Revolusi Mental
Gerakan Literasi Sekolah hanya akan menjadi proyek belaka, senasib dengan proyek ujian nasional, sertifikasi guru, atau kurikulum tercanggih. Semuanya akan jatuh pada pemborosan uang negara tanpa diiringi proses yang baik dan hasil yang berguna. Ujian nasional berganti format setiap tahun dan sudah menghabiskan banyak uang, sekarang baru sadar bahwa ujian nasional tidak pantas untuk dijadikan tolok ukur kelulusan.Â
Sertifikasi guru lebih dahsyat lagi dengan perputaran uang di dalamnya, namun setelah mendapat sertifikasi tidak ada pendampingan serta penilaian yang komprehensif dan terukur untuk kelanjutan dari profesionalisme pendidik.
Pendidikan nasional sangat membutuhkan "leader" pendidikan, bukan "manajer" proyek pendidikan. Melihat hancurnya pendidikan kita dan mirisnya budaya baca-tulis bangsa kita, dibutuhkan pemimpin gerakan literasi yang mampu berpikir secara holistik dan revolusioner demi kemanusiaan dan keberadaban bangsa.
Keluarga menjadi titik bidik pertama untuk mengembangkan gerakan literasi. Keluarga merupakan sebuah komunitas pembelajar pertama dan utama bagi setiap manusia dalam mengembangkan segala aspek kehidupan. Celakanya, keluarga di era modern ini sudah dibanjiri dengan berbagai wacana dan dinamika, seperti: kesibukan kerja demi tuntutan ekonomi dan gaya hidup, semangat individualis seiring dengan aplikasi seluler dan saluran televisi, dan pemindahan tanggung jawab ke sekolah untuk perkembangan anaknya.
Melihat kenyataan seperti itu, budaya baca-tulis dan relasi personal tinggal impian belaka. Inilah awal kehancuran masyarakat dan akhirnya nasib bangsa dipertaruhkan. Gejala di masyarakat tampak jelas tatkala kita mencoba menempatkan literasi sebagai kebutuhan dan habitus bangsa. Masyarakat kita lebih senang menghabiskan waktu dengan alat elektronik di saat-saat senggang.Â
Sulit kita temukan orang membaca di dalam bus, kereta, atau di tempat-tempat umum. Sebuah penelitian oleh lembaga survei di AS menunjukkan bahwa orang Indonesia adalah pengguna ponsel pintar nomor satu di dunia dengan waktu pemakaian rata-rata 181 menit per hari. Sangat tragis.
Keadaan ini sangat mengerikan. Gerakan literasi akan tertinggal dengan kemajuan zaman begitu pesat seiring dengan gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Pendidikan yang berkualitas dan humanis untuk negeri tercinta ini hanya tinggal mimpi saja.Â
Akhirnya, kemanusiaan dan keberadaban yang diidam-idamkan terjadi dalam dinamika berbangsa dan bernegara hanya menjadi teori usang yang tak kunjung nyata. Untuk mencegah kengerian dan kenistaan itu, peran pemerintah dan dewan terhormat sangat dibutuhkan, bahkan menjadi keharusan bagi mereka.
Awal dari perbaikan adalah membangun mentalitas bangsa lewat keteladanan para pemimpin. Bangsa ini sedang mengalami krisis panutan karena perilaku buruk yang banyak dipertontonkan para pemimpin kita, seperti: pembohongan publik, ketidakjujuran, sulit mendengarkan orang lain, mau menang sendiri, fitnah, dan etos kerja rendah.
Ketika mentalitas pribadi dan komunitas siap membangun bangsa, maka kepentingan pribadi dan golongan harus dibaikan. Saatnya menata negeri tercinta untuk masa depan generasi yang lebih baik. Jika kemampuan literasi merupakan awal dan modal membangun bangsa, maka segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara mesti difokuskan.Â