Kapal kami pun kembali berhenti singgah di sebuah kampung yang lumayan ramai. Di situ sudah menunggu seorang bidan profesional. Dengan sigap dia mengeluarkan peralatannya lalu memeriksa kondisi bayi. Tak lama kemudian, bidan muda itu pun menggeleng-gelengkan kepala. Si bayi dipastikan telah tiada.
Peristiwa memilukan ini barangkali hanyalah hal yang biasa bagi para penumpang lainnya, yang hanya jadi bahan cerita untuk kemudian dilupakan begitu saja. Tapi bagiku, peristiwa ini meninggalkan kesan mendalam dan seperti mengandung pelajaran bagiku. Sebab, pada saat kisah ini terjadi, istriku sedang dalam kondisi hamil tua. Aku sedang menantikan kelahiran putra pertama.
Dulu, pada awal hingga pertengahan kehamilannya, aku sering mengajak istriku bolak-balik Sendawar-Samarinda-Balikpapan, suatu perjalanan yang sangat jauh! Dengan adanya peristiwa ini dan dengan semakin tuanya usia kehamilan istriku, aku memutuskan tak akan lagi mengajak istriku melakukan perjalanan jauh. Dan aku juga sudah harus memastikan di kota mana istriku akan melahirkan.
Tak masalah jika harus melahirkan di kota kecil, yang penting di kota itu ada rumah sakit yang bisa menjadi rujukan apabila ada kelainan dalam proses persalinan dimana bidan tidak sanggup menanganinya.
Namun kusadari, setelah melalui segala usaha dan persiapan yang maksimal, pada akhirnya doa dan kepasrahan kepada Tuhan-lah yang menjadi ujung dari segalanya.
(Kenangan berharga di atas kapal jurusan Melak-Samarinda, 3 Mei 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H