Refleksi Perjalanan Dapil Perjuangan Menuju Senayan 2024
Tak mesti mengaduh karena ini bukan penyesalan dan tiadalah daya suara para pejuang kemanusiaan, para minoritas pejuang selalu tertindas. Saat-saat hasrat tak terkalahkan akal sehatmu tak berdaya kala itu tiadalah kebijakan. Entah apa yang kau inginkan, Bukanlah keadilan.
Saat-saat dunia telah berjalan aku dan duniaku semakin tinggal meratap.
Pengembaraan pun akhirku putuskan jalan pun semakin tertatih, hendak mengaduh namun sukma melawan kehendak.
Musim panen suara pun engkau tuai dengan nyanyian kedamaian menyuguhkan madu surga lewat senandung kampanye yang meriah.
Aku tahu dirimu bergelimpangan ceria, sedang aku hanya menuai asa yang tak kesampain, ingin meraih janjimu namun tapak langkahmu menghilang. Aku dan duniaku kembali ketengah segara mengarungi samudra kehidupan akan ikan-ikan yang aku panen.
Aku dan duniaku kembali mengais bengkohan tanah-tanah surgawi akan padi-padi yang ku tuai sedang dirimu bercengkrama diistanah-Senayan menuai rupiah.
Aku masih menyapamu lewat baliho yang terpajang kaku;
Wahai sobat…sedang apakah dirimu di Senayan ?
Nalarku menerawang;… Apakah dirimu sibuk menghitung rupiah proyekmu ?, apakah dirimu sibuk menikmati secangkir susu indomilk?, Apakah dirimu sedang berbaring diatas sofa empuk?, ataukah dirimu mengunjungi bunga jalanan di penginapannya?. Entahlah siapa yang mendengar akan tanyakau kala menyapamu.
Aku tak lagi mencarimu, karena bukanlah saatnya untuk membuang waktu.Akan sangat bermanfaat menggunakan sisa waktu membuka lembaran-lembaram yang belum pernah dilewati. Terkadang aku menjadi risau kala mendengarkan kata Sejahtera oleh tuturan setiap orang karena kata tersebut telah menjadi senjata ampuh untuk mematikan nalar sadar masyarakat pinggiran.
Bagaimana tidak,,,,kata ini kerap menjadi slogan bagi politisi saat pesta demokrasi.
Kata sejahtera telah kehilangan kehakikatan maknanya didalam pancasila sebagai pliar Negara sebagaimana terkandung dalam sila ke – 5 (lima); keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata sejahter yang seharus menjadi buah keadilan atas kebijakan, keperwanan maknanya luntur seketika menjadi buah kesenjangan sosial bahkan makna keadilan masih simpang siur dengan kenyataan yang ada, kesejahteraan bukan lagi milik petani. Kesajahteraan bukan lagi milik, nelayan, kesejahteraan bukan lagi milik buruh, kesejahteraan bukan lagi milik anak-anak manusia diperempatan lampu merah, bukan juga milik pedagang kaki lima. Ia terampas haknya oleh orang-orang cerdas berhati singa, karena kesajahteraan miliknya maling sapi pemakan padi dan kapas, miliknya koruptor bintang biru merah berkaki tiga, miliknya pohon beringin juga miliknya TV elang, TV ikan terbang, TV bola dunia dan TV-TV yang lain yang menebarkan kebohongan berita gembira serta iklan-iklan bagai mbah dukun berkomat – kamit terhadap pemerkosaan bahasa sebutkan saja mereka kaum kolonial pribumi berwajah baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H