Belakangan ini, timbul beragam keputusan dari pemerintah yang mengejutkan masyarakat. Salah satunya adalah wacana untuk mengadakan pendidikan militer di perguruan tinggi. Hal tersebut sontak membuat masyarakat bergidik ngeri dalam sekejap.
Bercermin dari Negeri Ginseng
Kementrian Pertahanan Republik Indonesia mengusulkan penerapan pendidikan militer kepada mahasiswa selama satu semester. Wakil Menhan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan telah menjalankan kerjasama dengan Kemendikbud terkait dengan hal tersebut (Ramadhan, 2020).Â
Beberapa negara sudah sangat lumrah dengan pendidikan militer. Salah satunya adalah Korea Selatan. Seperti yang ramai dibicarakan, seluruh warga laki-laki di Korea Selatan yang berumur 18 hingga 28 tahun diwajibkan melaksanakan pendidikan militer selama kurang lebih 2 tahun lamanya (Ulfa, 2019).
Jika Korea Selatan mengadakan wajib militer untuk mempertimbangkan situasi keamanan pasca terpecahnya semenanjung Korea (Ulfa, 2019), lalu apa urgensi Indonesia dalam mengadakan pendidikan militer di tingkat kampus?
Urgensi Wajib Militer di Masa Lampau
Sebelum ramai dibahas, Indonesia pernah melaksanakan beberapa kali wajib militer di masa lampau, terutama pada zaman pra-kemerdekaan.
Mengutip Marsella dan Badaria (2015), ada beberapa urgensi dalam menetapkan wajib militer di masa lampau antara lain dasar hukum, alasan kondisi geografis, pembangunan karakter, serta kekuatan pertahanan negara danKeempat urgensi tersebut memudar seiring dengan berjalannya waktu. Setelah 75 tahun merdeka, masih perlukah pendidikan militer di tingkat kampus untuk meningkatkan rasa cinta tanah air?
Kekhawatiran Masyarakat
Berbicara mengenai rasa khawatir di masyarakat, tidak dapat terlepas dari pelanggaran HAM di masa lalu. Sejarah perselisihan antara masyarakat sipil dan militer mengakibatkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat.
Sebelum mencuatnya berita di media mengenai pendidikan militer, Indonesia telah ditekan oleh keadaan di masa pandemi. Alih-alih menenangkan masyarakat, berita tersebut justru membuat masyarakat resah.
Adanya kontradiksi dari keputusan yang satu dengan yang lainnya menimbulkan keraguan. Kondisi ini dinilai belum relevan karena tidak memiliki urgensi yang cukup. Terlebih jika menimbulkan kontradiksi dengan slogan "Kampus Merdeka" dari Kemendikbud.
Di sisi lain, masyarakat masih berlomba-lomba mendaftarkan diri demi mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Daripada mengeluarkan dana lebih untuk pendidikan militer, akan lebih  baik jika dana tersebut digunakan sebagai social safety net bagi masyarakat yang kurang mampu.
Cara Lain Cinta Negeri
Perlu diingat bahwa kebijakan ini belum disahkan. Wacananya, pendidikan militer tersebut tidak diwajibkan (Kamil & Erdianto, 2020). Di lain hal, wujud mencintai negeri dapat dilakukan melalui berbagai cara.
Ketika pemerintah melihat adanya kekurangan (di masyarakat) perihal kecintaan pada negeri, masyarakat juga perlu berbenah diri. Seperti yang telah diketahui, bahwa menjalankan sebuah negara bukan pekerjaan seorang diri.
Oleh karena itu, ketimbang terus menerus mengarahkan salah ke pemerintah, ada baiknya untuk melihat ke dalam diri masing-masing dan berefleksi. Sudahkah wujud cinta Indonesia dipantaskan oleh masyarakatnya? [MLN]
Further Readings
Kamil, I., & Erdianto, K. (2020). Wamenhan: Pendidikan Bela Negara Bukan Pendidikan Militer. Jakarta: KOMPAS.com.
Marsella, R., & Badaria, P. H. (2015). Penerapan Wajib Militer di Indonesia. Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 2, No 2, 1-13.
Ramadhan. (2020). Polemik Rencana Pendidikan Militer Mahasiswa Selama Satu Semester. Jakarta: Asumsi.co.
Ulfa, M. (2019). Alasan Korea Selatan Berlakukan Wajib Militer pada Warga Laki-laki. Tirto.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H