Dan, kebesokannya lagi, aku mendengar kamu sering meninggalkan kewajibanmu sebagai manusia, bahkan sebagai kekasihku.
Aku mencoba mencari tahu tentangmu yang sebenarnya kepada teman laki-lakimu dan faktanya kau memang sering meremehkan hal-hal yang seharusnya kau sangat peduli. Kau sering mengabaikan cucianmu, kau jarang membersihkan badanmu, kau juga jarang shalat.
Kau juga sering meminjam uang namun tidak dikembalikan, kau tidak hanya pinjam uang kepada teman laki-lakimu, tapi juga kepada teman-teman perempuanku. Dan seakan cinta sudah menghasut diriku, kau juga meminjam uang kepadaku, dan uang itu tidak kembali juga. Aku baru menyadarinya ketika kau lebih memilih membagi-bagikan uang kepada teman-temanmu, padahal kau sendiri banyak hutang. Sungguh, kau pergi bukan hanya meninggalkan kenangan padaku, tapi juga meninggalkan hutang.
Mendengar kenyataan ini aku merasa malu dengan sikapmu. Sungguh, ini bukan persoalan nominal tapi tentang harga diri dan tanggung jawab. Dan, semua itu menjadi pertimbangan seorang perempuan sepertiku dalam memilih laki-laki yang kelak menjadi suamiku.
Aku tidak habis pikir, aku berusaha mempertahankamu karena aku yakin akhlaqmu baik, dan kamu memiliki intelektual yang baik. Â Aku juga sempat yakin bahwa orang tuaku sewaktu-waktu akan menerimamu, dan apa yang kamu lakukakan berhasil harapanku pupus. Aku juga sempat bilang padamu "Kau hukum wajib dan sunnah saja tidak bisa membedakan, bagaimana mau meyakinkan orang tuaku!" Aku mengatakan seperti ini karena apa yang kamu lakukan termasuk hukum dari pada hadiah yang mana itu sunnah, sedangkan membayar hutang-hutangmu itu wajib.
Mendengar perkataanku waktu itu, kau marah sekali. Kau menganggapku merendahkanmu, tapi bukankah aku yang kau rendahkan? Dimana hati dan harga dirimu ketika kau memutuskan untuk meminjam uang kepada kekasihmu, dan kekasihmu begitu percaya kepada sikap tanggung jawabmu padahal kau sudah membuangnya dengan memperbanyak hutang kepada teman-teman perempuanku.
Bayangkan, bagaimana perasaanmu jika kalian memiliki kekasih yang memiliki banyak hutang kepada teman-teman perempuanmu, dan teman-teman perempuanmu itu selalu menitipkan salam agar kekasih kalian itu segera membayarnya. Sekali lagi, ini bukan persoalan tentang nominal, tetapi tentang harga diri dan akhlaq sebagai seorang laki-laki.
Aku memang bukan tipe perempuan yang pemarah dan egois, tapi tetaplah aku adalah perempuan yang kau lukai dengan segala ambisi yang kau ciptakan sendiri. Kau menjelma laki-laki yang baik di depan orang lain, tapi padahal kau masih bingung dengan dirimu sendiri. Kau berusaha menampakkan bahwa kau adalah laki-laki yang paling peduli di depan orang lain hanya agar kau terlihat baik. Tapi, salahnya kau tidak tahu posisi, kau tidak memikirkan perasaanku, kau merendahkanku dengan tindakan yang menurutmu baik. Dan mungkin, ini adalah jawaban kenapa Ibuku selalu mimpi buruk tentang aku dan kamu.
Sebenarnya aku begitu perihatin dengan keadaanmu, aku ingin kau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, aku rasa aku sudah cukup untuk mengingatkan dan menasehatimu dan mungkin Allah tidak menurunkan hidayah itu lewat aku.
Tapi sudahlah, ombak dalam hatiku sudah menjelma ombak pesisir pantai yang sejuk. Jujur, hingga saat ini sebenarnya aku masih mencintaimu, aku selalu bahagia ketika mendengar kabar baikmu. Tapi untuk kembali seperti dulu, kau harus berjuang lebih kuat, karena tembokmu kali ini bukan hanya meyakinkan orang tuaku, tetapi meyakinkan aku bahwa kau laki-laki yang memiliki tanggung jawab. Hmm, dan sepertinya kau sudah lelah dan memang kita harus benar-benar selesai.
Aku harap kau selalu bahagia, dan kita tetap menjadi teman baik. Aku ingin tenang dan fokus dengan apa yang sekarang aku kerjakan. Dan kisah kita selama ini akan aku jadikan pelajaran yang sangat berharga, akan aku renungkan dalam-dalam. Aku berdoa, semoga iman kita dikuatkan, sekuat Tuhan menjauhkan kita berdua.