Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Model Sekolah Sehat, Mungkinkah?

29 Mei 2016   12:56 Diperbarui: 30 Mei 2016   09:03 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lain halnya jika pihak sekolah bekerja sama dengan orang tua siswa melakukan program kontinyu untuk membiasakan siswa-siswa hidup sehat (misalnya; menetapkan aturan untuk membawa bekal makanan sehat, melakukan pengawasan secara kontinyu terhadap kadar nutrisi panganan yang ada di kantin sekolah, mengadakan kegiatan olahraga bersama secara berkala, dan lain sebagainya), maka ilmu pengetahuan tersebut akan meninggalkan kesan mendalam bagi siswa.  Bukankah perilaku seseorang ditentukan dari pengulangan kebiasaan yang ia lakukan sehari-hari?  Jika siswa-siswa di sekolah telah terbiasa berulang-ulang mengkonsumsi makanan dan jajanan sehat, maka kelak ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang terbiasa memiliki pola hidup yang sehat.

Salah satu model sekolah yang mengembangkan pola hidup sehat di Amerika Serikat mengedepankan kerja sama antara pemerintahan daerah (divisi pendidikan), hubungan antara sekolah-sekolah dalam satu daerah, pihak interen sekolah (yayasan dan para stafnya), pihak orang tua dan para siswa itu sendiri.  Jika pihak-pihak terkait memiliki tujuan yang sama guna menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mengimplementasikan gaya hidup sehat (dalam hal ini yaitu lingkungan sekolah), maka perlu adanya sinergi satu sama lain untuk mewujudkannya.  Lingkungan sekolah yang sehat tidak bisa tercipta jika masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri.  

Sudah susah payah pihak sekolah melatih siswa untuk membiasakan diri mengkonsumsi makanan sehat di sekolah, namun apa jadinya jika pihak orang tua di rumah melakukan pembiaran saat anak-anak mengkonsumsi makanan yang minim nutrisi secara berlebihan?  Atau sebaliknya, jika di rumah para orang tua telah berusaha mengajarkan pentingnya mengkonsumsi makanan bernutrisi baik, namun pihak sekolah tidak melakukan pengawasan makanan dan jajanan yang dijual di kantin sekolah atau dijual para pedagang di sekitar lingkungan sekolah?  Percuma saja kan?

Kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan pemerintah dalam usaha penyamarataan nutrisi siswa-siswa sekolah.  Beberapa sekolah yang murid-muridnya berasal dari kalangan menengah ke atas memang sudah mulai sadar akan pentingnya mengkonsumsi makanan sehat.  Beberapa di antaranya bahkan telah menyediakan sendiri menu jajanan sehat di kantin-kantinnya.  Namun, tak bisa dipungkiri, masih ada stereotip  yang mengasumsikan bahwa mengupayakan makanan sehat itu perlu biaya lebih.  Jumlah sekolah-sekolah yang peduli makanan sehat masih segelintir saja jumlahnya di negeri ini.  

Belajar dari kebijakan pemerintah Finlandia yang mengalokasikan dana khusus guna menyediakan makan siang gratis bagi siswa-siswa di sekolah, maka dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah saatnya bukan melulu digunakan untuk menunjang hal-hal yang sifatnya administratif saja.  Untuk apa sekolah berjalan operasionalnya namun minim mencetak generasi penerus yang handal di kemudian hari? 

Kapan (lagi) Kemendikbud dan Kemenkes akan berkolaborasi?  Perlu ada standar baku yang ditetapkan oleh Kemenkes terkait dengan asupan nutrisi siswa-siswa usia sekolah.  Pelajaran tentang gaya hidup sehat seharusnya bukan hanya jadi bagian satu mata pelajaran di sekolah saja (seperti pelajaran Penjaskes), melainkan terintegrasi dalam berbagai aktivitas kehidupan siswa.  

Jika pendidikan dicanangkan sebagai gerakan semesta, sudah saatnya pihak-pihak terkait tidak 'keasyikan' jalan sendiri-sendiri.  Zaman sekarang zaman-nya kolaborasi bukan?  Sudah saatnya sekolah berkolaborasi dengan orang tua murid.  Orang tua murid bukan hanya 'mesin cash' yang membayar uang SPP setiap bulan.  Orang tua murid bukan juga sekedar 'hiasan' menjelang berakhirnya tahun ajaran yaitu saat ajang terima rapor.  Sekolah pun juga bukan 'tempat menitipkan anak' saja.  Perlu ada komunikasi yang kontinyu antara pihak orang tua siswa dan pihak sekolah guna menciptakan model sekolah yang sehat. 

Siswa sehat berpotensi memiliki hidup yang bahagia kelak..  Untuk apa siswa yang pintar tapi sakit-sakitan? 

Model sekolah sehat, mungkinkah akan menjadi viral di negeri ini?        

Martheressa @hommel_edu

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun