Wilayah Timur Tengah selama ini seakan-akan tidak pernah lepas dari belenggu konflik. Beritanya selalu menjadi santapan media masa di seluruh dunia. Konflik dikawasan ini adalah salah satu konflik berkepanjangan. Ini disebabkan tidak adanya sebuah resolusi untuk konflik-konflik yang ada.Â
Berbagai upaya penyelesaian konflik sudah melibatkan berbagai pihak. PBB dengan negara yang memiliki superpower seperti Amerika Serikat dan Rusia pun sudah turut andil dalam mengusahakan sebuah perdamaian. Konflik yang ada dikawasan tersebut seakan-akan dibiarkan terus menerus diakibatkan sikap dari penduduk bahkan pemimpinnya yang oportunis, egois, dan pragmatis.
Sejak awal januari 2011, ada sebuah bahasa politik yang mulai popular dalam politik internasional, terutama di negara-negara Timur Tengah, The Arab Spring. Istilah ini mulai popular disebabkan jatuhnya rezim-rezim otoriter di dunia Arab, seperti runtuhnya rezim Zein Al-Abidin Ben Ali di Tunisia, penggulingan masa pemerintahan Hosni Mubarak di Mesir, diikuti oleh Libya yang  Mengakhiri masa pemerintahahn Moammar Khadafy yang telah berlangsung selama 40 tahun, dan dilanjutkan oleh Bahrain, Suriah, dan Yaman yang masih berjalan hingga saat ini. Arab Spring ini yang menjadi titik awal pertumbuhan demokrasi di negara-negara arab.
Dalam menganalisa kasus ini, penulis akan menggunakan teori demokrasi. Demokrasi sendiri merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak dianut di seluruh dunia. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dimana warga negara mendapatkan haknya secara setara, terutama dalam hal ekonomi. Dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, di sini negara lah yang harus mengambil peran tanggung jawab untuk mewujudkannya.Â
Demokrasi dalam kutipan teori Jean Jaques Rousseau merupakan sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. George Sorensen dalam bukunya berpendapat bahwa ada tiga hal utama dalam substansi demokrasi politik. Kompetisi, Partisipasi, dan kebebasan politik dan sipil.
Kondisi sosial politik dan ekonomi yang berlangsung di negara-negara Arab lah yang menjadi latar belakang terjadinya Arab Spring. Arab Spring merupakan awal harapan adanya kehidupan yang lebih baik dengan demokratisasi di kawasan Timur Tengah.Â
Demokratisasi merupakan suatu proses yang diawali runtuhnya rezim otoriter, pelembagaan aturan main yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Proses peralihan dari rezim otoriter menuju ke penegakkan sistem demokrasi ini disebut sebagai masa transisi. Dalam artikel ini, penulis akan melihat bagaimana perjalanan masa transisi yang dihadapi oleh Tunisia. Apakah demokratisasi yang dilakukan oleh rakyat Tunisia berhasil dan apakah harapan adanya kehidupan yang lebih baik sudah didapatkan oleh rakyatnya.
Dimulai dari aksi protes bakar diri Bouazizi yang kemudian ikut membakar semangat seluruh negeri untuk menggerakkan revolusi menuntut turunnya rezim Zein Al-Abidin Ben Ali, yang telah memegang kekuasaan selama 23 tahun. Dasar dari tuntutan ini adalah kemiskinan, ketidakadilan, dan hegemoni negara yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Tunisia.
Sistem politik dan pemerintahan di Tunisia yang sudah dijalankan sebelumnya adalah republik. Namun, John O. Voll menyebutkan bahwa tipe rezim pemerintahan Tunisia adalah Liberal-Secularist Authoritarian. Liberisme ini menjadi dasar demokratisasi yang berubah menjadi otoriter.Â
Perkembangan demokrasi di Tunisia menawarkan basis potensi yang menjanjikan dan situasi politis yang mendukung. Syarat-syarat sebuah negara demokrasi sudah hampir terpenuhi oleh Tunisia. Namun semua itu hanyalah di atas kertas. Jika dilihat, masa pemerintahan Ben Ali  merupakan masa pemerintahan yang paling memperluas ruang gerak. Dengan munculnya partai-partai baru dan semakin banyaknya peluang suara oposisi diparlemen, membuat pemerintahan Ben Ali terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Munculnya NGO yang edektif sebagai oposisi pemerintah seperti Serikat Pekerja UGTT, membuat masyarakat seakan-akan bisa turut andil dalam kebebasan berpolitik. Pemberdayaan wanita dan pengakuan adanya HAM juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Hal ini juga terlihat seperti pemerintahan Ben Ali sangat berjasa. Namun, perlu diingat, bahwa komitmen yang dianut oleh pemerintahan Tunisia dalam penguatan demokratisasi ini hanya diatas kertas semata.Â