Â
Kata banyak orang, pedalaman adalah tempat pembuangan. Inilah salah satu rahasia umum yang sering kita dengar. Parahnya, hal ini bukan saja terjadi di kalangan pegawai pemerintahan, tetapi juga isu ini juga seringkali kudengar di kalangan anggota gereja. Apakah benar ditempatkan di pedalaman karena dibuang atau karena dia mampu ? By the way, apa yang membuat seseorang dipandang mampu untuk ditempatkan bekerja di pedalaman ?.Â
Terlepas dari alasan politis yang bertendensi tertentu, pada prinsipnya seseorang ditempatkan di pedalaman karena kemampuannya dibutuhkan di tempat tersebut. Kalau ditanya, apakah saya mau ditempatkan di pedalaman ? Jawaban saya adalah ya. Saya pernah bekerja dan mungkin akan ditempatkan lagi di beberapa tempat di pedalaman, tepatnya di wilayah Keuskupan Agats, Papua. Ada lokasi yang yang berjarak 3-4 jam, ada juga yang berjarak 10 jam dari kota kecil kami, Agats. Apa sih menariknya bekerja di pedalaman ?
Suka Duka Berpastoral di Pedalaman
Menjadi petugas pastoral di pedalaman telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang berharga bagi saya. Pada awal ditempatkan di sana, Uskup saya mengatakan, "kamu bisa. Ini kesempatan berharga bagi-mu". Pada awalnya saya merasa sedih karena harus berpisah dengan teman-teman, suasana kota, jaringan telepon, atau warung-warung makan yang dapat dengan mudah ditemui di sudut jalan di kota kami yang kecil. Bagaimana dengan keadaan disana? Kios ada gak? bagaimana kalau sakit nanti ?. Lucunya, bahkan ada teman dari luar kota pernah bilang, aku gak bisa hidup tanpa tempe, bagaimana bisa bekerja kalau tidak ada tempe di sana? (pertanyaan-pertanyaan ini rasanya melelahkan ya ... haha). Menjadi lebih menantang lagi karena, akan ada tanggungjawab besar yang harus saya pikul sebagai pastor paroki pada saat itu. Terbayanglah sudah litani kesulitan yang akan saya hadapi. Banyak hal yang harus diurus di sana, mulai dari komunitas orang muda katolik, lahan yang luas, kios paroki, Ibu-ibu, dewan, stasi, balai pengobatan, lapangan terbang misi, bahkan sekolah. Semua harus terpadu di bawah koordinasi Pastor Paroki. Lupakan malaria atau ombak yang tinggi karena itu hal wajib di tempat kami. Sulit juga ya ?
Hal sederhana pertama yang saya buat adalah berkunjung ke rumah umat. Mulai dari memperkenalkan diri, mendengarkan, dan sesekali membuat kegiatan kecil bersama para dewan. Hampir semua hal dibuat dengan pertimbangan beberapa anggota dewan gereja dan tokoh umat. Kalau ada tantangan, langsung cari teman-teman untuk sekedar sharing dan meminta pendapat mereka.
Pada awalnya ada rasa ragu. Jangan-jangan apa yang saya buat keliru atau tidak sesuai dengan kebiasaan setempat. Â Tak jarang saya bertanya pada anggota dewan gereja yang sangat aktif atau punya pengalaman pelayanan yang lama di tengah umat. Â Masukan atau pendapat dari mereka selalu ada dan didengarkan. Bukan saja masukan di otak tentang ide-ide, tetapi perut saya juga ikut mendapat 'asupan' berupa sagu, ikan, sayuran, kepinting, dan udang. Sungguh menyenangkan.Â
Kebetulan stasi tempat saya tinggal adalah tempat yang cukup subur untuk ukuran daerah Asmat yang berlumpur. Dikarenakan kondisi unik ini, Â maka bisa dipastikan hampir selalu ada sayuran di meja makan kami ! Percayalah, dedaunan yang bisa dimakan ini menjadi barang mewah di wilayah Asmat yang sembilan puluh persen berlumpur ini. Tak jarang teman pastor dari paroki tetangga mengirimkan nota SOS kepada saya, yang isinya:Â
"bro, tlg saya ... sayur 3 ikat, kelapa 5 butir, cabe harga Rp. 20.000,-, ntar ktm sa bayar", demikianlah isi tulisan ala sms-an di secarik kertas dari teman pastor, yang tinggal berjarak tiga sampai empat jam berjalan kaki.Â
Saya pun melakukan hal yang sama, dengan menuliskan nota SOS balasan yang isinya sederhana,Â
"bro, saya rindu masakan ayam kampungmu", dan begitulah seterusnya dengan isi catatan yang selalu berbeda dan menyenangkan.Â
Oya, kami memang tinggal di pesisir pantai, tetapi saat musim ombak tiba, kami akan kesulitan mendapatkan ikan. Lebih parah lagi jika pada saat yang sama, kami kehabisan stok beras, mie instant, gula, atau minyak tanah dan bensin yang memang sangat mahal pada masa itu. Bekerja pun tidak bergairah karena perut tidak terisi dengan maksimal. Di meja pastoran sudah bisa dipastikan ada singkong atau pisang rebus dan sedikit mie dengan seember kuah. Jika ada umat yang lewat di depan rumah, biasanya saya titipkan candaan pertanyaan kepada komunitas susteran tetanggaku,