Manusia lahir dari sayap
Mengapa harus merayap dalam hidup
Kata ini, melubangi segalanya
Seakan, kami dipaksa untuk memahami
Hidup memang penuh dengan intrik-intrik manis
Yang sadis pun dianggap manis
Oleh pecinta kepentingan yang tidak terlalu penting
Kapitalisasi semakin hari semakin eksis
Moralisasi semakin hari semakin tipis
Orang-orang arif tersenyum miris
Kaum marhaenis tak jarang mereka menangis
Sebagian tenaga teknokrat bermuram durja
Tidak tahu hati mereka dibawa kemana
Kaum birokrat semakin keparat
Rakyat sekarat, emasnya semakin nambah berkarat-karat
Duhai Indonesia, kau tak punya dosa
Tapi mengapa seakan kesucianmu ternoda?
Para seniman terus lontarkan diksi-diksi
Berdarah-darah puisinya teruntai
Dalam larik-larik baitnya hati mereka dongkol
Tiada lain terang adalah harapan
Tiada lain, mereka ingin umur panjang
Mahasiswa juga demikian
Pantang lelah memberi kritik
Hingga media-media sesak opini-opini politik
Jalanan juga macet, penuh dengan orasi-orasi mereka
Entah yang duduk di kursi dengar, atau malah tutup telinga
Munafik!
Suara mulut demi mulut ricuh
Berita-berita semakin bancuh
Virus sana, virus sini, tidak henti-henti
Vaksin sana, vaksin sini, tak pasti-pasti
Angka kematian sudah lumrah dimanipulasi
Duhai Tuan, kami harap kau berhenti tertawa
Kasian para seniman, juga ulama’
Doanya yang menggema, seakan mental semuanya
Kemakan sandiwara, dan juga amplop-amplop
Duhai Tuan, sedikit saja kau itu buka mata
Kasihan rakyat Indonesia
Yang juga, mau tak mau ikut-ikut saja
Ilthif, ilthif Qalbana, Ya Rabb…
Islim Baladina, Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H