Latar Belakang
Dua puluh tahun Indonesia sudah lepas dari cengkraman rezim Orde Baru, namun keterwakilan perempuan dan permasalahan kesetaraan gender masih belum merata secara holistik. Rendahnya partisipasi ataupun rendahnya kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh kaum perempuan pun dilarang ketika masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Yang menyebabkan perempuan mengalami pendomestikan politik dan tersubordinasi dalam sistem politik yang patriarki.
Kemudian, diskriminasi sistematis masih terjadi dan kebijakan afirmatif yang belum merata. Dalam konstruksi budaya yang di bentuk dalam masyarakat untuk permasalahan gender pun, perempuan selalu dicap menempati posisi kedua setelah laki-laki. Distribusi dalam pekerjaan pun berbasis jenis kelamin telah menandai adanya stratifikasi gender yang membuat perempuan hanya berkutik di wilayah domestik saja, sedangkan laki-laki di wilayah publik. Lalu, apakah perempuan tidak boleh menduduki tatanan publik ataupun berorganisasi untuk menyuarakan pendapatnya?
Realita yang terjadi ialah organisasi perempuan menurun secara kuantitatif dan kualitatif. Banyak organisasi perempuan di era Orde Lama dibubarkan oleh rezim karena dianggap membahayakan stabilitas pemerintah dan tidak menguntungkan bagi pemerintah. Kemudian, untuk mengganti dan mewujudkan kepentingannya dalam melanggengkan kekuasaan, pemerintah membuat wadah baru untuk perempuan dengan menciptakan organisasi Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Orientasi organisasi ini hanya untuk formalitas belaka, ketimbang  membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Sistem politik Orde Baru di desain sedimikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsu. Pemerintah Orde Baru menggunakan instrumen lembaga negara untuk memasukan nilai dan budaya patriarki pada perempuan, hal ini agar perempuan menjauhi aktivitas politik yang bisa membahayakan rezim.
Setelah Soeharto dengan Orde Barunya turun setelah melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun, reformasi memberikan harapan baru terhadap pergerakan atau organisasi wanita yang fungsinya telah direduksi ketika Orde Baru. Di masa reformasi, gerakan dan kumpulan kelompok perempuan lambat laun hadir di permukaan untuk membangkitkan kembali semangat berorganisasi dan berpolitik untuk mewujudkan kesetaraan yang adil. Lambat laun pasca Orde Baru, organisasi mulai berusaha keluar dari lubang dogma yang dibuat oleh Orde Baru.
Analisis dan Pembahasan
Jatuhnya Indonsia ke rezim soeharto merupakan negara dengan konsep era Orde Baru. Negara Orde Baru adalah sebuah negara yang melanggengkan konsep dwifungsi militer yang bertujuan untuk menopang dan melindungi negara, jika perlu hingga mengorbankan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara dan militer tersebut. Masa periode Orde Baru merupakan masa paling banyak disoroti sebagai periode yang paling tinggi frekuensinya dalam pelanggaran hak asasi manusia dan lunturnya nilai demokrasi.
Dengan kenyataan bahwa penyimpangan tersebut tidak hanya terjadi oleh kaum laki-laki saja, tetapi dalam kenyataannya perempuan juga mengalami sebuah ketidakadilan yang dilakukan di era Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan bentuk kekerasan ataupun ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di dalam rumah tangga sebagai wilayah privat sampai kepada kekerasan yang dipresentasikan negara ke dalam wilayah publik. Untuk mewujudkan negara bebas dari ancaman idelogi kiri, maka muncul kebijakan tumpas kelor. Semua organisasi yang dicap "keluarga komunis", salah satunya organisasi perempuan Gerwani yang telah disiksa dan dikalahkan.
Upaya itu mula-mula dilkukan dengan meniadakan sebuah organisasi yang terkait dengan G30S. Sambil terus mencitrakan dan mengkampanyekan bahwa  perempuan anggota Gerwani ialah kumpulan perempuan cantik tetapi kejam dan amoral. Perempuan yang memiliki suara atau pandangan politik dianggap perempuan banal. Hal itu yang menyurutkan aktivisme yang dilakukan oleh kaum perempuan. Padahal pada masa pemerintahan sebelumnya gerakan perempuan yang diwadahi dengan hadirnya kelompok perempuan sangat berkembang pesat secara baik. Kelompok perempuan pada saat itu sangat homogen, ada yang berafiliasi dengan partai politik, ada yang karena kesamaan agama, maupun kelompok independen yang mempunyai tujuan politik.
Perkembangan ini ditandainya dengan terwujudnya sebuah organisasi wanit PSSI, Muslimat (organisasi perempuan partai masyumi), wanita demokrat (organisasi perempuan PNI), dan Aisyiah (organisasi perempuan muhamadiyah). Kemudian, untuk organisasi gerakan perempuan independen ialah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).Â
Banyaknya organisasi gerakan perempuan terbentuk didasari semangat demokrasi dan kesetaraan gender. Meskipun partisipasi ketika era Orde Lama dalam parlemen hanya dua persen saja, namun dalam gerakan politik, hal ini merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Namun setelah orde baru berkuasa, hadirnya kelompok perempuan yang sudah terorganisir secara baik pun menurun secara intensitas dan kekuatan politik. Banyak organisasi perempuan yang dibubarkan oleh Soeharto, karena dianggap membahayakan stabilitas politik dan tidak menguntungkan bagi pemerintah Orde Baru.
Setelah adanya tendesi yang dibuat oleh rezim Soeharto dengan adanya pembasmian kelompok perempuan, kontrol pemerintah semakin meningkat. Sebuah kongres wanita Indonesia, yaitu Kowani menjadi cikal bakal menjadi pengesahan yang resmi dari pemerintahan. Kowani ditunjuk oleh pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011).
Para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983). Namun, penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompk wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatkan legitimasi resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita. Pertama, wanita sebagai pendamping setia suami. Kedua, wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa. Ketiga, wanita sebagai pendidikan dan pembimbing anak. Keempat, wanita sebagai pengatur rumah tangga. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat berguna.
Perjuangan kaum wanita sudah mati di era Orde Baru, mereka membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya "ikut suami" (Suryakusuma, 2011). Panca Dharma Wanita sangat membatasi pergerakan perempuan dengan adanya domestifikasi dan depolitisasi yang terjadi pada perempuan. Perempuan hanya mengurusi suami, anak, dan rumah tangga. Perempuan sama sekali tidak diberikan ruang untuk menikmati hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga dikenal sebagai patriarki ataupun bapakisme.
Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol ketat oleh pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, dimana keanggotaan organisasi tersebut mengikuti hierarki suami. Dharma Wanita dianggotai para istri pegawai organisasi pemerintah sipil, intinya para istri birokrat. Organisasi Dharma Pertiwi juga merupakan kelompok wanita (istri) para serdadu tentara.
Kumpulan wanita di era Orde Baru terlihat bahwasanya kumpulan tersebut tidak lain sebuah kumpulan yang tidak merdeka sepenuhnya, tidak ada peran perempuan yang signifikan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dalam ranah publik dan privat. Jika melihat strategi-strategi politik pada era Orde Baru yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan, pembentukan kelompok perempuan tersebut tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk menggalangkan dan menjinakkan perempuan agar menjadi bagian dari pendukung Orde Baru.
Orde baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita shingga organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan di era Orde Baru. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi wanita juga harus selaras dengan apa yang ditujukan. Dengan itu, kita bisa melihat bahwa organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan perpolitikkan yang otoriter kala itu. Sulit jika mau melakukan tindakan menentang struktur sosial yang sudah ada, karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Bagi kaum wanita, hal ini menunjukkan hilangnya otonomi secara nyata. Kaum perempuan dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persengkokolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999). Nilai yang dibentuk oleh Orde Baru tentang feminitas adalah bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang mengabdikan dirinya sendiri hanya untuk keperluan domestik. Pembentukan Dharma Wanita tidak lain  digunakan kesempatannya sebagai kaki tangan partai Golongan Karya untuk mendapatkan suara dan dukungan dari kalangan istri birokrat. Dan sesungguhnya kelompok perempuan ini tidak bisa dinilai sebagai organisasi perempuan, mereka hanya dianggap sebagai kelompok ibu-ibu pejabat yang suka dandan dan berkumpul hanya untuk acara seremonial yang tidak penting.
Orde Baru memang membiakan adanya representasi gerakan perempuan sebatas parsipatoris pasif agar tidak militan seperti masa Orde Lama. Pemerintah berhasil menggiring perempuan yang bukan non PNS dan non ABRI untuk masuk ke dalam organisasi PKK untuk menyukseskan program pemerintah. Nasib gerakan perempuan yang seharusnya dilakukan oleh kelompok perempuan tanpa campur tangan pemerintah, alih-alih nasib kelompok perempuan ada di tangan penguasa.
Hal itu tentunya mengaburkan sebuah perjuangan gerakan perempuan. Kelompok perempuan terbelenggu oleh pemerintah yang otoriter, tidak bisa mempengaruhi kebijakan ataupun tidak dibenarkan kelompok perempuan memperjuangkan hak gender dan ideologi politiknya. Kelompok perempuan yang hadir juga tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan.
Peran perempuan hanya sebagai aktor pasif pada era Orde Baru, kaum perempuan hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim militer yang pro-kapitalisme. Disini peran negara hilang sebagai arena pertarungan untuk merebut hak perempuan, tetapi yang dilakukan negara malah sebaliknya. Negara berhasil memanipulasi hak perempuan seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun relitasnya tetaplah koncowingking pendukung politik bapakisme-negara.
Pada masa periode 1980-1998, muncul gelombang kelompok perempuan baru yang memperjuangkan dan merebut kembali hak perempuan yang dihancurkan. Kelompok perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari pengembangan ekonomi, advokasi kekerasa terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk terwakilkan di parlemen.
Di kalangan kelompok studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap di dalam praktik perjuangannya. Pelopor kelompok perempuan untuk melawan otoritarianisme yang dilakukan pemerintah Soeharto ialah Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, yang mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi tenaga kerja perempuan.
Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme, dan kapitalisme. Kelompok perempuan sebelum periode 1980an tetaplah kelompok yang pasif dan tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar dalam perpolitikkan era Soeharto, tetapi ketika sudah memasuki periode yang vital dalam era Orde Baru dan memasuki periode baru, kelompok perempuan mulai memperjuangkan hak pereampuan yang termanifestasi ke dalam isu-isu perempuan guna memobilisasi melawan perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.Â
Di sini negara menjadi arena pertarungan -- antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru. Maka bisa kita lihat bahwa usaha pemerintah Orde Baru untuk menundukkan perempuan dan organisasi perempuan dengan begitu tak sepenuhnya berhasil. Para perempuan berserikat menjadi satu kesatuan, membangun kembali organisasi, dan bersama-sama menentang pemerintahan represif Soeharto.
Kelompok Perempuan Era Reformasi
Setelah jatuhnnya rezim Soeharto, keberadaan kelompok perempuan semakin mendapat tempat. Perjuangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak kaum perempuan yang selama ini telah dipasung oleh pemerintah atas nama kepentingan negara semakin terbuka lebar. Organisasi peempuan terus bermunculan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk yayasan, LSM, ataupun ormas. Melainkan juga dalam bentuk women crisis center dan hotline. Kelompok perempuan Indonesia juga mengadakan sebuah kongres perempuan Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 -- 22 Desember 1998 di Yogyakarta.
Salah satu permasalahan yang diperjuangkan ialah isu melawan kekerasan terhadap perempuan sebagai agenda hak asasi perempuan dan hak perempuan dalam parlemen. Sebab realitas Indonesia dari merdeka hingga saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen. Keterwakilan perempuan juga mulai diwadahi dengan munculnya partai politik dengan sayap organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya, Golkar memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), PKB memiliki Perempuan Kebangkitan Bangsa, PAN memiliki Perempuan Amanat Nasional, dan lain sebagainya.Â
Keberpihakan terhadap kaum perempuan juga ditunjukkan dengan adanya amandemen UUD 1945 dan memuat kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam ranah publik ataupun privat, termasuk dalam bidang hukum dan pemerintahan. Saat pembetukan draft amandemen UUD 1945, organisasi perempuan juga dilibatkan di bawah koordinasi Komite Perempuan untuk perdamaian dan demokrasi. Hal ini diperkuat dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 46, tentang HAM yang menjamin representasi perempuan, baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk permasalahan keterwakilan dalam parlemen, kelompok perempuan mendeklarasikan tindakan afirmatif kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan.
Tindakan afirmatif untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan dicantumkan ke dalam UU Pemilu, walaupun masih banyak kekurangan. Begitu pula di bidang hak asasi perempuan juga memiliki legitimasi negara dengan hadirnya Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan. Dalam era Reformasi, hampir seluruh organisasi perempuan menyuarakan persoalan isu hak perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada produksi legislasi dan anggaran. Agenda kelompok perempuan pun juga tidak ditolak oleh negara bahkan diberikan akses. Hal ini menujukan progresivitas kelompok perempuan dalam negara. Kelompok perempuan pada era ini sudah menjadi aktor aktif yang bisa memuarakan isu-isu perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada legislasi dan anggaran.
Ketika perempuan sudah bisa memperjuangkan hak politiknya dengan munculnya legislasi mengenai representasi perempuan 30 persen dalam parlemen, kuota tersebut masih belum menjanjikan keterwakilan perempuan dan kelompok marjinal. Kuota tersebut juga bukan tujuan kelompok perempuan, melainkan sarana awal untuk politik yang lebih berkeadilan. Politik representasi perempuan diharapkan bisa merangkul semua elemen perempuan agar menghasilkan kebijakan yang adil. Namun, hal ini masih belum tercapai dikarenakan elite politik, baik perempuan ataupun laki-laki, masih terjebak dalam polarisasi politik jangka pendek dan memandang demokrasi sudah dijalankan ketika pemilihan umum sudah dilaksanakan.
Kemudian, Untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar mencapai wilayah publik, harus melalui pintu partai politik sebagai salah satunya mesin politik di Indonesia. Sedangkan, partai politik di Indonesia hanya merekrut kaum perempuan sebatas formalitas belaka. Dunia politik era Reformasi, masih dibayangi oleh budaya maskulinisme yang tinggi. Representasi perempuan Indonesia dalam parlemen hanya pada tahapan asal perempuan saja, tetapi tidak membicarakan tentang bagaimana perempuan itu mau berbuat apa kedepannya agar bisa membuat kebijakan politik yang tidak diskriminasi gender.
Reformasi Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi. Reformasi memang terwujud, tetapi dalam arti politik rekognisi (pengakuan) negara terhadap agenda perempuan dan gerakan perempuan. Pengakuan tersebut belum disertai redistribusi power dan kesejahteraan. Rekognisi yang membentuk wacana dominan ialah hadirnya kuota 30 persen bagi perempuan. Wacana ini yang mendorong banyak perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilu dan ruang politik telah mengakui adanya perempuan.
Tetapi, rekognisi tersebut masih bersifat kuantitatif. Sebab, partisipasi perempuan dimaknai sebatas kehadiran tanpa disertai redistribusi power. Redistribusi power yang seharusnya ialah perempuan mempunyai power untuk mewujudkan pemenuhan kepentingan politik perempuannya. Rekognisi tanpa adanya redistribusi power dan kesejahteraan, belum bermakna sebagai reformasi yang substansial. Karena ini jalan menuju keadilan bagi kelompok perempuan masih berupa harapan.
Perjuangan kelompok ataupun kaum perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu menghapus diskrimasi dan ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan kelompok perempuan tidak dapat dilakukan oleh kelompok perempuan yang sudah hadir saja, melainkan kelompok perempuan harus bisa merangkul perempuan lainnya dalam tingakatan sosial manapun dan melakukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender yang adil.
Selain itu, perjuangan tersebut memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan. Agar perjuangan tersebut bisa terorganisir secara baik dengan adanya arus perubahan yang bergerak secara dinamis. Disamping itu, perjuangan tersebut memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini kehidupan.
Kesimpulan
Masa transisi menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus diawasi dan dibelenggu atas nama kepentingan negara. Salah satu contoh nyata adalah gerakan penghancuran hingga ke akar-akarnya yang dilakukan terhadap Gerwani pada tahun 1965.
Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang "keperempuanan". Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada masyarakat. Hal tersebut tentu melanggengkan budaya patriarki.
Kelompok perempuan ketika masa Orde Baru tidak bisa melakukan perubahan, mereka bukanlah agen yang dapat mengetahui gugus dari struktur yang bisa mereka masuki dan rubah, gugus tersebut antara lain gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Kelompok perempuan tidak seperti kumpulan birokrat ataupun militer yang bisa membawa perubahan ke dalam struktur. Kelompok perempuan tidak bisa melakukan dominasi penguasaan dalam konteks politik maupun ekonomi ataupun mendapat legitimasi dalam tatanan hukum, karena adanya gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi yang miliki oleh pemerintah pada saat itu.
Adanya penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa. Akan tetapi setelah memasuki reformasi, gerakan perempuan sudah keluar dari aturan yang membelenggu dan dogma yang dibuat oleh Orde Baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyak organisasi perempuan yang berdiri dan melakukan kegiatannya.
Walaupun begitu, dengan hadirnya reformasi yang telah mengubah struktur sosial-politik, kelompok perempuan masih menjadi aktor, tetapi menjadi aktor yang berubah dari pasif menjadi aktif. Walaupun adanya tuntutan dari kelompok perempuan yang telah mengeluarkan kebijakan afirmatif, perjuangan perempuan masih berlika-liku untuk mencapai wilayah publik dan masih disepelekan untuk membawa perubahan kepada struktur sosial-politik yang ada.
Daftar Pustaka
Â
Priyono, Herry B. 2003. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Yogyakarta.
Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu. Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H