Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sikap Melayani sebagai Kecerdasan Nurani

14 Januari 2021   16:03 Diperbarui: 14 Januari 2021   16:04 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Albert Schweitzer dengan bijaksana mengatakan, "Saya tidak tahu nasib Anda kelak, tetapi saya tahu satu hal, kalian yang akan sungguh-sungguh berbahagia adalah kalian yang telah berusaha mencari dan menemukan cara melayani".  Hal ini ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan hidup sesungguhnya dapat diraih dengan berbuat baik pada orang lain dengan sepenuh hati, bukan sekadar pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri sendiri.

Banyak orang berlagak atau bersikap seperti bos terhadap orang lain, sehingga dengan mudah memerintah dan menunjuk orang untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. 

Orang selalu ingin dipenuhi kemauannya dan terkadang tidak punya simpati dan empati pada kebutuhan dan keadaan orang lain. Kebahagiaan orang lain bukanlah sebuah keutamaan, namun kebahagiannya adalah prioritas bagi dirinya dan orang lain. 

Orang seperti ini akan kuat dengan kata-kata daripada perbuatan nyata sehingga bisa menjadi batu sandungan dalam sebuah komunitas, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, kelompok olahraga, kelompok hobi, lingkungan keagamaan, kantor, klub olahraga, teman nongkrong dan lainnya.

"Apa yang bisa saya bantu?" adalah kata-kata rendah hati dan ketulusan sebagai bentuk simpati dan empati pada orang lain. Ketika melihat teman di kantor begitu sibuk dan tampak kewalahan dalam bekerja, rasanya akan menyejukkan ketika kita bersedia menawarkan sebuah atensi dengan berujar, "Aku bisa bantu apa bro/sis?" 

Bisa jadi tawaran kita ditolak karena memang pekerjaannya membutuhkan keterampilan khusus namun setidaknya situasi kantor bukan lagi sebuah komunitas individualis dan egois, tetapi komunitas yang siap sedia membantu satu sama lain dengan kegembiraan dan ketulusan.

Dalam proses pembelajaran di sekolah atau kampus seorang pengajar (guru/dosen) begitu bangga dan senang ketika mendapati anak didiknya sulit memahami pengajarannya karena begitu tinggi bahasa yang digunakan dan begitu hebat teori-teori yang disampaikan. 

Ini menunjukkan bahwa pengajar itu hebat, pinter, dan cerdas. Belum lagi, saat diadakan tes, banyak akan mendapat nilai jelek karena begitu tinggi tingkat kesulitan soal itu bagi anak-anak dengan usia dan tingkatannya. Pengajar akan semakin bangga karena dia akan merasa dibutuhkan anak-anak dan tidak akan diremehkan.

Kedalaman intelektual dari proses pembelajaran membutuhkan sebuah pelayanan intelektual. 

Pengajar/pendidik yang melayani justru akan menyesuaikan kemampuannya dengan kebutuhan dan kemampuan anak didik sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi proses komunikasi intelektual yang saling mengembangkan satu sama lain. 

Bagi pendidik, proses pembelajaran dapat menjadi proses refleksi atas segala metode pembelajarannya terhadap menjawab kebutuhan anak didik. 

Sedangkan bagi anak didik, proses pembelajaran adalah proses mengembangkan diri dengan segala latar belakang dirinya, seperti latar belakang keluarga, sekolah, kemampuan, dan potensinya.

Menjadi pribadi yang melayani sesungguhnya adalah sebuah keutamaan dalam hidup, khususnya dalam berelasi dengan orang lain dalam komunitas. Melayani itu sebenarnya sangat sederhana.

Pertama, pribadi yang melayani berarti siap untuk menghentikan bersikap seperti bos terhadap orang lain dan mulai mendengarkan atau memahami orang lain.

 Bahkan seorang pemimpin (dalam arti: jabatan/bos) sekalipun, dengan bersikap melayani justru akan menciptakan dan mengambangkan situasi komunitas yang sangat kondusif untuk bekerja mencapai target-target tertentu. 

Pemimpin yang memanusiakan bawahannya akan menumbuhkan respek, kepercayaan, dan loyalitas dari bawahan. Sebaliknya, pemimpin yang memperlakukan bawahannya sewenang-wenang justru akan melahirkan perlawanan, acuh, dan loyalitas rendah.

Kedua, pribadi yang melayani berarti menghentikan fokus pada kemajuan diri sendiri, justru siap mulai ambil risiko demi kebaikan orang lain. Pribadi yang selalu mengunggulkan dirinya dalam berbagai hal seringkali membuat komunitas tidak sehat. 

Segala sesuatu menjadi sebuah kompetisi dan dialah yang harus unggul sebagai pemenang. Menjadi unggul itu baik, tetapi tidak segala sesuatu harus diunggulkan demi harga diri dalam komunitas/kelompok. 

Kadang dalam banyak hal, kita tidak perlu unggul demi membantu orang lain yang membutuhkan. Banyak orang justru mengorbankan kariernya di kantor demi menyelamatkan keluarga, khususnya memberi perhatian lebih untuk anak-anaknya. 

Banyak orang mengorbankan zona nyaman dan kemapanannya, justru menghabiskan banyak waktunya untuk pelayanan pada orang-orang miskin dan tersingkir.

Sikap penuh pelayanan ini adalah sebuah kecerdasan hati yang harus diasah terus-menerus setiap waktu secara berkesinambungan. Kecerdasan otak kadangkala lebih mudah diperoleh daripada kecerdasan hati. 

Banyak orang pintar di dunia ini namun tidak punya hati pada sesama, sehingga perilakunya selalu mengutamakan target pribadi dan keunggulan-keunggulan yang mengorbankan rasa humanis. 

Celakanya, banyak orang pintar dan menduduki jabatan penting dalam berbagai bidang kehidupan yang kaitannya dengan orang lain, namun segala keputusan dan tindakannya tidak menunjukkan kecerdasan hati yang penuh simpati dan empati pada sesama. Humanisme tergadaikan begitu saja.

Jenderal Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, H. Norman Schwarzkopf, ketika bertugas di Semenanjung Batangan ia memperkenalkan prosedur yang sangat mengurangi korban, setiap kali ada serdadu yang terluka ranjau, maka ia akan terbang menjenguknya, mengevakuasinya dengan helikopter, dan bicara pada orang-orangnya untuk mengangkat moral serdadunya. 

Beberapa kali dia harus mengambil risiko dengan menyelamatkan serdadunya yang terjebak ranjau, dia siap mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan serdadunya. 

Kepahlawanan dan keberanian Schwarzkopf adalah bentuk sikap melayani yang tulus demi keselamatan nyawa orang lain. Sebenarnya sebagai jenderal, dia bisa memilih untuk memerintahkan bawahannya untuk menyelamatkan serdadunya. Dia lebih memilih untuk melayani daripada memerintah.

Sikap melayani berlaku dimanapun, kapanpun, dan apapun jabatannya. Pelayanan adalah bagian dari kepemimpinan diri. Memimpin diri adalah sebuah keutamaan untuk menjadi pribadi yang matang, setidaknya cerdas secara hati nurani. Eugene B. Habecker, penulis, mengatakan bahwa pemimpin sejati melayani: melayani orang lain dan kepentingan mereka. Ketika melakukannya, mereka takkan selalu populer atau membuat orang terkesan. 

Namun karena para pemimpin sejati dimotivasi oleh pengorbanan yang penuh kasih dan bukannya oleh keinginan untuk menerima pujian bagi diri sendiri, mereka rela membayar harganya. Mari belajar melayani dengan tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun