Dia mengatakan bahwa aku terjatuh di jalan setapak dekat jalan raya desa. Setelah mengetahui situasi sebenarnya, aku pun segera bangkit bergegas ingin pergi. Namun tangan pria itu menggenggam tanganku begitu erat dan memberiku isyarat untuk kembali duduk.Â
Aku menolak, Â namun tiba-tiba ia menyodorkan sebuah koran yang diketik dengan tinta hitam legam kepadaku. Dengan heran aku pun membaca artikel utama dari koran yang ia sodorkan. Deg, jantungku berhenti seketika, hatiku terus bertanya bagai koma yang tidak akan bertemu titik.
Pertanyaan terus muncul dalam pikiranku bagai lingkaran yang tak pernah diakhiri. Kebenaran artikel di halaman koran ini membuatku kalut dan hampa bak warna hitam kelam.Â
Bibirku tak bergeming, tanganku gemetar tak bisa kukendalikan. Melihat kondisiku pria itu pun menyodorkan sebuah botol berisi air padaku.Â
Aku menolak dengan tegas dan menanyakan siapa dirinya hingga ia mengetahui seluk beluk rantai kehidupanku. Ia pun mengatakan dan memberitahuku bahwa ia adalah saudara jauhku. Ia begitu dekat dengan ibuku, namun sejak ibuku menikah hubungan mereka bagai rangkaian titik tanpa akhir.Â
Mereka sudah tidak pernah bertemu dan sekarang ia berjanji bahwa ia akan menjagaku dan ibuku. Namun tetap saja, hatiku masih kalut karena artikel itu, ingin kuberlari segera memastikannya pada ibu.
Kuhampiri ibuku yang sedang termenung di atas kursi teras sambil menangis tersedu-sedu. Melihat keadaanku, ia pun panik dan menyodorkan sebuah gelas padaku.Â
Aku yang semakin tak kuasa menahan tangis, segera memberikan kertas koran berisi artikel tadi pada ibuku. Tangis kami pun pecah, hati kami bak tertusuk ribuan panah, tak sanggup menerima kebenaran. Ayahku yang selalu kuajak memandang bintang, kini harus takluk di bawah ketuk palu manusia pengadilan.Â
Aku benci peradaban ini, peradaban yang telah merenggut kebahagiaanku dan menarik ayahku jauh dari jangkauanku.Â
Kini hanya ada aku, Ibuku, dan pria pelindung yang berjanji untuk selalu menjagaku dan ibuku.
*WHy-cLaiR