[caption caption="Taman Suropati, salah satu ruang publik di Jakarta (sumber foto: beritaseharian.com)"][/caption]
Pembangunan kota sebagai habitat hidup manusia selalu diarahkan sebagai tempat melangsungkan hidup serta meningkatkan kualitasnya. Seiring dengan perkembangan kota dan penduduk, kebutuhan pembangunan keruangan terus tumbuh. Kecenderungan ruang-ruang kota masa kini terdominasi oleh pembangunan ruang pemukiman, ruang ekonomi dan bisnis serta ruang transportasi. Ruang kota kian terbatas oleh pembangunan bagi kebutuhan material manusia dengan strata sosial sebagai sekatnya. Pembangunan kota hampir saja melupakan kebutuhan ruang bagi sisi humanis manusia yakni kenikmatan interaksi antarmanusia bersama lingkungan dan alam dalam sebuah ruang publik.
Wajah Kota, Cermin Kita
Perkembangan kota dan jumlah penduduk merupakan dua hal yang saling mempengaruhi arah kebijakan penataan ruang. Semakin tinggi jumlah penduduk maka berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan ruang pemukiman, perkantoran, industri, sarana layanan publik hingga transportasi. Kebutuhan tersebut dipenuhi melalui proses pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kemajuan dan modernisasi bagi wilayah kota. Tidak berhenti sampai disitu, kemajuan kota kemudian menjadi daya tarik bagi arus urbanisasi yang akan semakin memperbesar tuntutan pembangunan ruang kota. Besarnya tuntutan kebutuhan membuat praktik pembangunan hanya terfokus pada pembangunan material dan cenderung mengabaikan ancaman penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Hal ini tercermin dari realitas pembangunan kota di Indonesia. Praktik pembangunan kota semakin kental dengan pengabaian dampak lingkungan, minimnya pembangunan ruang publik, praktik alih fungsi taman dan hutan kota, alih fungsi daerah serapan air, tata ruang kota yang buruk, hingga minimnya mekanisme penanganan limbah dan sampah.
Kota selayaknya merupakan habitat hidup yang menjadi tempat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Namun realitas pembangunan perkotaan belum mengakomodir ruang bagi pemenuhan kebutuhan nonmaterial yang berhubungan dengan kesehatan mental, psikologis, sosial budaya dan ekologis manusia. Kehidupan perkotaan berada diantara kepungan kepadatan pembangunan lengkap dengan hiruk pikuk aktifitas manusia. Hal ini masih diperparah dengan tingginya tingkat polusi, kemacetan, sampah, ancaman banjir yang terus terjadi. Tidak heran dengan tingkat modernitas yang semakin tinggi, penduduk kota justru semakin merindukan ruang-ruang publik yang mampu menjadi wadah aktivitas sosial dan rekreasi.
Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta berinteraksi dengan sesama. Hal tersebut termanifestasi kedalam kebutuhan ruang publik berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) seperti taman kota, hutan kota, alun-alun, public square, pedestrian yang masih minim di perkotaan. Pembangunan ruang publik memiliki fungsi strategis guna mengembalikan sekaligus menjaga keseimbangan kehidupan perkotaan dalam aspek hubungan sosial maupun ekologis masyarakat kota. Kehadirannya bukan semata bagian penunjang tata ruang kota tetapi telah menjadi kebutuhan bagi kualitas habitat perkotaan
Merebut Hak atas Ruang Publik
Bukan perkara mudah menghadirkan ruang publik di tengah ruang perkotaan yang kian terbatas oleh berbagai kepentingan ekonomi dan bisnis. Berbagai kasus diperkotaan menunjukkan tantangan lahan-lahan potensial bagi ruang publik harus bersaing dengan pembangunan fisik yang dinilai lebih menguntungkan dari sisi ekonomi bagi daerah. Meskipun penyediaan ruang publik telah didorong melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, faktanya proporsi pembangunan kota sebesar 30 persen bagi ruang publik sulit terwujud. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan lahan yang layak bagi pembangunan ruang publik, tetapi juga disebabkan praktik alih fungsi ruang publik. Oleh sebab itu, penyediaan ruang publik harus memperhatikan tiga fase penting dalam pembangunannya yakni penyediaan lahan yang layak; pembangunan ruang publik sesuai fungsinya serta mempertahankan dan meningkatkan kualitas ruang publik.
Penyediaan lahan bagi ruang publik baik dalam wujud taman kota, hutan kota, alun-alun/public square maupun bentuk lainnya merupakan investasi bagi peningkatan kualitas sosial dan ekologis pada habitat perkotaan. Maka penyediaan lahan bagi ruang publik harus dimulai sejak perencanaan tata ruang kota. Hal ini terkadang diabaikan oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan pembangunan tata ruang kota. Keberadaan ruang publik seringkali masih dianggap sekedar pelengkap estetika perkotaan yang dapat dibangun pada lahan sisa pembangunan yang tidak strategis. Dampaknya, penyediaan lahan bagi ruang publik tidak begitu mendapat prioritas. Padahal hal ini penting dilakukan mencegah lahan-lahan potensial kian tergerus oleh kepentingan pembangunan ekonomi dan bisnis. Masuknya ruang publik dalam prioritas tata ruang kota dapat menjadi jaminan hadirnya oasis sosial dan ekologis ditengah kepadatan kota.
Masuknya ruang publik dalam prioritas pembangunan belum cukup memberikan jaminan sebuah ruang publik dapat berdaya secara fungsi. Oleh sebab itu pembangunan ruang publik harus tetap memperhatikan esensi fungsionalnya. Pertama, dapat dinikmati dan diakses oleh seluruh masyarakat umum secara bebas sebagai wadah interaksi sosial. Kedua, menyediakan ruang bagi beragam kegiatan manusia dan kepentingan luas. Ketiga, memberikan makna sosial dan ekologis lewat keterpaduan manusia, ruang dan alam sehingga dapat memacu produktivitas. Maka penyediaan ruang publik baik RTH maupun RTNH tidak cukup dilakukan seadanya demi memenuhi tuntutan proporsi ruang publik terhadap luas kota maupun pemenuhan estetika semata. Sayangnya fenomena ruang publik di Indonesia sering terjebak pada hal tersebut. Ruang publik seperti taman kota misalnya, dikondisikan secara indah dan tertata rapi namun cenderung meminimalisir akses manusia. Hal ini terlihat dari minimnya fasilitas dan fitur fungsional, seperti tempat duduk. Lantas bagaimana masyarakat dapat memperoleh kemanfaatan dari ruang publik yang demikian?
Disamping menghadapi tuntutan kualitas, upaya mempertahankan eksistensi fungsi ruang publik memiliki tantangannya tersendiri. Tidak jarang ruang publik yang awalnya terlihat indah dan berfungsi dengan baik, perlahan mulai berubah wajah akibat kurangnya perawatan dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan, tanaman, dan fasilitas yang ada. Selain itu kurangnya perhatian membuat banyak ruang publik kerap beralih fungsi. Salah satu contohnya adalah Taman Topi yang terletak di Kota Bogor. Taman yang dulunya bernama Taman Kebon Kembang ini kini telah berubah menjadi kawasan komersil. Serupa tapi tak sama, pergeseran fungsi ruang publik juga terjadi di Kota Yogyakarta yaitu pada kawasan nol kilometer hingga Alun-alun Lor (utara) Keraton Yogyakarta. Kawasan yang awalnya merupakan ruang rekreasi masyarakat kini lebih didominasi oleh kegiatan perdagangan dan tempat parkir bagi kendaraan.
Ruang Publik bagi Kualitas Hidup Masyarakat
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena menarik yang menggambarkan tingginya kebutuhan ruang publik di perkotaan. Antusiasme kehadiran masyarakat pada ruang publik temporer yang diciptakan dari rekayasa lingkungan seperti Car Free Day dan Street Festival sangat tinggi. Ruang-ruang publik temporer tersebut menjadi sarana penyaluran interaksi sosial, rekreasi, olahraga, hingga wadah aktifitas seni dan budaya. Secara sederhana fenomena tersebut menggambarkan besarnya kebutuhan masyarakat akan ruang publik tanpa berbayar yang dapat dinikmati semua kalangan. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa keberadaan ruang publik secara kuantitas maupun kualitas perlu terus dikembangkan.
Melihat tingginya kebutuhan masyarakat terhadap ruang publik dan meningkatnya kesadaran pengelolaan ruang kota, beberapa wilayah mulai melakukan peningkatan pembangunan ruang publik. Adalah DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sebagian kota yang menunjukan geliat pembangunan ruang-ruang publik sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing kota. DKI Jakarta mencoba menghadirkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan merevitalisasi ruang sekitar waduk dan lahan kosong menjadi taman kota. Sementara Kota Bandung dengan semangat kreatif bergerak sangat giat membangun taman-taman kota tematik untuk menjawab kebutuhan ruang publik masyarakat. Taman-taman kota dibuat sesuai tema, mulai dari Taman Lansia, Taman Pustaka Bunga hingga Taman Film. Adapun Surabaya membangun misi kota hijau yang asri dan bersih untuk menciptakan ruang publik dalam bentuk taman dan hutan kota yang berdampak signifikan bagi lingkungan dan aktifitas sosial masyarakat. Bahkan salah satu ruang publik di Kota Surabaya yakni Taman Bungkul berhasil menjadi taman kota terbaik di Asia.
Mendorong penyediaan ruang publik dengan beragam bentuk dan pendekatan merupakan wujud kesadaran akan pentingnya peran ruang publik bagi habitat perkotaan. Hal ini sebagai upaya mewujudkan harapan masyarakat untuk menikmati ruang terbuka dengan harmonisasi lingkungan asri serta fasilitas fungsional kekinian secara mudah dan tanpa biaya. Hadirnya ruang publik diharapkan menjawab kebutuhan wadah aktifitas dan interaksi sosial untuk bercengkrama, berekreasi, berolahraga maupun aktivitas seni dan budaya tanpa pembedaan strata sosial. Perwujudannya dalam bentuk taman kota, hutan kota, pedestrian, public square sekaligus berkontribusi terhadap wajah kota menjadi lebih asri dan indah. Lebih dari itu, keberadaan ruang publik tersebut juga berfungsi secara ekologis guna mereduksi tingkat polusi, menciptakan udara segar hingga menjadi daerah resapan air dan pengendali banjir.
Penyediaan ruang publik secara institusional menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun bukan berarti swasta dan masyarakat tidak memiliki peran dan ruang partisipasi dalam pembangunannya. Kerja besar dalam pemenuhan ruang publik di perkotaan memerlukan kerja sama seluruh pihak. Hal ini mengingat pembangunan ruang publik menghadapi tantangan keterbatasan lahan bagi ruang publik, kebutuhan fungsionalitas ruang publik serta tanggung jawab menjaga dan meningkatkan kualitasnya. Oleh sebab itu pemerintah selaku pemangku kebijakan berperan penting mengakomodir pembangunan ruang publik pembangunan tata ruang kota. Pemerintah perlu membuat terobosan dengan menjaring aspirasi masyarakat, misalnya dengan mencanangkan program satu taman untuk tiap kelurahan. Sementara sektor swasta dapat didorong perannya melalui kerjasama dengan pemerintah untuk mengembangkan tanggung jawab sosialnya dalam penyediaan lahan dan fasilitas ruang publik. Adapun masyarakat baik secara individu maupun berkelompok harus berpartisipasi menjaga dan merawat ruang-ruang publik yang tercipta agar tetap terjaga kebersihan, kenyamanan, keasrian dan kualitasnya.
Ruang publik merupakan hak bagi masyarakat yang harus terus diupayakan. Hal ini diperlukan agar keseimbangan habitat perkotaan dan pemenuhan kebutuhan manusia secara sosial dan ekologis terjaga keseimbangannya. Sebab mungkin hanya diruang publik penduduk kota berharap dapat melepas penat tanpa status sosial yang tersekat ruang berbayar. Hanya diruang publik pula penduduk kota membangun kembali hubungan ekologis ditengah kepungan pembangunan fisik kota. Sehingga dengan demikian harapan akan kehidupan kota menjadi lebih humanis dan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat akan selalu terjaga.
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H