Mohon tunggu...
Marsha Bremanda TR
Marsha Bremanda TR Mohon Tunggu... Lainnya - A learner, Dreamer, Achiever

Journalism and Digital Media Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Film

Mengulik Keresahan Milenial Lewat Film Generasi Micin vs Kevin (2018)

15 November 2021   02:02 Diperbarui: 15 November 2021   05:37 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Sobat Kompasiana!

Kevin (Kevin Anggara), siswa SMA yang tengah berkutat dengan segala keresahannya. Berusaha keluar dan mencari hal yang menyenangkan agar tahun terakhir di sekolahnya tidak membosankan.

Hanya sekelas berempat, teman-teman Kevin ada Bonbon (Teuku Ryzki), Dimas (Joshua Suherman), dan Johanna (Kamasean Matthews).

Berawal dari Kevin yang menemukan sebuah situs berisikan tantangan, ia bersama ketiga temannya melakukan beragam kejahilan di sekolah baik kepada teman maupun gurunya.

Tingkah Kevin dan teman-temannya ini justru membawa banyak masalah termasuk persahabatan mereka sendiri.

Di artikel ini, penulis akan membahas bagaimana keresahan yang dialami oleh para milenial lewat film Generasi Micin vs Kevin (2018) ini.

Menggunakan teori psikoanalisis Sigmun Freud, penulis akan mengulik bagaimana representasi konflik perilaku tokoh dan film tersebut ditampilkan.

Berawal Dari Rasa Bosan, Sampai Join Tantangan

Generasi Micin vs Kevin (2018) merupakan film dengan genre komedi yang menghadirkan beragam adegan lucu di setiap adegannya. Kelucuan ini juga tak lepas dari performa akting para pemainnya, yang berhasil menghidupkan masing-masing karakter tokoh dalam film.

Setiap adegan, shot, dan dialog yang ditampilkan terlihat apik sehingga representasi karakter masing-masing tokoh tersampaikan dengan baik. Mulai dari awal sampai masuk ke konflik dan akhir film, semuanya tersusun dengan rapi.

Meskipun didominasi oleh komedi, Fajar Nugros sebagai sutradara film ini berhasil menyisipkan moral value yang sangat sesuai dengan kondisi saat ini.

Sebagi pemeran utama, Kevin (Kevin Anggara) berkarakter sebagai generasi Z yang tertuduh micin. Micin dalam hal ini yaitu generasi yang ingin semuanya serba instan.

Para pemain Generasi Micin vs Kevin Sumber: idn.times.com
Para pemain Generasi Micin vs Kevin Sumber: idn.times.com

Kevin sering dianggap pemalas karena kesenangannya bermain game online secara terus menerus. Hal inilah yang membuat keluarganya kerap memarahi Kevin.

Di sekolah, karena hanya berempat dalam satu kelas, Kevin merasa bosan. Untuk mengatasi rasa bosannya itu, ia mengikuti tantangan dari sebuah website.

Adegan Kevin jika disesuaikan dengan teori Sigmun Freud terdiri dari tiga komponen penyusun psikoanalisis dalam diri manusia. Ada id, ego, dan superego.

Id, Ego, dan Superego dalam Film Generasi Micin vs Kevin (2018)

Id merupakan ketidaksadaran diri. Id lebih merujuk pada keinginan, perasaan yang ingin dipenuhi kesenangannya. Kevin, saat itu ingin sekali agar tahun terakhirnya di sekolah bisa menyenangkan.

Ia menemukan website tersebut dan merasa tertarik sehingga mengunjungi laman website dan mencobanya. Di situ, id Kevin tengah berproses. Keinginannya akan hal tersebut sangat menggebu-gebu sehingga ia mencoba berbagai cara agar bisa mewujudkan keinginan segera mungkin.

Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmun Freud ini, id yang muncul dalam diri Kevin semata-mata hanya untuk mencari kesenangan (Ryan, 2012).

Superego merujuk pada aturan-aturan moral, norma-norma, hal yang buruk atau baik. Superego juga berada di bawah ketidaksadaran kita, hanya saja kita sudah tahu dan paham yang benar atau salah.

Superego dalam film Generasi Micin vs Kevin (2018) terjadi saat adegan Papa Kevin (Ferry Salim) tengah menasihati Kevin saat ia terkena masalah. 

Dengan melontarkan nasihat agar Kevin dapat bertingkah lebih baik lagi kedepannya, sang Papa resah akan masa depan anaknya. Oleh karena itu ia memberitahu hal mana yang baik dan buruk untuk dilakukan. Film ini juga menghadirkan beragam konflik antar tokoh-tokohnya.

Ego berada di antara id dan superego. Id sangat impulsif sementara superego merupakan pembatasan. Ego memikirkan mana yang baik untuk dilakukan. Dalam hal ini ego diposisikan sebagai mediasi antara id dan superego.

Ego dalam film ini ditunjukkan pada adegan ketika Kevin memutuskan untuk melakukan kembali hal-hal yang ia sukai dan menjadi passion dirinya.

Kevin dulunya gemar menulis. Ia memiliki sebuah blog sebagai platform karya tulisannya di publish. Setelah mendapatkan masalahnya di sekolah, ia akhirnya sadar bahwa hal terbaik yang dapat ia lakukan untuk menebus kesalahannya yaitu membuktikan bahwa ia mampu.

Mampu dalam artian membuktikan bahwa tuduhan orang-orang bahwa ia merupakan generasi micin adalah salah. Tidak semua generasi micin adalah orang yang pemalas. Ia pun membuktikan dengan cara membuat karya-karya tulisannya dan berakhir pada menerbitkan buku. Sangat menginspirasi bukan?

Nah, itu tadi teori psikoanalisis Sigmun Freud dengan komponen id, ego, dan superego dalam film Generasi Micin vs Kevin (2018). Untuk sobat Kompasiana yang mungkin belum pernah nonton film ini, bisa langsung segera tonton di platform yang tersedia, ya!

DAFTAR PUSTAKA 

Ryan, M. (2012). An Introduction To Criticism Literature/Film/Culture. UK: Blackwell Publishing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun