Celakanya, banyak orang pintar dan menduduki jabatan penting dalam berbagai bidang kehidupan yang kaitannya dengan orang lain, namun segala keputusan dan tindakannya tidak menunjukkan kecerdasan hati yang penuh simpati dan empati pada sesama. Humanisme tergadaikan begitu saja.
Jenderal Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, H. Norman Schwarzkopf, ketika bertugas di Semenanjung Batangan ia memperkenalkan prosedur yang sangat mengurangi korban, setiap kali ada serdadu yang terluka ranjau, maka ia akan terbang menjenguknya, mengevakuasinya dengan helikopter, dan bicara pada orang-orangnya untuk mengangkat moral serdadunya.Â
Beberapa kali dia harus mengambil risiko dengan menyelamatkan serdadunya yang terjebak ranjau, dia siap mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan serdadunya.Â
Kepahlawanan dan keberanian Schwarzkopf adalah bentuk sikap melayani yang tulus demi keselamatan nyawa orang lain. Sebenarnya sebagai jenderal, dia bisa memilih untuk memerintahkan bawahannya untuk menyelamatkan serdadunya. Dia lebih memilih untuk melayani daripada memerintah.
Sikap melayani berlaku dimanapun, kapanpun, dan apapun jabatannya. Pelayanan adalah bagian dari kepemimpinan diri. Memimpin diri adalah sebuah keutamaan untuk menjadi pribadi yang matang, setidaknya cerdas secara hati nurani. Eugene B. Habecker, penulis, mengatakan bahwa pemimpin sejati melayani: melayani orang lain dan kepentingan mereka. Ketika melakukannya, mereka takkan selalu populer atau membuat orang terkesan.Â
Namun karena para pemimpin sejati dimotivasi oleh pengorbanan yang penuh kasih dan bukannya oleh keinginan untuk menerima pujian bagi diri sendiri, mereka rela membayar harganya. Mari belajar melayani dengan tulus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H