Masyarakat Asmat tersebar pada 23 distrik 224 kampung yang hanya bisa dicapai dengan kendaraan air, melewati sungai sungai dengan pola hidup berburu dan meramu. Sumber gizi keluarganya adalah sagu dan ikan, balita yang bisa bertahan hidup adalah seleksi alam. Jauh di tengah hutan sehingga keluarga kesulitan memenuhi gizi anak. Pada taraf seperti ini maka pendekatan Etnografi Budaya dan membangun sarana dan prasarana adalah solusi alternatif yang paling memungkinkan jika ingin membangun Papua dan menyelesaikan persoalan gizi buruk di Asmat.
Ironis Papua yang kekayaan alamnya melimpah, tetapi masyarakatnya harus mengalami yang namanya gisi buruk. Masalah kemanusiaan yang telah menjadi isu nasional ini telah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah.
Dilansir dari kompas online, edisi 03/02/2018, untuk menangani KLB di Asmat Unhas telah mengirim 19 dokter ke Asmat, Papua. Bukan hanya medis, sejumlah bantuan kemanusian yang lain, baik dari pemerintah pusat dan daerah; maupun dari pihak swasta pun ikut andil dalam menangani masalah kemanusian tersebut.
Ini adalah hal yang baik, tetapi saya berharap terkait hal ini tidak dimanfaatkan oleh politisi yang ingin menang pada Pemilu 2018, karena ini tahun politik. Tetapi meletakan dasar atas nama kemanusiaan. Jangan sampai seperti opininya pak Rintar Sipahutar pada tokoh Zaadit, dalam tulisanya yang berjudul Zaadit, "Pahlawan" Gizi Buruk Asmat Bersenjata Kartu Kuning. Jika ada politisi seperti itu, menurut saya lebih kejam dari guru membunuh murid.
Â
Media dan Fakta
Saya bersyukur bisa menulis di kompasiana sehingga idealisme untuk menjadi mata dan telinga dari kaum yang tidak bersuara pun mampu saya sampaikan melalui media ini. Apresiasi dan penghargaan yang sama pun saya sampaikan kepada kompasiner yang mengangkat masalah gisi buruk di Asmat sehingga bisa diketahui khalayak dan pemerintah pun bisa bergerak. Termasuk Kompas media terkemuka di Indonesia inilah yang pertama meliput dan memberitakan kejadian luar biasa (KLB) Asmat selama tiga hari berturut-turut di halaman depannya.
Bila dilihat ke belakang, KLB Asmat yang mengakibatkan 69 anak meninggal di Kabupaten Asmat, Papua, dalam kurun waktu empat bulan terakhir ini bukan peristiwa serupa yang pertama, melainkan sudah terjadi sejak tahun 2003. Dua tahun setelah otsus di Papua diberlakukan.
Saya meyakini bahwa kasus yang sama terjadi juga di belahan wilayah Papua yang lain. Terkait hal ini pun pernah saya lihat dan alamai di Distrik Fef, Kabupaten Sorong Papua Barat pada tahun 2010 lalu. Saat itu saya bertugas sebagai guru di daerah tersebut. Namun karena kurangnya pengetahuan dan terbatasnya akses sehingga tidak sempat ditulis atau diinformasikan dunia luar. Lengkapnya, baca: Peralihan dari Papua ke Jakarta.