Sudah genap seminggu ini aku menunggu kabar kelahiran itu. Tidak ada berita apa pun yang disampaikan kepadaku.Â
'mungkin anak kecil itu sudah meninggal', kataku dalam hati sambil menatap beberapa anak kecil yang sedang belajar mengenal huruf di depan rumah kami. Mungkin saja, mengingat tingkat kematian ibu dan anak di kawasan Asmat masih sangat tinggi. Setelah kejadian kemarin, pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan zona nyamanku, dan berani berkomunikasi dengan warga setempat. Kami berdua pun mulai mendata para penderita kusta, mengajar anak-anak kecil mengenal huruf dan bermain bersama mereka.
Ketika hari menjelang sore, aku memutuskan untuk berdiri di jalanan depan rumah kami, sambil menunggu moment yang tepat untuk memotret anak-anak yang sedang bermain bola. Dari kejauhan nampaklah seorang bapak berjalan tenang ke arah rumah kami.Â
"slamat sore anak", sapa bapak tua itu ramah.Â
 "selamat sore Bapa. Mo kemana?...eh, bagaimana bapa pu cucu? Su lahir?", tanyaku segera ketika menyadari bahwa ternyata bapak itulah yang memanggilku untuk berdoa beberapa hari yang lalu.Â
"bapa mo ke kios dulu. Iyooo,... si jantan kecil itu sudah lahir. dia laki-laki. Mungkin stengah jam setelah anak pulang. Trima kasih anak, su bantu doa". "Syukurlah...sama-sama Bapa", balasku sambil tersenyum tenang.
Dalam diam aku bergegas memasuki kamarku. Aku menangis sambil bersyukur atas mujizat Tuhan yang terjadi.  Mujizat dimana muncul keberanian kami untuk menerima situasi tempat dimana kami bertugas. Mujizat dimana timbul keberanian kami keluar dari kenyamanan rumah kami dan mengunjungi  rumah penduduk yang kucintai. Bersyukur atas mujizat bayi kembar ini, yang belakangan kuketahui telah diberikan nama, sama seperti namaku.Â
Aku bersyukur karena  Allah mengutusku di tempat terpencil, dan melakukan karya-Nya yang besar atas diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H