Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (53): Menepi ke Kelamnya Dunia

19 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 19 Maret 2021   04:25 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.pinterest.ca

Waktu tak pernah salah, dia selalu berjalan dalam irama semesta yang tak akan pernah berkhianat pada siapapun dan kapanpun. Manusia dan peristiwa tergulung dalam putaran waktu tanpa bisa mengubah waktu itu. Waktunya, bersahabat dengan waktu dalam setiap makna dan harapan.

Langit pagi yang cerah disertai hangatnya  paparan mentari menyambutku pagi ini. Masih segar kuingat gemerlap bintang semalam yang kupandang bersama dengannya. 

Tidak ingin terlalu lama terbuai mimpi, aku pun segera bangun dari tempat tidurku. Mataku langsung tertuju pada buku di atas meja yang kemudian segera aku masukkan ke dalam tasku. 

Setelah selesai, aku bergegas mandi lalu pergi ke meja makan untuk sarapan bersama dengan ibuku. 

Berbincang sesaat dengannya membuatku merasa lebih semangat memulai hidupku di tempat yang baru ini. Setelah selesai aku pun segera keluar, menaiki sepeda dan mengayuhnya menuju ke sekolah baruku.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, entah kenapa aku tidak bisa memfokuskan pikiranku. Rasanya baru kemarin aku bersama dengannya, namun pagi ini aku sendirian mengayuh sepeda menyusuri jalanan desa. Hatiku kembali terasa sakit saat mengingat perpisahanku dengannya semalam. 

Aku hanya termenung memandang deru alir sungai dan gemulainya ilalang yang bergoyang diterpa angin. Entah kenapa hidupku mengalami revolusi yang begitu dahsyat hingga aku berakhir di tempat ini. 

Saat aku sedang hanyut dalam lamunanku, tiba-tiba saja aku terhempas dari sepedaku. Ketika sadar, sudah ada seorang pria yang duduk di sampingku. 

Spontan aku bertanya padanya di mana keberadaanku saat ini. Dengan lugas ia pun menjawab bahwa saat ini aku  berada di sebuah lumbung dekat menara desa.

Lumbung itu membuatku sangat ketakutan, banyak daun kering dan perabot-perabot tua yang berserakan. Ditambah lagi darah yang terus mengucur dari kakiku membuatku semakin panik sampai kemudian pria itu bersuara. 

Dia mengatakan bahwa aku terjatuh di jalan setapak dekat jalan raya desa. Setelah mengetahui situasi sebenarnya, aku pun segera bangkit bergegas ingin pergi. Namun tangan pria itu menggenggam tanganku begitu erat dan memberiku isyarat untuk kembali duduk. 

Aku menolak,  namun tiba-tiba ia menyodorkan sebuah koran yang diketik dengan tinta hitam legam kepadaku. Dengan heran aku pun membaca artikel utama dari koran yang ia sodorkan. Deg, jantungku berhenti seketika, hatiku terus bertanya bagai koma yang tidak akan bertemu titik.

Pertanyaan terus muncul dalam pikiranku bagai lingkaran yang tak pernah diakhiri. Kebenaran artikel di halaman koran ini membuatku kalut dan hampa bak warna hitam kelam. 

Bibirku tak bergeming, tanganku gemetar tak bisa kukendalikan. Melihat kondisiku pria itu pun menyodorkan sebuah botol berisi air padaku. 

Aku menolak dengan tegas dan menanyakan siapa dirinya hingga ia mengetahui seluk beluk rantai kehidupanku. Ia pun mengatakan dan memberitahuku bahwa ia adalah saudara jauhku. Ia begitu dekat dengan ibuku, namun sejak ibuku menikah hubungan mereka bagai rangkaian titik tanpa akhir. 

Mereka sudah tidak pernah bertemu dan sekarang ia berjanji bahwa ia akan menjagaku dan ibuku. Namun tetap saja, hatiku masih kalut karena artikel itu, ingin kuberlari segera memastikannya pada ibu.

Kuhampiri ibuku yang sedang termenung di atas kursi teras sambil menangis tersedu-sedu. Melihat keadaanku, ia pun panik dan menyodorkan sebuah gelas padaku. 

Aku yang semakin tak kuasa menahan tangis, segera memberikan kertas koran berisi artikel tadi pada ibuku. Tangis kami pun pecah, hati kami bak tertusuk ribuan panah, tak sanggup menerima kebenaran. Ayahku yang selalu kuajak memandang bintang, kini harus takluk di bawah ketuk palu manusia pengadilan. 

Aku benci peradaban ini, peradaban yang telah merenggut kebahagiaanku dan menarik ayahku jauh dari jangkauanku. 

Kini hanya ada aku, Ibuku, dan pria pelindung yang berjanji untuk selalu menjagaku dan ibuku.

*WHy-cLaiR

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun