Mohon tunggu...
Marsyidza Alawiya
Marsyidza Alawiya Mohon Tunggu... Jurnalis - Sarjana Kertas

Manusia bodoh yang tak kunjung pintar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah Perempuan yang Terluka

8 Mei 2024   13:00 Diperbarui: 8 Mei 2024   14:12 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika itu kau pasti ingin berteriak dan menangis bahkan fatalnya kau ingin pergi dari dunia ini. Tapi, apakah itu tidak terlalu egois? Bukannya secangkir kopi yang disuguhkan barista sudah kau cicipi? Itulah kehidupan. Aku harap kau bisa  menikmati setiap getir kopi. Kau punya gula sebagai penetrasi rasa pahitmu.

Aku tahu, kau hanya perempuan dan segala mimpi-mimpimu. Berusaha berjuang dengan segala caci yang hampir mencuci otakmu. Masyarakat patriarki selalu mendorongmu kebelakang dan ingin menjatuhkanmu setelah kau berusaha payah menaiki tangga harapanmu. Laki-laki itu telah mendeskriminasimu, sehingga kau seakan tidak punya apa-apa, walau itu adalah harga diri.

Waktu itu, ia menawarimu bunga, kau menerimanya dengan suka cita. Kau mencintainya. Ia juga sering mengajakmu berdiskusi perihal apa saja. tidak jarang ia juga membahas tentang perempuan dalam sejarah gender. Kau bahagia, karena kau merasa telah menemukan ‘Anak Adam’ yang sempurna—Ia rupawan ditambah intelektualnya yang mapan. Tapi, hari ini aku tahu ia menghianati janjinya dan kau baru sadar ketika apa yang ada dalam dirimu telah ia renggut secara diam-diam. Ia merebahkanmu di di atas ranjang, melakukan aksi bejatnya lalu menghilang tanpa berpamitan.

Aku tahu kau merasa sangat rapuh dan lumpuh, tidak ada lagi secuil harapan yang menjelma sebagai lilin kala malam.  Kau resah, saat keramaian adalah kesunyian nuranimu, sedangkan kesunyian adalah keramaian dalam pikiranmu.

Aku tahu, kau sekarang tidak tahu harus bertindak bagaimana. Langit mendung memandangmu, lalu hujan deras! Turut menangis mendengar kisah perjalananmu. Ratih! Tidak apa-apa menangislah, Tuhan terlalu egois jika tak mempersilahkanmu menitikkan air mata. Tapi, percayalah semua akan baik-baik saja.

 Segala yang terjadi hari ini adalah pelajaran yang tidak akan kita dapatkan di hari-hari berikutnya. Terimalah apa yang terjadi secara perlahan. Meski, itu berat. Aku tahu, kau mampu bertahan. Kau harus bisa menjadi bunga Teratai yang tetap menawan meski jarang ditatap dipermukaan. Hanya kemilau danau yang dapat menerimamu sebagai insan yang rupawan. Percayalah, waktu yang terus bergulir akan menemukanmu dengan danaumu. Dan, penggalan kisah yang kau temui saat ini akan menjadi sebuah sejarah yang dapat menginspirasi banyak orang jika kau pandai merenungkan.

Sekarang, cobalah kau nyalakan lilin, bukalah matamu bahwa dunia masih menanggapmu. Tutup telingamu, biarkan mulut-mulut aliran misoginis menjulur-julur dan lihatlah betapa jeleknya. Senyumlah, mantapkan langkahmu. Bahwa kau telah lahir kembali sebagai perempuan yang lebih tangguh untuk memperjuangkan masa depanmu yang sempat hilang.  Katakan, Ratih…, pada mereka bahwa kau tidak seperti apa yang mereka katakan. ‘Kau perempuan, bukan pengecut!’. Kau adalah manusia istimewa dengan segala kekurangan-kekuranganmu. Kau akan terus dicermati oleh sang waktu. Kadang ia tersenyum, kada pula melototimu. Tetaplah berjalan, jangan pernah berhenti. Ketika ada lubang, minggirlah. Ketika terperosok, kau harus berusaha bangkit lagi. Puan…! Kau perempuan hebat, berjuangalah!

Sudah satu jam aku berhadapan dengan cermin, melihat mataku yang sudah bengkak.  Sudah satu bulan aku kabur dari rumah. Ibuku sudah tidak peduli padaku, tetangga-tetanggaku mencemoohku. Aku dibilang perempuan najis yang tidak tahu cara bagaimana mengucapkan terima kasih. Ya, ini semua akibat perbuatanmu. Ah, aku sudah tidak ingin membahasnya lagi. Memang enak ya, jadi seorang laki-laki hanya bermodal meliuk-liukkan kata-kata atau dengan investasi intelektual yang menggiurkan lalu kau berpotensi juga untuk melecehkan perempuan sepertiku. Dan, kau akan tetap dijuluki sebagai perjaka selama kau belum menikah, berbeda dengan perempuan, jika selaput darahnya sudah pecah ia tidak akan pernah disebut sebagai perawan.

Aku sudah tidak percaya lagi persoalan laki-laki tampan, pintar, dan punya modal. Tapi aku akan terus percaya bahwa hidup akan terus memberikanku kepercayaan untuk bangkit lagi. Aku percaya bahwa laki-laki sepertimu akan menemukan takdir buruk, lebih buruk dari pada takdirku yang kujalani saat ini.

Aku akan menulis semuanya tentangmu. Aku akan berusaha membuat tulisan-tulisan ini terkenal. Aku tidak akan melewatkan sedikit pun kisah ini agar semua orang-orang tahu, bahwa aku tidak serendah itu. Aku memang sudah tidak perawan, tapi aku akan terus menjalani hidup ini dan mengabdikan diri untuk terus berbuat baik. Aku yakin suatu saat ketika aku sudah memiliki banyak uang, aku bisa menunjukkan pada mereka yang telah mencemoohku, bahwa aku bisa bangkit, dan aku juga yakin akan ada laki-laki baik yang menerimaku dengan tulus, bukan karena masa laluku tapi karena perjuanganku.

Aku lihat ia semakin cantik, dan kini ia telah bergandengan dengan seorang laki-laki tampan dan kaya. Aku semakin merasa bersalah kepadanya. Lihatlah aku, laki-laki bodoh yang sudah dua tahun terkena penyakit HIV, sudah hampir tiga tahun menjadi pengangguran setelah di PHK dari tempat kerjaku. Aku terkapar tidak berdaya di kamar ini, menangis sambil mengenang wajah manismu. Kau begitu lugu ketika aku mulai merayumu, tapi kau sosok perempuan yang memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa ketika aku mencoba mengajakmu berdiskusi tentang Ilmu pengetahuan, dan kau juga memiliki retorika yang baik. Ah, sangat indah sekali ketika bersamamu.

Tapi, tanpa aku sadari ternyata aku telah membunuh masa depanmu. Waktu itu, aku tidak bisa mengontrol diriku untuk tidur denganmu, aku sungguh tersiksa saat melihat wajahmu yang cantik, bulu matamu yang lentik, dan sungguh bentuk tubuhmu membuatku susah tidur berhari-hari. Maafkan aku Ratih, intelektualku hanya menjadi sampah rongsokan yang membeludak di kepalaku, dan itu tidak mampu membuat diriku bisa menahan diri untuk tidak melukaimu.

Aku lihat kau saat ini menjadi seorang penulis terkenal, aku juga membaca karyamu dan kebanyakan kisah-kisah yang kau tulis itu tentang aku. Kamu tahu Ratih…, aku menangis setiap membaca buku-bukumu.

Ratih, semenjak aku pergi dari kehidupanmu dengan meninggalkan bercak darah di sekitar selakanganmu, berhari-hari aku tidak fokus saat bekerja, aku sering ditegur oleh pimpinanku, kinerjaku dikantor buruk, sampai pada akhirnya aku di PHK dari kantor kerjaku. Aku semakin frustasi Ratih…, Ibu dan Ayahku kecewa karena karirku gagal, Ibu dan Ayah mengusirku dari rumah. Di jalanan aku tidak berdaya, aku selalu dihantui oleh wajahmu yang mungkin disana sedang menangis, atau bahkan kau sedang dicemooh karena sudah tidak perawan lagi. Kamu tahu Ratih, aku semakin frustasi dan memilih jalan gelap untuk menjadi pecandu alkohol dan bermain bersama wanita-wanita di bar dan diskotik.

Ratih, mungkin hidupku sudah tidak akan lama lagi. Penyakit HIV yang kuderita semakin mengrogoti tubuhku. Mungkin besok atau lusa, aku akan menemuimu untuk meminta maaf sebelum aku benar-benar mati.

Marsyidza Alawiya—Alumni Pondok Pesantren Al-Falah Putri, Jember.   Saat ini berstatus sebagai santri dan pengabdi di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.  Ia bisa disapa di akun Twitter dan Instagramnya @marsyidza02

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun