Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelompok Perempuan Era Orde Baru dan Reformasi

6 April 2019   14:50 Diperbarui: 6 April 2019   15:03 4217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyaknya organisasi gerakan perempuan terbentuk didasari semangat demokrasi dan kesetaraan gender. Meskipun partisipasi ketika era Orde Lama dalam parlemen hanya dua persen saja, namun dalam gerakan politik, hal ini merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Namun setelah orde baru berkuasa, hadirnya kelompok perempuan yang sudah terorganisir secara baik pun menurun secara intensitas dan kekuatan politik. Banyak organisasi perempuan yang dibubarkan oleh Soeharto, karena dianggap membahayakan stabilitas politik dan tidak menguntungkan bagi pemerintah Orde Baru.

Setelah adanya tendesi yang dibuat oleh rezim Soeharto dengan adanya pembasmian kelompok perempuan, kontrol pemerintah semakin meningkat. Sebuah kongres wanita Indonesia, yaitu Kowani menjadi cikal bakal menjadi pengesahan yang resmi dari pemerintahan. Kowani ditunjuk oleh pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011).

Para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983). Namun, penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompk wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatkan legitimasi resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita. Pertama, wanita sebagai pendamping setia suami. Kedua, wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa. Ketiga, wanita sebagai pendidikan dan pembimbing anak. Keempat, wanita sebagai pengatur rumah tangga. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat berguna.

Perjuangan kaum wanita sudah mati di era Orde Baru, mereka membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya "ikut suami" (Suryakusuma, 2011). Panca Dharma Wanita sangat membatasi pergerakan perempuan dengan adanya domestifikasi dan depolitisasi yang terjadi pada perempuan. Perempuan hanya mengurusi suami, anak, dan rumah tangga. Perempuan sama sekali tidak diberikan ruang untuk menikmati hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga dikenal sebagai patriarki ataupun bapakisme.

Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol ketat oleh pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, dimana keanggotaan organisasi tersebut mengikuti hierarki suami. Dharma Wanita dianggotai para istri pegawai organisasi pemerintah sipil, intinya para istri birokrat. Organisasi Dharma Pertiwi juga merupakan kelompok wanita (istri) para serdadu tentara.

Kumpulan wanita di era Orde Baru terlihat bahwasanya kumpulan tersebut tidak lain sebuah kumpulan yang tidak merdeka sepenuhnya, tidak ada peran perempuan yang signifikan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dalam ranah publik dan privat. Jika melihat strategi-strategi politik pada era Orde Baru yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan, pembentukan kelompok perempuan tersebut tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk menggalangkan dan menjinakkan perempuan agar menjadi bagian dari pendukung Orde Baru.

Orde baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita shingga organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan di era Orde Baru. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi wanita juga harus selaras dengan apa yang ditujukan. Dengan itu, kita bisa melihat bahwa organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan perpolitikkan yang otoriter kala itu. Sulit jika mau melakukan tindakan menentang struktur sosial yang sudah ada, karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Bagi kaum wanita, hal ini menunjukkan hilangnya otonomi secara nyata. Kaum perempuan dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persengkokolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999). Nilai yang dibentuk oleh Orde Baru tentang feminitas adalah bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang mengabdikan dirinya sendiri hanya untuk keperluan domestik. Pembentukan Dharma Wanita tidak lain  digunakan kesempatannya sebagai kaki tangan partai Golongan Karya untuk mendapatkan suara dan dukungan dari kalangan istri birokrat. Dan sesungguhnya kelompok perempuan ini tidak bisa dinilai sebagai organisasi perempuan, mereka hanya dianggap sebagai kelompok ibu-ibu pejabat yang suka dandan dan berkumpul hanya untuk acara seremonial yang tidak penting.

Orde Baru memang membiakan adanya representasi gerakan perempuan sebatas parsipatoris pasif agar tidak militan seperti masa Orde Lama. Pemerintah berhasil menggiring perempuan yang bukan non PNS dan non ABRI untuk masuk ke dalam organisasi PKK untuk menyukseskan program pemerintah. Nasib gerakan perempuan yang seharusnya dilakukan oleh kelompok perempuan tanpa campur tangan pemerintah, alih-alih nasib kelompok perempuan ada di tangan penguasa.

Hal itu tentunya mengaburkan sebuah perjuangan gerakan perempuan. Kelompok perempuan terbelenggu oleh pemerintah yang otoriter, tidak bisa mempengaruhi kebijakan ataupun tidak dibenarkan kelompok perempuan memperjuangkan hak gender dan ideologi politiknya. Kelompok perempuan yang hadir juga tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan.

Peran perempuan hanya sebagai aktor pasif pada era Orde Baru, kaum perempuan hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim militer yang pro-kapitalisme. Disini peran negara hilang sebagai arena pertarungan untuk merebut hak perempuan, tetapi yang dilakukan negara malah sebaliknya. Negara berhasil memanipulasi hak perempuan seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun relitasnya tetaplah koncowingking pendukung politik bapakisme-negara.

Pada masa periode 1980-1998, muncul gelombang kelompok perempuan baru yang memperjuangkan dan merebut kembali hak perempuan yang dihancurkan. Kelompok perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari pengembangan ekonomi, advokasi kekerasa terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk terwakilkan di parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun