Di penghujung bulan Mei yang disebut-sebut sebagai Bulan Pendidikan, ada satu masalah pendidikan yang sering luput dari perhatian masyarakat. Â Bicara soal pendidikan anak dan remaja sebenarnya tidak lepas dari proses tumbuh-kembang mereka sebagai seorang individu.Â
 Asupan nutrisi yang seimbang adalah perkara penting untuk menunjang performa akademik siswa di sekolah.  Sayang, sisi yang satu ini kurang mendapat mendapat perhatian.  Para praktisi pendidikan terlalu sibuk dan fokus meningkatkan performa akademik siswa di sekolah, dan mengabaikan sisi nutrisi yang dikonsumsi siswa sehari-hari.
Performa akademik siswa dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, jumlah absensi siswa, perilaku positif siswa dan kemampuan siswa dalam berkonsentrasi selama proses belajar-mengajar (KBM). Â Siswa yang memiliki kesehatan prima, otomatis akan lebih mudah mengikuti pelajaran (baik di rumah maupun di sekolah). Â Bukan hanya itu, siswa yang sehat cenderung memiliki tingkat absen yang rendah di sekolah.
Berdasarkan penelitian Brown pada tahun 2008, siswa yang terbiasa sarapan pagi memiliki emosi yang lebih stabil dan mudah mengikuti sistem disiplin yang diterapkan di sekolah.  Menurut  Bellisle (2004) dan Sorhando dan Feinstein (2006), asupan nutrisi yang menggabungkan protein, karbohidrat dan glukosa dapat meningkatkan kinerja otak siswa dan kemampuannya berkonsentrasi dalam KBM.  Kekurangan nutrisi (seperti zat besi, vitamin B, lemak Omega-3 dan protein) pada anak-anak usia sekolah akan menyebabkan perkembangan sel otak (kognitif) menjadi terhambat.  Jika perkembangan kognitif siswa terhambat, otomatis siswa akan menemui kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
Sekolah-sekolah di Finlandia dan beberapa negara bagian Amerika Serikat telah mengambil langkah serius dalam penyamarataan asupan nutrisi bagi anak dan remaja usia sekolah di wilayahnya. Â Mengutip jurnal yang diterbitkan oleh Finnish National Board of Education pada tahun 2014, pihak sekolah-sekolah di Finlandia bahkan menyediakan makan siang gratis bagi siswa-siswa dari level TK hingga SMA. Â Menunya sendiri disusun sedemikian rupa untuk menunjang tujuan pembelajaran siswa di sekolah dan disesuaikan dengan tahap tumbuh-kembang siswa per jenjang kelas. Â Dalam penyusunan menunya, pihak katering sekolah berkolaborasi bersama pihak orang tua siswa. Â Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, pemerintah daerah bahkan membentuk divisi khusus yang menetapkan standar nutrisi yang harus terkandung dalam menu makanan siswa di sekolah.
Kondisi di Indonesia tentu saja jauh berbeda dengan kondisi di Finlandia maupun di negeri Amerika sana. Â Namun, minimnya perhatian sekolah-sekolah di Indonesia terhadap makanan dan jajanan yang dikonsumsi oleh siswa selama jam sekolah patut memperoleh perhatian khusus. Â Alih-alih menjejali siswa dengan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam otaknya, bahkan setelah jam sekolah bubar pun siswa masih harus diikutkan berbagai kursus tambahan, mengapa asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya justru diabaikan?
Sudah menjadi pemandangan biasa, ada begitu banyak pedagang jajanan bertebaran di sekitar lingkungan sekolah. Â Aneka jajanan yang ditawarkan tentu saja menggugah selera tentunya, namun minim gizi. Â Sudah menjadi rahasia umum jika para pedagang tak terlalu memperhatikan kandungan gizi dalam meramu aneka jajanan yang dijual. Â Yang penting lezat dan menarik mata dengan aneka warna-warni (yang belum tentu dibuat menggunakan pewarna makanan). Â Di dalam kantin sekolah pun, penggunaan penyedap rasa (MSG) tak pernah ada takaran bakunya. Â Yang penting sedap dan siswa-siswa suka! Â Tak heran jika anak-anak dan remaja di Indonesia masih banyak yang mengalami kekurangan gizi.
Namun, pelaksanaan yang diskontinyu mengakibatkan program ini hanya BERHENTI pada tataran ilmu pengetahuan saja. Â Tanpa program lanjutan yang bersifat kontinyu, maka konsep-konsep hidup sehat hanya berhenti menjadi 'jargon' dan diingat siswa dalam rentang waktu yang pendek saja. Â Sama halnya dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi siswa. Â Adanya penyuluhan tentang makanan dan jajanan sehat yang kerap dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah maupun non-pemerintah, hanya akan berhenti pada tataran 'sekedar tahu' jika minim program yang berkelanjutan dari pihak sekolah.
MODEL SEKOLAH SEHATÂ
Confusius pernah mengatakan, "Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat, apa yang saya kerjakan saya paham."Â Demikian halnya siswa-siswa di sekolah. Â Jika hanya disuruh duduk dan mendengar penyuluhan tentang bagaimana memilih makanan dan jajanan yang sehat, mereka hanya akan berhenti pada tahap 'sekedar tahu' saja. Â
Lain halnya jika pihak sekolah bekerja sama dengan orang tua siswa melakukan program kontinyu untuk membiasakan siswa-siswa hidup sehat (misalnya; menetapkan aturan untuk membawa bekal makanan sehat, melakukan pengawasan secara kontinyu terhadap kadar nutrisi panganan yang ada di kantin sekolah, mengadakan kegiatan olahraga bersama secara berkala, dan lain sebagainya), maka ilmu pengetahuan tersebut akan meninggalkan kesan mendalam bagi siswa. Â Bukankah perilaku seseorang ditentukan dari pengulangan kebiasaan yang ia lakukan sehari-hari? Â Jika siswa-siswa di sekolah telah terbiasa berulang-ulang mengkonsumsi makanan dan jajanan sehat, maka kelak ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang terbiasa memiliki pola hidup yang sehat.
Salah satu model sekolah yang mengembangkan pola hidup sehat di Amerika Serikat mengedepankan kerja sama antara pemerintahan daerah (divisi pendidikan), hubungan antara sekolah-sekolah dalam satu daerah, pihak interen sekolah (yayasan dan para stafnya), pihak orang tua dan para siswa itu sendiri. Â Jika pihak-pihak terkait memiliki tujuan yang sama guna menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mengimplementasikan gaya hidup sehat (dalam hal ini yaitu lingkungan sekolah), maka perlu adanya sinergi satu sama lain untuk mewujudkannya. Â Lingkungan sekolah yang sehat tidak bisa tercipta jika masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri. Â
Sudah susah payah pihak sekolah melatih siswa untuk membiasakan diri mengkonsumsi makanan sehat di sekolah, namun apa jadinya jika pihak orang tua di rumah melakukan pembiaran saat anak-anak mengkonsumsi makanan yang minim nutrisi secara berlebihan? Â Atau sebaliknya, jika di rumah para orang tua telah berusaha mengajarkan pentingnya mengkonsumsi makanan bernutrisi baik, namun pihak sekolah tidak melakukan pengawasan makanan dan jajanan yang dijual di kantin sekolah atau dijual para pedagang di sekitar lingkungan sekolah? Â Percuma saja kan?
Kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan pemerintah dalam usaha penyamarataan nutrisi siswa-siswa sekolah.  Beberapa sekolah yang murid-muridnya berasal dari kalangan menengah ke atas memang sudah mulai sadar akan pentingnya mengkonsumsi makanan sehat.  Beberapa di antaranya bahkan telah menyediakan sendiri menu jajanan sehat di kantin-kantinnya.  Namun, tak bisa dipungkiri, masih ada stereotip  yang mengasumsikan bahwa mengupayakan makanan sehat itu perlu biaya lebih.  Jumlah sekolah-sekolah yang peduli makanan sehat masih segelintir saja jumlahnya di negeri ini. Â
Belajar dari kebijakan pemerintah Finlandia yang mengalokasikan dana khusus guna menyediakan makan siang gratis bagi siswa-siswa di sekolah, maka dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah saatnya bukan melulu digunakan untuk menunjang hal-hal yang sifatnya administratif saja. Â Untuk apa sekolah berjalan operasionalnya namun minim mencetak generasi penerus yang handal di kemudian hari?Â
Kapan (lagi) Kemendikbud dan Kemenkes akan berkolaborasi? Â Perlu ada standar baku yang ditetapkan oleh Kemenkes terkait dengan asupan nutrisi siswa-siswa usia sekolah. Â Pelajaran tentang gaya hidup sehat seharusnya bukan hanya jadi bagian satu mata pelajaran di sekolah saja (seperti pelajaran Penjaskes), melainkan terintegrasi dalam berbagai aktivitas kehidupan siswa. Â
Jika pendidikan dicanangkan sebagai gerakan semesta, sudah saatnya pihak-pihak terkait tidak 'keasyikan' jalan sendiri-sendiri. Â Zaman sekarang zaman-nya kolaborasi bukan? Â Sudah saatnya sekolah berkolaborasi dengan orang tua murid. Â Orang tua murid bukan hanya 'mesin cash' yang membayar uang SPP setiap bulan. Â Orang tua murid bukan juga sekedar 'hiasan' menjelang berakhirnya tahun ajaran yaitu saat ajang terima rapor. Â Sekolah pun juga bukan 'tempat menitipkan anak' saja. Â Perlu ada komunikasi yang kontinyu antara pihak orang tua siswa dan pihak sekolah guna menciptakan model sekolah yang sehat.Â
Siswa sehat berpotensi memiliki hidup yang bahagia kelak.. Â Untuk apa siswa yang pintar tapi sakit-sakitan?Â
Model sekolah sehat, mungkinkah akan menjadi viral di negeri ini? Â Â Â Â
Â
SUMBER BACAAN :
Nutrition and Students` Academic Performance
Health and Academic Achievement
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H