Lelaki itu menatapku sambil meminta maaf karena telah membuat perjalanan kapal yang kunaiki terhambat. “Tak perlu dipikirkan Pak,” jawabku. “Saya doakan anak istri Bapak selamat.” Kemudian dia meminta doa kepada seluruh penumpang. Di matanya terbayang kekhawatiran.
Ini adalah kisah nyata yang kualami sewaktu dalam perjalanan menaiki kapal dari Melak menuju Samarinda. Di tengah perjalanan inilah aku bertemu dengan seorang lelaki beserta istrinya.
Lelaki itu berasal dari sebuah kampung kecil di pedalaman Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dia terpaksa membawa istrinya yang hamil tua menaiki kapal menuju Kota Samarinda dikarenakan kandungan istrinya sungsang. Bidan di desanya menyarankan supaya istrinya segera dibawa ke rumah sakit agar dapat dilakukan tindakan operasi.
“HPL-nya masih 2-3 hari lagi,” katanya sambil menenangkan diri.
Namun, kita semua tahu, kelahiran bayi bisa maju atau mundur dari perkiraan. Kenyataannya kini bayinya sudah siap lahir. Salah satu kaki mungilnya telah keluar. Bayi itu ingin segera melihat dunia, namun agaknya dunia belum siap menyambutnya.
Kapal kami terpaksa singgah di sebuah perkampungan yang lebih terpencil daripada kampung asal si lelaki tadi. Setelah lama dicari-cari, ternyata tak ada bidan di kampung itu, hanya ada dukun bayi! Maka, persalinan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter Sp.OG dengan peralatannya yang lengkap, kini terpaksa ditangani secara tradisional oleh seorang dukun bayi dengan peralatan seadanya.
Proses persalinan pun berlangsung di atas kapal yang bergerak menyusuri Sungai Mahakam, dalam suasana sunyi dan mencekam.
Setelah memakan waktu lama, akhirnya bayi berjenis kelamin laki-laki itu berhasil dikeluarkan. Lega? Belum, karena ternyata si bayi tidak mengeluarkan suara. Tak ada tangisan! Bayi mungil itu bahkan tidak bergerak. Meski sang dukun sudah berkali-kali menepuk-nepuk pantat si bayi, tetap saja tak ada reaksi.
Ayah si bayi mulai tersedu. Dia ciumi bayinya sambil mengiba kepada Tuhan. Hatiku sedih dan terharu. Semua yang menyaksikan tentu akan merasakan itu.
Sang dukun hanya mengatakan si bayi dalam kondisi lemas. Dia tak mengatakan bayi masih hidup atau sudah meninggal. Dan diantara kami pun tak ada yang tega menanyakan soal itu. Aku beranjak mendekati bayi itu, kulihat kakinya mulai membiru. Keajaiban, semoga datang keajaiban.
Kapal kami pun kembali berhenti singgah di sebuah kampung yang lumayan ramai. Di situ sudah menunggu seorang bidan profesional. Dengan sigap dia mengeluarkan peralatannya lalu memeriksa kondisi bayi. Tak lama kemudian, bidan muda itu pun menggeleng-gelengkan kepala. Si bayi dipastikan telah tiada.
Peristiwa memilukan ini barangkali hanyalah hal yang biasa bagi para penumpang lainnya, yang hanya jadi bahan cerita untuk kemudian dilupakan begitu saja. Tapi bagiku, peristiwa ini meninggalkan kesan mendalam dan seperti mengandung pelajaran bagiku. Sebab, pada saat kisah ini terjadi, istriku sedang dalam kondisi hamil tua. Aku sedang menantikan kelahiran putra pertama.
Dulu, pada awal hingga pertengahan kehamilannya, aku sering mengajak istriku bolak-balik Sendawar-Samarinda-Balikpapan, suatu perjalanan yang sangat jauh! Dengan adanya peristiwa ini dan dengan semakin tuanya usia kehamilan istriku, aku memutuskan tak akan lagi mengajak istriku melakukan perjalanan jauh. Dan aku juga sudah harus memastikan di kota mana istriku akan melahirkan.
Tak masalah jika harus melahirkan di kota kecil, yang penting di kota itu ada rumah sakit yang bisa menjadi rujukan apabila ada kelainan dalam proses persalinan dimana bidan tidak sanggup menanganinya.
Namun kusadari, setelah melalui segala usaha dan persiapan yang maksimal, pada akhirnya doa dan kepasrahan kepada Tuhan-lah yang menjadi ujung dari segalanya.
(Kenangan berharga di atas kapal jurusan Melak-Samarinda, 3 Mei 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H