Oleh: Marsuki
(Dosen Fak. Ekonomi-PPs. Unhas)
Bangsa Indonesia adalah bangsa beruntung, karena saat kemerdekaannya telah ada dasar ideologis, filosofis, termasuk norma-norma kerangka praktis UU ekonomi bangsanya. Sayang, dalam perjalanan kemerdekaan RI yang mencapai usia 70 tahun, dengan pergantian beberapa rezim pemerintahan, tampaknya nilai, norma dan paradigma ekonomi yang diterapkan masih jauh panggang dari api. Sehingga cita-cita ekonomi kebangsaan RI, yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia, material dan non material secara adil dan merata belum dan sulit tercapai.
Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya kita rakyat negeri ini harus mulai sadar dan berusaha berbuat sesuatu agar sistem ekonomi kebangsaan yang telah termuat dalam UUD 1945 dapat dilaksanakan, jadi bukan hanya dijadikan sekadar slogan jualan politik saat pemilu. Dalam kaitan itu, berikut diuraikan secara garis besar mekanisme praktis sistem ekonomi kebangsaan yang dimaksud.
Pertama, hal pokok yang diperlukan adalah ada seorang pemimpin bangsa yang paham, mengerti dan rela berkorban untuk melaksanakan rencana kerjanya secara sungguh sungguh, konsekuen, terstruktur bahkan berprilaku revolusioner, agar UU ekonomi kebangsaan RI seperti termuat dalam UUD 1945 dapat dilaksanakan.
Dalam skhema ini, hal utama yang perlu ditekankan, pemerintah mewakili kepentingan negara harus mempunyai peran strategis dan menentukan dalam membuat regulasi yang baik dan tidak memihak secara langsung atau tidak, sehingga komponen penentu sistem ekonomi dapat berjalan secara efisien, efektif dan harmonis. Utamanya perlu melakukan pengaturan pemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber daya ekonomi bangsa sehingga dapat teralokasi dengan tepat dan rasional. Kemudian, menetapkan norma umum yang dikoordinir oleh sebuah lembaga yang kredibel, misalnya KPPU, sehingga dapat berfungsi dan berperannya lembaga-lembaga ekonomi yang ada, terutama lembaga ekonomi nasional, usaha swasta, koperasi dan BUMN/BUMD, atau lembaga ekonomi asing - selama memberi sumbangsih dalam pembangunan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kedua, dalam perspektif tersebut, maka nilai-nilai sistem ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi pasar liberal yang mengutamakan nilai individualisme, egoisme, apalagi kerakusan harus ditinggalkan, seperti yang berlaku selama ini. Karena ternyata sistem ekonomi pasar bebas demikianlah yang menyebabkan penguasaan, kepemilikan dan pengusahaan sumberdaya ekonomi bangsa hanya dikuasai oleh pribadi, dan kelompok tertentu bahkan asing, secara berlebihan, sehingga masalah ekonomi utama, alokasi, proses peroduksi, konsumsi dan distribusi mengalami problematika yang serius. Akibatnya, masyarakat kebanyakan hanya memperoleh sebahagian kecil manfaat dari hasil pembangunan yang dilakukan pemerintah meskipun mengaku melaksanakan kebijakan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Jelas sesuatu yang ironis, karena apalah artinya ada pemerintah terpilih oleh rakyat, ternyata tidak berfungsi melaksanakan tugasnya, karena kekuasaannya justru diatur atau diarahkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap segala sumber daya ekonomi bangsa ini.
Ditengarai beberapak pihak kritis, hal tersebut terjadi diantaranya karena aturan yang dibuat pemerintah bersama pihak legislatif, telah memberi ruang dan bahkan melindungi pihak tertentu yang berkepentingan, melalui undang-undang, dan peraturan teknis karena diperkirakan dapat dipesan. Akibatnya, lembaga ekonomi yang ada berjalan dalam koridor mekanisme persaingan bebas yang tidak terkendali, sehingga menafihkan nilai-nilai prinsip demokrasi ekonomi Indonesia, yaitu kebersamaan, kekeluargaan dan musyawarah-mufakat.
Dunia usaha swasta yang ada melakukan bisnis bersaing dengan menghalalkan segala cara, umumnya meninggalkan norma, etika bisnis yang benar, jadi siapa yang kuat dia berhak menguasai, walaupun itu wilayah milik masyarakat banyak. Koperasi yang diharap menjadi soko guru ekonomi komunitas masyarakat marjinal khususnya, ternyata hanya menjadi lembaga ekonomi yang dibangun dalam pola birokrasi yang tidak efisien, sehingga tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Yang ironis, BUMN/BUMD sektor keuangan atau bukan, yang diharap sebagai lembaga penyeimbang bagi lembaga lembaga ekonomi yang ada dan menjadi lembaga ekonomi perantara yang dapat menjamin alokasi, produksi, konsumsi dan distribusi atas sumber daya ekonomi bangsa, dapat dirasakan manfaatnya sebanyak banyaknya untuk masyarakat banyak, ternyata juga dijalankan dalam spirit entitas bisnis swasta, bahkan terkadang melebihi perilaku usaha swasta. Mereka mempunyai hak monopoli yang tidak wajar akibat regulasi pemerintah, tapi ternyata umumnya tidak memihak kepada usaha kepentingan rakyat banyak. Sehingga fungsinya yang diamanatkan UU sebagai agen pembangunan hanya sebagai simbol jualan politik praktis para pelakunya. Akibatnya, masyarakat banyak tidak memperoleh manfaat dari keterlibatan entitas bisnis negara tersebut, padahal modal dan sumber dayanya adalah milik negara/rakyat.
Kemudian yang sulit diterima akal, status entitas bisnis asing, ternyata dengan sistem ekonomi yang diberlakukan, pemerintah memberi ruang yang sangat bebas terlibat dalam perekonomian nasional sehingga kemudian mereka dapat menguasai segala sumber daya dan potensi di banyak sector ekonomi produktif negara/rakyat Indonesia. Misalnya, saat ini sektor keuangan nasional kita sudah dikuasai pihak asing lebih dari 50 persen melalui beberapa lembaga keuangan, akibat begitu liberalnya aturan batasan pemilikan dan pengusahaan pihak asing atas lembaga keuangan di Indonesia.
Sehingga, pertanyaanya, apakah memang sistem ekonomi seperti itu yang diharapkan para pendiri bangsa ini? Tentu saja dengan memahami makna yang tersirat dalam UUD 1945 dan Pancasila, maka secara tegas harus dijawab bahwa bukan sistem ekonomi seperti yang terjadi selama ini yang diharapkan para pendiri dan rakyat bangsa ini.
Ketiga, secara sederhana mekanisme kerja praktis sistem ekonomi yang diharapkan sesuai amanat UU ekonomi kebangsaan RI, untuk pembangunan Indonesia, landasan moral praktiknya telah di kemukakan oleh Hatta, salah seorang founding fathers RI. Mohammad Hatta, menegaskan bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat berlangsung jika negara didasarkan pada system demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berbasis kerakyatan dan berasas kebersamaan serta kekeluargaan. Sehingga arti pembangunan dalam perspektif Hatta meliputi: Pembangunan ekonomi harus bersifat spritual yang berlandaskan pada nilai moral dan keagamaan, jadi bukan hanya kepentingan materialisme semata; sehingga tidak ada praktik pemerasan dan eksploitasi antar pelaku ekonomi; kemudian perekonomian harus tunduk pada sistem pengaturan oleh negara sesuai asas kekeluargaan dan kebersamaan demi kepentingan persatuan bangsa; dan pengaturan dilaksanakan sesuai sistem politik demokrasi kerakyatan berdasar asas musyawarah dan mufakat oleh pemerintah dan parlemen; dimana tujuannya untuk semuanya kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil.
Jadi Hatta menekankan perlu adanya peran negara atau pemerintah secara aktif dalam proses pelaksanaan pembangunan melalui mekanisme perencanaan yang demokratis berasas kebersamaan dan kerakyatan. Mekanisme pasar dan persaingan antar pelaku ekonomi tetap diakui namun pemerintah diberi kewenangan untuk mengendalikan persaingan dan pasar tersebut agar tetap dapat berlangsung secara pantas (fairness) sehingga persaingan tidak merusak atau menghilangkan asas kekeluargaan dan kebersamaan dalam perekonomian nasional. Saat ini kewenangan tersebut dapat diserahkan dan dikorodinir oleh lembaga independen yang telah dibentuk, yaitu KPPU misalnya.
Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena dalam prakteknya, prinsip mekanisme pasar tidak akan pernah berjalan sesuai harapan dalam mengalokasi sumber daya dan distribusi hasil produksi secara merata, sehingga peran pemerintah harus tegas bertindak sebagai regulator. Kemudian, karena pasar selalu gagal dalam proses produksi dan konsumsi, maka pemerintah diharapkan dapat menjadi pelaku ekonomi aktif sebagai produsen atau konsumen agar terjadi efektifitas dan efisien dalam proses produksi dan konsumsi dalam perekonomian; dan akhirnya karena perekonomian selalu berhadapan dengan ketidakpastian maka pemerintah harus berperan sebagai stabilisator untuk menciptakan stabilitas perekonomian.
Berdasarkan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan Pancasila, maka praktik mekanisme penyusunan rencana pembangunan secara garis besarnya dapat dilakukan dengan membuat pemetaan keterkaitan antara empat aspek utama, yaitu pemenuhan hajat hidup orang banyak, sumber daya alam atau bukan, penggunaan faktor produksi utama, yaitu modal dan teknologi, terutama dalam kaitannya dengan peran para pelaku-pelaku ekonomi yang akan terlibat. Dari padanya maka akan dapat disusun kebijakan atau aturan-aturan pemerintah yang akan dilaksanakan, dengan cara intervensi tidak langsung berupa regulasi terhadap sumber daya dan pelaku usaha swasta dan koperasi, atau/dan intervensi secara langsung melalui BUMN/BUMD.
Dalam model sederhananya, dapat diuraikan seperti berikut. Satu, sektor usaha yang dikategori strategis karena produknya diperuntukkan untuk hajat masyarakat banyak, dimana proses produksinya sangat tergantung kepada sumber daya alam, dan mempunyai potensi merusak lingkungan, seperti pertambangan energy, irigasi dan pelabuhan. Maka pelaku ekonomi utamanya seharusnya BUMN/BUMD, dan dalam batas tertentu dapat bekerjasama dengan pihak swasta nasional khususnya, yang memiliki kemampuan pengolahan teknologi tinggi dan mempunyai modal. Tetapi peran pemerintah dominan dalam mengaturnya. Tujuannya, agar dapat terjadi pemerataan dan pelindungan terhadap lingkungan. Sector startegis kedua yang dikategori sebagai sector yang memenuhi hajat masyarakat banyak, tapi tidak ada risiko terhadap kerusakan lingkungan, seperti sector perumahan, kesehatan, pedidikan, dan industry persenjataan, termasuk pertanian, maka pelaku utamanya BUMN/BUMD, juga usaha swasta, namun perannya dibatasi dalam rangka menghindari kegagalan pasar dan untuk efisiensi.
Sektor ketiga, sektor yang tidak terlalu terkait dengan kebutuhan hajat hidup rakyat banyak, tapi berpotensi merusak lingkungan, seperti hasil pertambangan non-energi, kertas, kimia dan industry pengolahan kayu. Maka pihak swasta dapat berperan sebagai pelaku utama, karena aktivitas ekonomi tersebut memerlukan modal dan tekhnologi tinggi, dimana BUMN/BUMD dan koperasi dapat menjadi agen pembangunan yang bertugas untuk menjaga kerusakan alam sekaligus pemerataan. Akhirnya sector usaha keempat, yang hasil produksinya bukan untuk hajat hidup orang banyak dan tidak besar potensinya merusak lingkungan, seperti produk elektronik, otomotif misalnya, maka pelaku utamanya usaha swasta menegah dan besar, yang mempunyai modal dan teknologi, juga termasuk UMKM dan koperasi, sedangkan BUM/BUMD berperan untuk melindungi koperasi dan UMKM sehingga mereka tidak diperlakukan tidak adil.
Akhirnya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip system ekonomi yang didasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, pada dasarnya dapat dilaksanakan secara baik, tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar mekanisme pasar yang ada, selama pemerintah melaksanakan kebijakan pembangunannya secara berencana dan konsekuen. Oleh karena itu, agar pembangunan ekonomi bangsa ini dapat mencapai tujuaan sesuai amanat kemerdekaan RI, yaitu tercapainya kehidupan masyarakat yang sejahtera yang adil dan merata dapat terlaksana maka sebaiknya pemerintah perlu kembali mempelajari dan terutama mempraktekkan system ekonomi yang sudah ada dasar pijak ideologis dan praktiknya sejak Indonesia merdeka.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H