Mohon tunggu...
Marsyidza Alawiya
Marsyidza Alawiya Mohon Tunggu... Jurnalis - Sarjana Kertas

Manusia bodoh yang tak kunjung pintar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Seusai Berpisah

16 Agustus 2024   23:03 Diperbarui: 16 Agustus 2024   23:06 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin, kau akan merindukanku, karena kau tidak akan menemukan sosok 'aku' dalam diri orang lain. Percayalah! aku pecinta diksi, dan kau pernah menjadi segelas bir yang memabukkanku atas segala diksi-diksi milik Tuhan. Dan kau harus percaya, segala diksi yang pernah kusuguhkan adalah buah dari ketulusan.

Hari ini, aku sudah bisa tersenyum melihat ombak yang sudah mulai tenang. Setelah kecamuknya membunuh pikiranku, setelah segalanya membuat hatiku perih, dan dahsyatnya ombak seperti tsunami yang menghujam keadaanku perlahan.

Dari ketenangan itu, aku berani menuliskan semua ini. Aku sudah bisa menerima kepergianmu, setelah semburat luka yang kau toreh, setelah kekecewaan beberapa kali menghantui perjalanan hidupku.

Aku akan mulai perjalananku yang baru, aku yakin aku bisa tanpamu. Masih banyak yang harus aku kejar, masih banyak yang harus aku capai. Dan tidak ada penyesalan ketika aku mengenalmu. Terima kasih atas segala bahagia dan lukanya.

Kau adalah laki-laki pertama yang membuat aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, dan kau adalah laki-laki pertama yang kusuguhi segala diksi-diksi indah milik-Nya. Laki-laki yang kuharap dapat merawat segala diksi yang telah kurelakan menjadi milikmu. Laki-laki yang kuharap doanya menembus langit dengan segala kecintaanmu kepada-Nya.

Tapi, entah kenapa aku terlanjur kecewa dan terluka, setelah beberapa kabar yang membuatku dilema untuk mempertahankanmu dan kabar itu bersumber dari orang tuaku---orang tuaku tak meridlai kisah kita berdua.

Aku pernah menyangkal beberapa kali sampai orang tuaku menangis karena aku masih ingin mempertahankanmu dan terus membelamu; tak henti-hentinya mengatakan kepada mereka bahwa kau laki-laki yang baik. Aku selalu berusaha bercerita kepada Ibu dan Ayahku tentang segala kebaikanmu meski mereka selalu menyangkal dan tidak percaya. Bahkan, aku merasa sangat egois sekali kala itu, dan benar kata orang jika cinta mampu membuat seseorang keras kepala.

Sekali lagi, aku masih mempertahankanmu, dan Tuhan pun sepertinya mempertahankan perasaan dilema itu di dalam hatiku. Aku tidak ingin menjadi durhaka, tapi aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku menangis di malam-malam-Nya meminta, "Tuhan, Jika memang dia benar-benar baik, tunjukkan kebaikannya, jika tidak, maka tunjukkanlah pula"

Kebesokannya aku ditelepon Ibuku dan beliau bercerita bahwa tadi malam beliau mimpi buruk dan langsung teringat kepadaku. Aku bilang pada Ibu bahwa 'semua akan baik-baik saja', dan kamu tahu! Ibu marah ketika berkata demikian. Ia sangat tidak menyukai hubungan ini dan aku keras kepala aku bilang pada Ibu, "Tidak bisa bu, aku sangat mencintainya".

 Kebesokannya lagi, Ayahku menelpon bahwa Ibu sakit lambung karena terus-terusan menangis karena memikirkanku, dan bilang Ibu terus mimpi buruk tentang aku. Kebesokannya lagi Ayahku marah-marah dan berkata padaku agar aku segera berpisah denganmu dan menyampaikan pesan Ibu bahwa jika aku tidak patuh bahwa selamanya aku tidak akan bahagia. Aku sungguh kalut, bahkan di sela-sela terakhir perkataan Ayah, Ibu menitipkan pesan bahwa aku tidak boleh berusaha memilikimu walau pun itu lewat doa. Ibu bilang, "Cukup lewat doa Ibu, hidupmu akan tentram Nay."

Dan, kebesokannya lagi, aku mendengar kamu sering meninggalkan kewajibanmu sebagai manusia, bahkan sebagai kekasihku.

Aku mencoba mencari tahu tentangmu yang sebenarnya kepada teman laki-lakimu dan faktanya kau memang sering meremehkan hal-hal yang seharusnya kau sangat peduli. Kau sering mengabaikan cucianmu, kau jarang membersihkan badanmu, kau juga jarang shalat.

Kau juga sering meminjam uang namun tidak dikembalikan, kau tidak hanya pinjam uang kepada teman laki-lakimu, tapi juga kepada teman-teman perempuanku. Dan seakan cinta sudah menghasut diriku, kau juga meminjam uang kepadaku, dan uang itu tidak kembali juga. Aku baru menyadarinya ketika kau lebih memilih membagi-bagikan uang kepada teman-temanmu, padahal kau sendiri banyak hutang. Sungguh, kau pergi bukan hanya meninggalkan kenangan padaku, tapi juga meninggalkan hutang.

Mendengar kenyataan ini aku merasa malu dengan sikapmu. Sungguh, ini bukan persoalan nominal tapi tentang harga diri dan tanggung jawab. Dan, semua itu menjadi pertimbangan seorang perempuan sepertiku dalam memilih laki-laki yang kelak menjadi suamiku.

Aku tidak habis pikir, aku berusaha mempertahankamu karena aku yakin akhlaqmu baik, dan kamu memiliki intelektual yang baik.  Aku juga sempat yakin bahwa orang tuaku sewaktu-waktu akan menerimamu, dan apa yang kamu lakukakan berhasil harapanku pupus. Aku juga sempat bilang padamu "Kau hukum wajib dan sunnah saja tidak bisa membedakan, bagaimana mau meyakinkan orang tuaku!" Aku mengatakan seperti ini karena apa yang kamu lakukan termasuk hukum dari pada hadiah yang mana itu sunnah, sedangkan membayar hutang-hutangmu itu wajib.

Mendengar perkataanku waktu itu, kau marah sekali. Kau menganggapku merendahkanmu, tapi bukankah aku yang kau rendahkan? Dimana hati dan harga dirimu ketika kau memutuskan untuk meminjam uang kepada kekasihmu, dan kekasihmu begitu percaya kepada sikap tanggung jawabmu padahal kau sudah membuangnya dengan memperbanyak hutang kepada teman-teman perempuanku.

Bayangkan, bagaimana perasaanmu jika kalian memiliki kekasih yang memiliki banyak hutang kepada teman-teman perempuanmu, dan teman-teman perempuanmu itu selalu menitipkan salam agar kekasih kalian itu segera membayarnya. Sekali lagi, ini bukan persoalan tentang nominal, tetapi tentang harga diri dan akhlaq sebagai seorang laki-laki.

Aku memang bukan tipe perempuan yang pemarah dan egois, tapi tetaplah aku adalah perempuan yang kau lukai dengan segala ambisi yang kau ciptakan sendiri. Kau menjelma laki-laki yang baik di depan orang lain, tapi padahal kau masih bingung dengan dirimu sendiri. Kau berusaha menampakkan bahwa kau adalah laki-laki yang paling peduli di depan orang lain hanya agar kau terlihat baik. Tapi, salahnya kau tidak tahu posisi, kau tidak memikirkan perasaanku, kau merendahkanku dengan tindakan yang menurutmu baik. Dan mungkin, ini adalah jawaban kenapa Ibuku selalu mimpi buruk tentang aku dan kamu.

Sebenarnya aku begitu perihatin dengan keadaanmu, aku ingin kau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, aku rasa aku sudah cukup untuk mengingatkan dan menasehatimu dan mungkin Allah tidak menurunkan hidayah itu lewat aku.

Tapi sudahlah, ombak dalam hatiku sudah menjelma ombak pesisir pantai yang sejuk. Jujur, hingga saat ini sebenarnya aku masih mencintaimu, aku selalu bahagia ketika mendengar kabar baikmu. Tapi untuk kembali seperti dulu, kau harus berjuang lebih kuat, karena tembokmu kali ini bukan hanya meyakinkan orang tuaku, tetapi meyakinkan aku bahwa kau laki-laki yang memiliki tanggung jawab. Hmm, dan sepertinya kau sudah lelah dan memang kita harus benar-benar selesai.

Aku harap kau selalu bahagia, dan kita tetap menjadi teman baik. Aku ingin tenang dan fokus dengan apa yang sekarang aku kerjakan. Dan kisah kita selama ini akan aku jadikan pelajaran yang sangat berharga, akan aku renungkan dalam-dalam. Aku berdoa, semoga iman kita dikuatkan, sekuat Tuhan menjauhkan kita berdua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun