Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologi dasarnya berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai.
Pembahasan
Rohingya merupakan salah satu kelompok etnis asal Bangladesh, yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad, namun pemerintah Myanmar mengatakan mereka adalah bagian dari kelompok etnis Bengali dan oleh karena itu tidak diakui sebagai kelompok etnis di Myanmar. Hilangnya kewarganegaraan berarti warga Rohingya tidak lagi berhak atas perlindungan negara. Masyarakat Rohingya mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam hal berkewarganegaraan hingga hal beragama. Kewarganegaraan etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar dengan disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982. Pasal 3 menyatakan bahwa "warga negara seperti suku dan kelompok etnis Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burma, Hmong, Rakhine, atau Shan yang ada sebelum tahun 1185 SM dan tahun 1823 M, mereka menetap di salah satu wilayah yang membentuk negara sebagai pemukiman tetap”. Namun, Pasal 4 menyatakan: “Dewan Negara dapat memutuskan apakah suatu kelompok etnis bersifat nasional”. Dalam hal ini Dewan Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar.
Setelah kemerdekaan Burma pada tahun 1948, gerakan politik dan bersenjata terus menciptakan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat Muslim Rohingya. Setidaknya 13.000 warga Rohingya mengungsi di kamp pengungsi di India dan Pakistan. Akibatnya, hak warga negaranya untuk kembali ke Burma ditolak dan Muslim Rohingya ditolak. Kejadian ini telah memaksa mereka mengungsi ke kamp-kamp pengungsian dan berjuang untuk mencari perlindungan. Sebagai pengungsi internasional, mereka kerap menghadapi berbagai kesulitan dan rasa tidak aman. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima pengungsi Rohingya. Sebelum pengungsi Rohingya datang ke Indonesia, Indonesia, dengan dukungan organisasi internasional seperti Badan Pengungsi PBB (UNHCR), telah berupaya mengatasi permasalahan pengungsi, termasuk tidak hanya memberikan perhatian terhadap pengungsi Indonesia namun juga pengungsi Vietnam, khususnya manusia.
Penyebab Konflik Rohingya
Ketika Myanmar masih menjadi koloni Inggris, Perang Dunia II membawa dampak buruk bagi Muslim Rohingya. Dari tahun 1824 hingga 1942, Arakan diberikan otonomi daerah. Selama periode ini, kawasan tersebut relatif aman, dengan sedikit kerusuhan yang tercatat. Kemudian, pada tahun 1942, Jepang menginvasi Burma dan Inggris menarik diri, sehingga menciptakan kekosongan kekuatan besar dan stabilitas. Kekerasan massal kini telah meletus antara Muslim Lahin dan Rohingya. Mereka dibantai secara besar-besaran. Tragedi berdarah tersebut menyebabkan sedikitnya 100.000 Muslim Rohingya tewas dan ribuan desa hancur. Sejak itu, Muslim Rohingya hidup dalam ketakutan dan terpaksa bermigrasi ke Bengal.
Selama Perang Dunia II (1939-1945), banyak Muslim Rohingya yang wajib militer menjadi tentara Inggris. Mereka berperang melawan umat Buddha di Myanmar, yang bersekutu dengan Jepang. Ketika Inggris diusir dari Jepang pada tahun 1942, masyarakat Rohingya di Negara Bagian Rakhine menjadi sasaran masyarakat Myanmar. Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dan diperlakukan tidak adil. Mereka menjadi orang-orang yang kehilangan haknya, dikucilkan secara sosial, dan tidak memiliki kewarganegaraan. Rezim militer melakukan pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran desa, dan pembunuhan yang mengerikan, termasuk terhadap anak-anak Rohingya.
Alasan Indonesia Menjadi Tujuan Utama Pengungsi Rohingya
Populasi Rohingya di Indonesia tersebar di berbagai lokasi, termasuk Aceh, Medan, Tanjung Pinang, dan Batam. Beberapa individu juga ditemukan di Kupang, Banten, dan Banyuwangi. Aceh merupakan wilayah yang paling sering dikunjungi pengungsi Rohingya. Karena kedekatan geografis Aceh dengan Myanmar. Di Aceh tersebar di Pulau Lhokseumawe, Pulau Sabang, Pulau Idi Laek, dan Pulau Aceh Timur. Jarak antara Aceh dan Myanmar sangat pendek, namun dibutuhkan waktu sekitar 23 hari untuk mencapai perairan Aceh dengan perahu tradisional. Artinya, para pengungsi tersebut terapung di laut dengan perbekalan terbatas sebelum tiba di Aceh. Banyak pengungsi meninggal di laut selama perjalanan mereka, dan bahkan jika mereka memasuki perairan Thailand, mereka sering ditembak oleh pasukan keamanan Thailand atau dibawa ke pulau-pulau terpencil tanpa makanan atau minuman, sehingga menyulitkan mereka untuk kembali ke laut. Pengungsi Rohingya menganggap Indonesia sebagai tempat yang aman karena negara tersebut “dapat dengan mudah memukimkan kembali para pengungsi”. Pengungsi Rohingya di Aceh yang hampir terdorong kembali ke laut akhirnya direlokasi ke shelter “Bara” yang menjadi penyebab terdorongnya kembali pengungsi Rohingya di Aceh. Menurut para pengungsi, kehidupan di kamp pengungsi Cox's Bazar "sangat buruk" sehingga mereka harus mengungsi untuk mencari peluang hidup yang lebih baik dan lebih aman. Kegiatan ekonomi sehari-hari sangat sulit. Mereka tidak memiliki kehidupan di sana.
Penyebab Pengungsi Rohingya Ditolak di Aceh
Warga Aceh diketahui belakangan ini menolak pengungsi Rohingya yang hendak turun. Ini adalah pertama kalinya terjadi penolakan. Perahu kayu yang ditumpangi para pengungsi didorong kembali ke laut setelah pendaratan sebelumnya. Ratusan imigran terus berdatangan dari Myanmar. Atas dorongan warga sekitar yang mendorong perahu kembali ke laut, lokasi para imigran tersebut dipindahkan sebanyak dua kali. Ini bukan gelombang pertama imigran Rohingya yang terdampar di Aceh. Mereka mendarat di Aceh dan kemudian melanjutkan perjalanan ke negara ketiga Australia. Australia sendiri sebenarnya telah menangguhkan permohonan suaka. Sebab, negara mereka kekurangan fasilitas identifikasi biometrik dan pemeriksaan latar belakang pengungsi.
Warga Aceh menentang kedatangan pengungsi Rohingya karena beberapa alasan. Alasan utamanya adalah tempat penampungan darurat penuh sesak. Di sisi lain, warga berharap bisa segera direlokasi. Masyarakat Aceh menolak pengungsi Rohingya, karena pengungsi mengganggu masyarakat setempat karena kekurangan tempat berlindung. Selain itu, warga mempunyai kesan negatif terhadap eks pengungsi Rohingya, termasuk ketidakmampuan mereka menjaga kebersihan dan menghormati syariat Islam serta adat istiadat Aceh. Bahkan, warga memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya berupa bahan pangan, mineral, dan mie instan. Namun mereka malah membuang bantuan tersebut ke laut. Warga akhirnya mengusir mereka dan meminta mereka melanjutkan perjalanan.
Upaya ASEAN dalam Mengatasi Krisis
Upaya ASEAN untuk mengatasi krisis Myanmar sejauh ini tampaknya belum mencapai kemajuan. Faktanya, situasi di Myanmar semakin kompleks dengan munculnya berbagai pihak yang berkonflik. Pengungsi yang baru tiba di Aceh merupakan orang-orang yang mengungsi dari konflik yang semakin meningkat. Artinya, kemungkinan akan lebih banyak pengungsi yang datang karena situasi saat ini. ASEAN sejauh ini telah menyebutkan lima poin kesepakatan (5 Poin Konsensus/5C) terkait situasi di Myanmar.
Militer Myanmar awalnya setuju untuk melaksanakan perjanjian ini, namun kini ASEAN benar-benar menemui jalan buntu. Mereka hanya mengulang-ulang perjanjian yang sama tanpa ada kemajuan apa pun. Tanpa mekanisme dan kesepakatan regional yang jelas untuk menangani pengungsi, ia khawatir negara-negara ASEAN akan kewalahan ketika situasi mencapai puncaknya.
Sudah waktunya bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai konsensus dan pemahaman tentang cara menangani pengungsi Rohingya. Sebab, jika permasalahan ini terus berlanjut maka dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang serius bagi negara yang dikunjungi. Penting untuk memperjelas bagaimana hal ini akan ditangani di ASEAN. Upaya ASEAN untuk mengatasi akar permasalahan Myanmar kemungkinan besar terhambat oleh prinsip non-intervensi. Dalam pertemuan mengenai isu Rohingya yang diselenggarakan di sela-sela Sidang Umum PBB ke-78 di New York pada Kamis, 21 September, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan bahwa nasib pengungsi Rohingya masih menjadi isu baik secara global maupun domestik. Situasi Situasi di Myanmar menjadikan penyelesaian masalah ini semakin sulit.