Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merajut Benang Damai dan Toleransi di Tengah Keberagaman Indonesia

24 Maret 2019   03:10 Diperbarui: 24 Maret 2019   03:47 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam negara demokrasi, tentunya kita dituntut untuk menghargai hak-hak asasi manusia. Di negara Indonesia sendiri, setiap orang berhak hidup dalam kebebasan, kesetaraan, keadilan serta kemakmuran, lepas dari latar belakang individu tersebut. Tentunya kebebasaan, kesetaraan, keadilan dan kemakmuran tersebut harus sesuai dengan konstitusi yang sudah ditegakkan di negara ini dan tentunya tanpa melupakan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan hadirnya pancasila maupun konstitusi tersebut, tentunya sebagai warga negara Indonesia, kita dituntut untuk menjadi individu yang memprioritaskan toleransi, menyebarluaskan cinta dan kasih, memperkuat persaudaraan, dan menumbuhkan rasa aman, nyaman, tentram serta damai dalam kehidupan sehari-hari.

Menjalani kehidupan dengan menghargai perbedaan membentuk kita menjadi pribadi yang memiliki rasa perdamaian di dalam lubuk hati kita. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas pun di dalam kehidupan kita. Karena kita semua sama dan layak untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya ialah desa di Jember, Jawa Timur, yang menggetarkan hati dan bisa menjadi salah satu contoh, yaitu desa toleransi. Desa toleransi ini terletak di ujung timur Pulau Jawa. 

Desa ini bernama Sukerono, desa ini dihuni oleh warga yang beragama islam, kristen, katolik, dan hidup. Rasa toleransi sangat kuat dan hidup disana. Salah satu manifestasi kerukunan dan toleransi di Sukoreno ialah terlihat dari bangunan rumah ibadah yang berdiri berdampingan. Hal menarik dari desa ini ialah para warga disana saling gotong royong untuk membersihkan tempat ibadah. 

Warga desa tersebut tidak memandang tempat ibadah milik siapa atau beragama apa. Meski cara tersebut terlihat sederhana, tetapi cara ini mampu merukunkan dan menghadirkan rasa perdamaian serta toleransi warga dalam berkehidupan sehari-hari.

Membangun Kembali Perdamaian dan Toleransi Di Elemen Masyarakat

Indonesia adalah Negara Bhinekka. Kebhinnekaan tersebut tentunya terdapat dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Semboyan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. 

Keberagaman yang hadir dalam jumlah kuantitas kurang lebih Indonesia memiliki 700 suku bangsa yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, tentunya dengan tipologi masyarakat yang berbeda, pakaian adat, rumah adat, kesenian, bahasa daerah, adat istiadat yang beraneka ragam. 

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan memiliki sebuah karakteristik yang unik dan hal tersebut lah yang menjadi modal utama setiap elemen masyarakat kita dalam menjaga perdamaian, toleransi, kerukunan, kerahmonisan dan kesatuan. Tetapi, tentu saja keberagaman yang hadir di masyarakat Indonesia ini sering sekali terjadi gesekan ataupun konflik. 

Rasa intoleransi hadir bagi mereka yang tidak bisa menerima keberagaman tersebut dan bisa membuat Indonesia menjadi bangsa yang terpecah belah. Maka dari itu, membangun kembali perdamaian dan toleransi bukanlah hal yang mudah. Membangun hal tersebut diartikan sebagai upaya menata maupun menguatkan kembali norma ataupun nilai perdamaian yang tertanam di masyarakat. Membangun kebijakan-kebijakan sosial yang ada di masyarakat seperti rasa saling percaya, kearifan, kekerabatan, kekeluargaan, dan kerjasama. Dengan demikian, membangun kembali perdamaian memiliki tujuan untuk menyinergikan antara proses rekonsiliasi yang telah dilakukan pemerintah ataupun masyarakat itu sendiri.

Menurut Komnas Hak Asasi dan Manusia, pengaduan mengenai peristiwa dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat tinggi. Pada tahun 2010, Komnas Hak Asasi dan Manusia mendapatkan 84 laporan pengaduan yang terdiri dari peristiwa perusakan, penyegelan tempat ibadah, kekerasan terhadap umat beragama, dan lain sebagainya. Tentuya, masih banyak lagi peristiwa yang menimbulkan keresahan dan intoleransi di dalam berkehidupan. Banyak pertanyaan muncul mengenai keabsahan mengenai bhineka tunggal ika yang selama ini menjadi semboyan negara kita. Deretan kasus HAM mengenai intoleransi tersebut menjadi salah satu bukti konkret belum sepenuhnya ditegakkan rasa toleransi, kerukunan, dan perdamaian secara holistik. Tentu sebagai warga negara Indonesia, kita perlu melakukan upaya penanggulan intoleransi untuk menciptakan perdamaian dan toleransi di tengah keberagaman Indonesia. Tetapi, dalam menciptakan perdamaian ini tentunya memiliki tantangan ataupun kesenjangan yang disebabkan seperti lemahnya pencapaian perdamaian antara kedua pihak atau kesepakatan perdamaian yang dicapai, lemahnya kelembagaan pembangunan perdamaian yang ada di masyarakat, dan beratnya konflik yang dihadapi. Contohnya, ialah perjanjian Malino dan pengimplementasian janji tersebut dalam kasus Maluku Utara dan Poso, Sulawesi Tengah. Sedalam mana secara substansial perjanjian damai yang sudah disepakati mampu menjawab konflik yang ada dan mewujudkan perdamaian di masyarakat. Hal ini sangatlah penting untuk dikaji berguna untuk konflik tersebut agar tercapai konsolidasi perdamaian yang berjangka panjang yang berbasis kepercayaan pasca konflik. Jika tidak tercapai sebuah konsolidasi perdamaian, bisa terjadi krisis kepercayaan antar masyarakat yang nantinya bisa menimbulkan segregasi sosial.

Keberagaman maupun semboyan negara Indonesia terus dibuat goyah dengan maraknya konflik SARA yang mulai muncul di dalam masyarakat. Tentu diperlukan upaya untuk mempromosikan sikap toleransi dan perdamaian. Upaya ini sangat penting untuk melawan perilaku dan sikap intoleran yang terus mengalir dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Kunci dalam melawan intoleransi membutuhkan hukum. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentunya harus mengambil keputusan untuk menciptakan hukum yang melarang intoleransi ataupun konflik yang berbau SARA. Untuk menghadapi keresahan ini, pemerintah harus berani untuk bertindak tegas tanpa diskriminasi dalam menegakan hukum mengenai perkara yang mulai menjamur di masyarakat Indonesia dengan mengingat sudah seharusnya nilai pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur dengan menerapkan prinsip equality before the law.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun