Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merajut Benang Damai dan Toleransi di Tengah Keberagaman Indonesia

24 Maret 2019   03:10 Diperbarui: 24 Maret 2019   03:47 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial tentu memerlukan individu lain dalam melakukan interaksi sosial. Interaksi ini dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan setiap individu. 

Dalam pelbagai hal, manusia juga diciptakan dengan memiliki keberagaman yang berbeda antara satu sama lain, manusia juga diciptakan Tuhan dengan bermacam-macam perbedaan seperti rasa emosional, sikap, dan cara pandang individu tersebut dalam sesuatu hal. Dengan beragamnya perbedaan tersebut, tentu menciptakan sebuah keberagaman maupun pluralitas di dalam Indonesia itu sendiri.

Pluraitas sendiri mengartikan adanya sebuah kesadaran keberagaman dengan memanifestasikan kehidupan berbangsa ataupun bernegara itu sendiri pada sebuah jalan yang menjunjung hak dan martabat setiap individu. 

Perbedaan akan keberagamaan ini tentu harus dipahami sebuah rahmat dari Tuhan, maka hal itu akan melebur menjadi sebuah integritas yang tinggi dalam satu kesatuaan tanah air dan melahirkan suatu bangsa yang memiliki rasa toleransi dan damai.

Keberagaman suatu negara tentunya memiliki tantangan itu sendiri. Salah satunya, yaitu timbulnya intoleransi dan konflik yang mengandung unsur SARA. Rasa persatuan dan kesatuan yang sudah melekat didalam Indonesia bisa jadi terpecah belah karena munculnya tantangan ataupun hambatan itu sendiri. 

Padahal jika persatuan maupun kesatuan dalam perbedaan itu bisa dijaga, maka keberagaman tersebut bisa menjadi sebuah potensi menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju karena hal keberagaman tersebut. Lalu, apakah timbulnya intoleransi dan konflik yang mengandung unsur SARA ini bisa kita tinggalkan demi mewujudkan rasa perdamaian, rukun, dan toleransi di tengah keberagaman Indonesia?

Demokrasi Berbasis Kerukunan dan Toleransi

Negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Kita tahu bahwasanya negara demokrasi dipahami sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tentunya, sistem demokrasi di negara yang memiliki keberagaman dan kemajemukan dalam agama, budaya, ras, dan lain sebagainya mempunyai suatu tujuan. 

Tujuan demokrasi di Indonesia salah satunya ialah membangun serta mewujudkan kerukunan keberagaman tersebut. Keberagaman ini menghadirkan perbedaan antara suku, agama, ras dan lain sebagainya. Tetapi, tentu saja itu bukanlah menjadi penghalang bagi bangsa Indonesia. 

Dengan sistem demokrasi yang dijalankan berbasis kerukunan maupun toleransi tentunya dapat membantu semua elemen masyarakat dengan latar belakang yang berbeda untuk saling hidup berdampingan, rukun, toleransi, saling menghargai satu sama lain, gotong royong, tanpa adanya konflik ataupun penghinaan karena keberagaman yang hadir di negara Indonesia. Karena tentunya setiap individu memiliki hak asasi manusia yang melekat pada dirinya.

Dalam negara demokrasi, tentunya kita dituntut untuk menghargai hak-hak asasi manusia. Di negara Indonesia sendiri, setiap orang berhak hidup dalam kebebasan, kesetaraan, keadilan serta kemakmuran, lepas dari latar belakang individu tersebut. Tentunya kebebasaan, kesetaraan, keadilan dan kemakmuran tersebut harus sesuai dengan konstitusi yang sudah ditegakkan di negara ini dan tentunya tanpa melupakan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan hadirnya pancasila maupun konstitusi tersebut, tentunya sebagai warga negara Indonesia, kita dituntut untuk menjadi individu yang memprioritaskan toleransi, menyebarluaskan cinta dan kasih, memperkuat persaudaraan, dan menumbuhkan rasa aman, nyaman, tentram serta damai dalam kehidupan sehari-hari.

Menjalani kehidupan dengan menghargai perbedaan membentuk kita menjadi pribadi yang memiliki rasa perdamaian di dalam lubuk hati kita. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas pun di dalam kehidupan kita. Karena kita semua sama dan layak untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya ialah desa di Jember, Jawa Timur, yang menggetarkan hati dan bisa menjadi salah satu contoh, yaitu desa toleransi. Desa toleransi ini terletak di ujung timur Pulau Jawa. 

Desa ini bernama Sukerono, desa ini dihuni oleh warga yang beragama islam, kristen, katolik, dan hidup. Rasa toleransi sangat kuat dan hidup disana. Salah satu manifestasi kerukunan dan toleransi di Sukoreno ialah terlihat dari bangunan rumah ibadah yang berdiri berdampingan. Hal menarik dari desa ini ialah para warga disana saling gotong royong untuk membersihkan tempat ibadah. 

Warga desa tersebut tidak memandang tempat ibadah milik siapa atau beragama apa. Meski cara tersebut terlihat sederhana, tetapi cara ini mampu merukunkan dan menghadirkan rasa perdamaian serta toleransi warga dalam berkehidupan sehari-hari.

Membangun Kembali Perdamaian dan Toleransi Di Elemen Masyarakat

Indonesia adalah Negara Bhinekka. Kebhinnekaan tersebut tentunya terdapat dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Semboyan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. 

Keberagaman yang hadir dalam jumlah kuantitas kurang lebih Indonesia memiliki 700 suku bangsa yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, tentunya dengan tipologi masyarakat yang berbeda, pakaian adat, rumah adat, kesenian, bahasa daerah, adat istiadat yang beraneka ragam. 

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan memiliki sebuah karakteristik yang unik dan hal tersebut lah yang menjadi modal utama setiap elemen masyarakat kita dalam menjaga perdamaian, toleransi, kerukunan, kerahmonisan dan kesatuan. Tetapi, tentu saja keberagaman yang hadir di masyarakat Indonesia ini sering sekali terjadi gesekan ataupun konflik. 

Rasa intoleransi hadir bagi mereka yang tidak bisa menerima keberagaman tersebut dan bisa membuat Indonesia menjadi bangsa yang terpecah belah. Maka dari itu, membangun kembali perdamaian dan toleransi bukanlah hal yang mudah. Membangun hal tersebut diartikan sebagai upaya menata maupun menguatkan kembali norma ataupun nilai perdamaian yang tertanam di masyarakat. Membangun kebijakan-kebijakan sosial yang ada di masyarakat seperti rasa saling percaya, kearifan, kekerabatan, kekeluargaan, dan kerjasama. Dengan demikian, membangun kembali perdamaian memiliki tujuan untuk menyinergikan antara proses rekonsiliasi yang telah dilakukan pemerintah ataupun masyarakat itu sendiri.

Menurut Komnas Hak Asasi dan Manusia, pengaduan mengenai peristiwa dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat tinggi. Pada tahun 2010, Komnas Hak Asasi dan Manusia mendapatkan 84 laporan pengaduan yang terdiri dari peristiwa perusakan, penyegelan tempat ibadah, kekerasan terhadap umat beragama, dan lain sebagainya. Tentuya, masih banyak lagi peristiwa yang menimbulkan keresahan dan intoleransi di dalam berkehidupan. Banyak pertanyaan muncul mengenai keabsahan mengenai bhineka tunggal ika yang selama ini menjadi semboyan negara kita. Deretan kasus HAM mengenai intoleransi tersebut menjadi salah satu bukti konkret belum sepenuhnya ditegakkan rasa toleransi, kerukunan, dan perdamaian secara holistik. Tentu sebagai warga negara Indonesia, kita perlu melakukan upaya penanggulan intoleransi untuk menciptakan perdamaian dan toleransi di tengah keberagaman Indonesia. Tetapi, dalam menciptakan perdamaian ini tentunya memiliki tantangan ataupun kesenjangan yang disebabkan seperti lemahnya pencapaian perdamaian antara kedua pihak atau kesepakatan perdamaian yang dicapai, lemahnya kelembagaan pembangunan perdamaian yang ada di masyarakat, dan beratnya konflik yang dihadapi. Contohnya, ialah perjanjian Malino dan pengimplementasian janji tersebut dalam kasus Maluku Utara dan Poso, Sulawesi Tengah. Sedalam mana secara substansial perjanjian damai yang sudah disepakati mampu menjawab konflik yang ada dan mewujudkan perdamaian di masyarakat. Hal ini sangatlah penting untuk dikaji berguna untuk konflik tersebut agar tercapai konsolidasi perdamaian yang berjangka panjang yang berbasis kepercayaan pasca konflik. Jika tidak tercapai sebuah konsolidasi perdamaian, bisa terjadi krisis kepercayaan antar masyarakat yang nantinya bisa menimbulkan segregasi sosial.

Keberagaman maupun semboyan negara Indonesia terus dibuat goyah dengan maraknya konflik SARA yang mulai muncul di dalam masyarakat. Tentu diperlukan upaya untuk mempromosikan sikap toleransi dan perdamaian. Upaya ini sangat penting untuk melawan perilaku dan sikap intoleran yang terus mengalir dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Kunci dalam melawan intoleransi membutuhkan hukum. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentunya harus mengambil keputusan untuk menciptakan hukum yang melarang intoleransi ataupun konflik yang berbau SARA. Untuk menghadapi keresahan ini, pemerintah harus berani untuk bertindak tegas tanpa diskriminasi dalam menegakan hukum mengenai perkara yang mulai menjamur di masyarakat Indonesia dengan mengingat sudah seharusnya nilai pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur dengan menerapkan prinsip equality before the law.

Bagaimanapun Indonesia dibangun dengan landasan Pancasila dan UUD 1945 yang memberikan jaminan perlindungan terhadap semua warga negara dalam berkehidupan. Pancasila juga hadir tentunya dalam menjelaskan eksistensinya untuk menghargai perbedaan yang ada di masyarakat. Perilaku intoleran ini tentunya lahir dari penolakan dan ketakutan serta atas ketidakpahaman seseorang dalam menyikapi keberagaman ataupun perbedaan yang hadir di masyarakat. Ketidakpahaman atas keberagaman tersebut membawa individu tersebut untuk bersikap arogan, intoleran, dan melebihkan individu tersebut ataupun kelompoknya. Maka dari itu, diperlukan pendidikan yang mengajarkan individu untuk menjadi warga negara yang memiliki pandangan terbuka dan menghargai perbedaan yang ada. Pendidikan ini sudah seharusnya ditanamkan sejak dini, karena jika tidak, bibit intoleransi bisa tertanam dan tentunya hal tersebut bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peran keluarga, sekolah, pemukau agama dan pemerintah sangatlah penting dan dibutuhkan untuk menghadirkan rasa toleransi agar bibit perilaku intoleran tersebut tidak muncul dalam benak individu tersebut.

Pendidikan Multikultural Untuk Kebaikan Bersama

Keluarga, terutama orang tua, sangatlah berperan dalam proses sosialisasi maupun pembentukan karakter setiap individu. Keluarga menjadi komunitas awal dan utama untuk mengembangkan sikap dan perilaku toleransi, damai, rukun dan lain sebagainya antara suku, agama dan ras. Setelah itu, peran sekolah menjadi salah satu wadah setiap individu untuk belajar dan bersosialisasi. Pendidikan di dalam sekolah selama ini hanya berdasarkan teks ataupun tulisan saja, jarang sekali sekolah yang mengimplementasikan nilai untuk menghargai keberagaman yang ada. Maka dari itu, sangatlah penting bagi setiap sekolah untuk mampu menanamkan adab menjadi warga negara yang baik, menghargai perbedaan, dan menyadari bahwa kita merupakan satu kesatuan yang berintegritas. Rasa satu kesatuan bangsa Indonesia tentunya dapat terwujud karena adanya pengimplementasian sikap dan perilaku toleransi yang dilakukan setiap individu untuk mencapai sebuah kebaikan bersama.

Pendidikan yang hadir di Indonesia sangatlah banyak. Ada pendidikan mengenai pancasila dan kewarganegaraan. Pendidikan yang juga turut hadir salah satunya adalah pendidikan multikultural. Pendidikan ini dirancang untuk menghasilkan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik demi mencipatakan kebaikan bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Pendidikan multikultural merupakan salah satu proses penanaman gaya hidup untuk saling menghormati satu sama lain, tulus, toleran, rukun, dan damai di tengah keberagaman Indonesia. Dengan pendidikan multikultural ini, diharapkan adanya fleksibilitas mental bangsa dalam mengahadapi sebuah benturan ataupun konflik sosial. Sehingga persatuan bangsa tidak akan mudah patah maupun retak. (Musa Asy'arie, Kompas, 2003). Untuk melahirkan bangsa yang berkehidupan harmonis, toleransi, dan mencintai perdamaian serta menghargai perbedaan yang hadir di masyarakat. Pendidikan multikultural ini tentu membutuhkan tiga hal vital, yaitu kompromi, negosiasi, dan konsesus. (M. Amin Abdullah, 2005). Keterlibatan tiga hal tersebut adalah munculnya perasaan empati maupun simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, gender, hak mayoritas dan minoritas. Semuanya harus dapat mengekspresikan budaya multikultural dan multireligius sebagai manifestasi kehidupan yang masyarakat yang damai dan toleransi. Maka dari itu, diperlukan equality dalam masyarakat multikultural. Jika tidak, maka tidak mustahil jika terjadi kekerasan dan konflik yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia.

Kesimpulan

Timbulnya intoleransi dan konflik yang mengandung unsur SARA ini bisa kita tinggalkan demi merajut benang perdamaian dan toleransi di tengah keberagaman Indonesia. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mempersatukan Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki keharmonisan maupun kerukunan. Salah satunya dengan menghargai hak-hak asasi manusia yang dimiliki setiap individu dan perbedaan yang ada. Perbedaan yang hadir di tengah keberagaman Indonesia ini bukan menjadi penghalang Indonesia menjadi negara yang utuh dalam satu kesatuan. Bagi mereka yang ingin memecahbelahkan NKRI dengan membawa kepentingan individu ataupun kelompok, sudah sepatutnya kita sebagai warga negara Indonesia melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi konflik yang diinginkan dengan tujuan memecahbelah NKRI. Dalam hal ini, pemerintah juga harus memainkan perannya sebagai pembuat kebijakan untuk menanggulangi hal yang berbau intoleransi dengan supremasi hukum yang ada tanpa melupakan prinsip equality before the law. Dan, sudah sepatutnya kita memainkan peran penting dalam menjaga dan melestarikan keharmonisan yang sudah dibangun susah payah oleh para pahlawan kita di zaman pra maupun pasca kemerdekaan. Jangan lah, kita menjadi individu yang ingin menegakkan kepenting sendiri ataupun kelompok dengan memiliki tujuan terselubung untuk memecahbelah NKRI dan menyebarkan rasa intoleransi di masyarakat. Tentunya juga, pelestarian keberagaman tersebut sudah seyogyanya dimulai dari dini untuk mencegah hal-hal yang berbau unsur diskriminasi terhadap perbedaan melalui pendidikan yang berbasis multikultural demi mencipatakan kebaikan bersama untuk menjaga utuh satu kesatuan Indonesia. Penulis berharap semoga tulisan ini memberikan pandangan baru bagi pembaca yang mana pemaparan ini sangat jauh dari kata sempurna. Sehingga masukan berupa koreksi dan saran yang diterima akan sangat berguna bagi penulis untuk terus memperbaiki kualitas tulisan-tulisannya.

Daftar Pustaka

Amin Abdullah, "Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan Interest Minimalization dalam Meredakan Konflik Sosial" dalam Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Musa Asy'arie, "Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa" dalam Kompas, 2003.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun