yang pintar dan memang pilih IPS, kemampuan akademisnya tinggi, dan anak baik-baik juga ada.

Ilustrasi. Dead Poets Society. www.esquire.com
Ilustrasi. Dead Poets Society. www.esquire.com
Awalnya tidak mudah mendampingi belajar anak-anak IPS. Beruntung aku menonton sebuah film yang memberiku inspirasi, yakni "Dead Poets Society" yang dibintangi Robin Williams sebagai John Keating, guru yang sangat menginspirasi. Berangkat dari film ini, mendorongku untuk menelusuri film-film Robin William dan benar aku menemukan beberapa film yang sangat membantuku dalam mendampingi anak-anak IPS, seperti: Patch Adams, Good Morning Vietnam, Old Dogs, License to Wed. Bahkan di luar film Robin Williams, aku bisa belajar juga dari film Lean on Me dan Freedom Writers tentang mendampingi anak-anak dengan karakter khusus. Ini benar-benar seru.

Berawal dari rasa enggan dan khawatir untuk mendampingi anak-anak IPS, justru perlahan-lahan menjadi kecintaan dan tantangan yang membahagiakan belajar bersama mereka. Belajar dan terus belajar membawaku pada keadaan untuk yang membahagiakan. Jangan lupa bahagia!!

*BAPER, adalah internalisasi dan aktualisasi pengalaman dengan mengkolaborasi dari inspirasi-inspirasi Prof. Rhenald Kasali dalam buku BAPER, BAWA PERUBAHAN (2016, Jakarta: Penerbit Noura).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun