Mohon tunggu...
Marshel Leonard Nanlohy
Marshel Leonard Nanlohy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Finding God In All Things

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mispersepsi Informasi di Indonesia

8 Mei 2020   21:46 Diperbarui: 8 Mei 2020   21:45 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan teknologi telah menciptakan simplifikasi terhadap hampir semua aspek di dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Lalu Bagaimanakah mispersepsi tersebut terlahir di Indonesia?

Tingkat Literasi di Indonesia

Mengutip Hutapea (2019), Indonesia harus puas dengan tingkat minat baca yang rendah. UNESCO pada tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke 60 dari total 61 negara yang diriset. Rendahnya minat baca tersebut dikarenakan oleh kurangnya akses, terutama untuk daerah-daerah terpencil.

Alasan tersebut mengacu pada 4 dimensi indeks literasi, antara lain kecakapan (tingkat bebas buta huruf), akses (infrastruktur pendidikan), alternatif (membaca daring/online) dan budaya (kebiasaan membaca). Dari keempat akses tersebut, hasil survei menunjukkan bahwa dimensi akses menempati posisi paling rendah (23.09%), selanjutnya kecakapan (75.92%), dimensi alternatif (40.49%), dan dimensi budaya (28.50%).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tingkat literasi yang rendah akan menggiring masyarakat dalam mengambil kesimpulan yang tidak tepat. Mispersepsi antara media dengan masyarakat acap kali terjadi.

Menurut Witanto (2018), rendahnya minat baca di masyarakat dapat mengikis wawasan dan  keilmuan. Dampaknya, masyarakat akan mudah dipengaruhi oleh berbagai doktrin dan pemahaman negatif. Mereka yang berwawasan tidak luas cenderung mengalami kesulitan pada kehidupan sosialnya.

"Right perception leads to right action," --Socrates (Gaarder, 2019).

Beralih  dari persoalan literasi, perkembangan teknologi juga memberikan aksesibilitas dan efisiensi bagi penggunanya. Terlebih lagi soal mengolah informasi. Sebagai contoh, media online dapat mengubah sudut pandang masyarakat dalam melihat sebuah peristiwa. Pemahaman yang salah dalam menanggapi informasi ini dikategorikan sebagai hoax.

Penggunaan berita hoax seringkali digunakan dalam motif politik. Namun, tidak jarang berita tersebut justru dipakai sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan tinggi. Untuk itu, perlu adanya kesadaran dari masyarakat dalam memilah informasi yang valid.

Wabah Hoax Melalui Media Sosial

Menurut Juditha (2018), dewasa ini informasi/berita yang dianggap kredibel tidak mudah untuk ditemukan. Sarana yang seringkali digunakan adalah jaringan sosial dengan kesamaan tujuan tertentu.

Ilustrasi Berita Bohong (Sumber foto: learnsafe.com)
Ilustrasi Berita Bohong (Sumber foto: learnsafe.com)

Mengutip survei yang dilakukan oleh Mastel (2017), bentuk berita hoax dapat diklasifikasikan ke dalam 3 bentuk. Bentuk tersebut antara lain tulisan, gambar, dan video. Dalam infografisnya, bentuk hoax yang menempati persentase paling tinggi adalah tulisan (62.10%), disusul oleh gambar (37.50%), dan video (0.40%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun