Mohon tunggu...
Don Martino
Don Martino Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mujizat Sang Bayi

16 Mei 2019   03:09 Diperbarui: 16 Mei 2019   15:07 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayi mungil bermata jernih (www.nu.or.id)

Siang itu terasa sangat terik di kampung Mumugu atau yang lebih dikenal dengan nama Batas Batu, di wilayah Kabupaten Asmat. Kampung Mumugu sendiri adalah perkampungan yang terletak di sebelah utara Kabupaten Asmat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Nduga di Pegunungan Tengah Papua. Untuk sampai ke Kampung Mumugu ini, dibutuhkan waktu sekitar 6 hingga 10 jam menggunakan speed boat melalui sejumlah sungai besar dan kecil dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. 

Walaupun sedemikian panasnya, hawa neraka ini tidak bisa menghentikanku untuk membaringkan diri di lantai di dalam rumah kami yang terbuat dari papan. Gaya itu adalah salah satu rutinitas kami setelah makan siang. 

Hari ini memang agak beda. Tidak terlihat orang berlalu lalang di jalanan berbatu di depan rumah kami seperti biasanya. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang berasal dari kota Kenyam, Kabupaten Nduga yang berjarak sekitar 5 jam dengan berjalan kaki. Bahkan tak terdengar suara anjing menggonggong saat itu, bisa jadi karena tidak mampu lagi menangkis teriknya matahari siang itu. 

Setelah menamatkan menu wajib kami, mie instan yang dicampur daun singkong, Frater Lucky, sahabatku, memutuskan untuk bersepeda menuju basecamp atau barak para pekerja yang mayoritasnya adalah pendatang. Lokasinya yang berjarak  7 km dari tempat tinggal kami diisi dengan pepohonan tinggi. Hanya ke arah sanalah kami bisa mendapatkan sedikit hiburan: menonton tv, melihat mobil truk, atau sekedar bersenda gurau dengan para karyawan yang kebanyakan seumuran dengan kami. Dikarenakan tidak mampu lagu menahan hawa panas, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku dan berbaring disana. 

Tepat jam dua belas siang, kudengar suara batuk-batuk di depan pintu rumah kami. Aku bergegas ke depan pintu, karena kutahu jika bunyi demikian, itu berarti ada seseorang yang sedang menunggu di depan pintu. Sudah menjadi tradisi di Asmat, bahwa ketukan pintu diganti dengan bunyi batuk-batuk kecil. 

Saya pun bergegas ke arah pintu dan bertanya, "Bapa, ada perlu apa?". 

"itu, sa pu anak perempuan mo melahirkan tetapi kemarin suster perawat menuju ke kota. Ko tolong doa di air dulu kah, supaya dia bisa melahirkan!".

Rupanya anak perempuannya hendak melahirkan tetapi tidak ada perawat.

Aku terdiam sejenak. Rasanya ini bukan kejadian pertama dalam hidupku mendoakan sesuatu lewat media air. Ini juga bukan merupakan  pengalaman perjumpaan pertama kalinya dengan warga setempat yang sungguh membutuhkan pertolongan. Akan tetapi, feeling-ku  mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi. 

Oya, sudah dua minggu kami berdua diutus untuk tinggal beberapa bulan desa ini. Selama disini, kami pun belum melakukan tugas kami untuk mengunjungi rumah penduduk, memulai program belajarbersama anak-anak, dan tidak berani melakukan pendataan penderita kusta. Kami memang belum melakukan tugas kami dikarenakan rasa takut dan khawatir akan penyakit  kusta yang menulari hampir semua penduduk desa. 

"cepat!!", teriakan bapak ini serentak membuyarkan rasa bingung dan raguku. 

Apa yang bisa kubuat?.

Segera sebotol air dalam botol air mineral bekas disodorkannya. 

Setelah berdoa sejenak kuberikan botol berisi air itu kembali kepadanya. Dia mengucapkan terima kasih dan segera berlari menuju ke perahunya yang ditambatkan di bantaran kali. Dalam keraguan dan kecemasan, aku pun memanggilnya. 

 "Bapa, tunggu... saya ikut!!", entahlah kekuatan dari mana yang membuatku mampu mengeluarkan kalimat ini. 

***

Rumahnya terlihat panjang dan agak terpisah dari kampung. Untuk tiba di sana, kami harus meniti lembar demi lembar papan agar bisa melewati selokan dan rerumputan. Terlihat sebuah rumah sederhana berdinding dan beratapkan daun sagu kering. Kondisi dalam rumahnya cukup teratur. Ada ruang duduk dengan yang beralaskan sebuah tikar pandan lusuh. Ada tiga tungku api di dalam rumah ini. tidak ada apa-apa diatas tungku api ini, kecuali sebongkah sagu yang berbentuk bola hitam, sepotong ikan kecil, dan asap dari kayu api yang menyebar kemana-mana. 

Aku pun dihantar masuk ke dalam sebuah kamar, melewati ruang makan yang dipadati belasan orang  yang duduk tungku api tadi. Kebanyakan dari mereka adalah mama-mama tua yang bertelanjang dada. Terlihat mereka sedang menangisi nasib buruk yang menimpa anak gadisnya ini.

'Dormom', kataku. 

Ucapan salamku tidak ditanggapi oleh mereka. Aku pun bergegas masuk ke kamar dan melihat perempuan yang hendak melahirkan ini. Seorang ibu muda yang  terbaring dengan kain seadanya. Disisi kirinya, duduk suami dengan lesu dan seorang saudara perempuannya. Di samping perempuan yang kesakitan itu, terbaring seorang bayi mungil yang manis sekali. 

"wah...dia sudah lahir, syukurlah", aku pun bergembira karena melihat kelahiran anak kecil yang sehat ini. 

 "iya, tapi masih ada satu di dalam mama-nya punya perut. Tadi anak laki-laki ini su keluar sekitar jam delapan pagi. Dia menangis terus, mungkin karena sejak tadi memanggil adiknya yang belum juga keluar", bisik suaminya yang berdiri di sampingku. 

'wah. berarti anak ini sudah  lama berada di dalam. Kita harus melakukan sesuatu', kataku segera. 

***

Rasa takut dan cemas seakan-akan menghilang dari diriku. Dengan segenap keyakinan, kukumpulkan semua kekuatanku untuk mulai berdoa. 

Aku percaya bahwa apa saja bisa terjadi jika kita sungguh-sungguh menyerahkan pergumulan hidup kita kepada Allah.Ditempatkan di tempat tugas yang baru ini, telah membuat nyaliku menciut dan goyah perjalanan hidupku. Aku sempat merasa bahwa Tuhan tidak berpihak lagi kepadaku. Mestinya, aku bersyukur atas apa yang telah kuterima, bahkan atas pengalaman pahit sekalipun.

Apakah alasanku sehingga aku menolak Tuhan yang mengutus aku di tempat terpencil seperti ini? atau, apakah alasanku sehingga aku hanya boleh bersukacita ketika ada peristiwa gembira?. Maafkan aku Tuhan.  

Doa-doa terus mengalir dari mulutku, yang berkaitan dengan permohonan bagi keselamatan jiwa ibu dan anak ini. Sambil berdoa aku terus bersyukur atas kasih Allah yang tak terhingga yang telah kuterima selama ini. Doa-doa yang kudaraskan dengan sepenuh hati  ini juga,  membantuku agar tidak mudah terhanyut dalam segala kesulitan hidup ataupun terbuai dalam kesenangan dunia.

Tidak terasa ada air mata memenuhi kelopak mataku. Aku merasa ditegur oleh Tuhan supaya lebih berani menjalani kehidupan ini dengan pengharapan yang teguh. Aku juga percaya bahwa Allah yang telah memilihku, akan selalu mendampingiku,  sampai aku dapat memasuki kehidupan kekal bersama-Nya. Dia tidak pernah meninggalkan aku. Aku yang meninggalkan Dia!

Allah memang setia dan sungguh baik hati. Allah mengajarkanku dengan cara yang sederhana, untuk keluar dan berjumpa dengan umatnya. Rasanya inilah pertama kalinya aku berdoa dengan penuh harapan. Aku sungguh ditobatkan melalui perjumpaan dengan bayi kecil ini. Entah mengapa, semua orang yang hadir turut menangis dan saling memegang tangan. 

"panggil adikmu keluar ya. Harus !. bisikku di telinga kakaknya saat hendak kembali pulang. 

***

Sudah genap seminggu ini aku menunggu kabar kelahiran itu. Tidak ada berita apa pun yang disampaikan kepadaku. 

'mungkin anak kecil itu sudah meninggal', kataku dalam hati sambil menatap beberapa anak kecil yang sedang belajar mengenal huruf di depan rumah kami. Mungkin saja, mengingat tingkat kematian ibu dan anak di kawasan Asmat masih sangat tinggi. Setelah kejadian kemarin, pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan zona nyamanku, dan berani berkomunikasi dengan warga setempat. Kami berdua pun mulai mendata para penderita kusta, mengajar anak-anak kecil mengenal huruf dan bermain bersama mereka.

Ketika hari menjelang sore, aku memutuskan untuk berdiri di jalanan depan rumah kami, sambil menunggu moment yang tepat untuk memotret anak-anak yang sedang bermain bola. Dari kejauhan nampaklah seorang bapak berjalan tenang ke arah rumah kami. 

"slamat sore anak", sapa bapak tua itu ramah. 

 "selamat sore Bapa. Mo kemana?...eh, bagaimana bapa pu cucu? Su lahir?", tanyaku segera ketika menyadari bahwa ternyata bapak itulah yang memanggilku untuk berdoa beberapa hari yang lalu. 

"bapa mo ke kios dulu. Iyooo,... si jantan kecil itu sudah lahir. dia laki-laki. Mungkin stengah jam setelah anak pulang. Trima kasih anak, su bantu doa". "Syukurlah...sama-sama Bapa", balasku sambil tersenyum tenang.

Dalam diam aku bergegas memasuki kamarku. Aku menangis sambil bersyukur atas mujizat Tuhan yang terjadi.  Mujizat dimana muncul keberanian kami untuk menerima situasi tempat dimana kami bertugas. Mujizat dimana timbul keberanian kami keluar dari kenyamanan rumah kami dan mengunjungi  rumah penduduk yang kucintai. Bersyukur atas mujizat bayi kembar ini, yang belakangan kuketahui telah diberikan nama, sama seperti namaku. 

Aku bersyukur karena  Allah mengutusku di tempat terpencil, dan melakukan karya-Nya yang besar atas diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun