Saya juga melihat fenomena yang saya rasakan di Ibu saya kala itu. Sebagai ibu rumah tangga, pasar tradisional adalah tempat liburan untuknya. Saya sering menemani sekaligus membantu membawakan belanjaan untuk meringankan beban Ibu tercinta.
Setiap kios yang kami datangi kebanyakan memasang harga yang relatif murah untuk ukuran bahan masakan. Sayur bayam satu ikat saja hanya Rp. 1500,00. Kacang buncis setengah kilogram hanya Rp 3.500,00.Â
Ya begitulah, harga yang murah ini wajar saja terjadi karena dari petani langsung dijual ke pasar, tidak pakai perantara.
Sembari berjalan dari satu kios ke kios lain, saya mulai memahami keadaan di dalam pasar. Para pedagang ini rela bermalam di pasar demi menafkahi hidupnya. Di sepanjang lorong kios-kios kita bisa menjumpai pedagang yang didominasi oleh wanita berusia lanjut.
Kondisi seperti ini sangat membuat Ibu saya iba setiap berbelanja di pasar. Ibu sebisa mungkin membantu dengan cara membeli dagangannya. Di sisi lain, Ibu saya juga tidak membuat perencanaan berbelanja dengan baik sehingga kami pulang ke rumah dengan belanjaan yang berlebih.
Selanjutnya apakah bahan-bahan tadi bisa dihabiskan semuanya? Jawabannya tidak. Pasti ada yang sisa. Terus diapakan sisa-sia ini?
Dahulu saya punya pemikiran yang sederhana.
"Oh, kalau makanan sisa ya tinggal dibuang saja, beres toh? Apa sulitnya? Nanti kan juga bisa terurai. Namanya juga sampah organik."
Coba bayangkan, jika seratus orang punya pemikiran yang sama seperti saya, berapa banyak sampah makanan yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA)?
Titik Balik
Pemikiran ini terus melekat sampai akhirnya saya mengikuti sebuah acara yang berlokasi di lingkungan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara selama tiga hari. Waktu itu, saya duduk di bangku kelas 2 SMP.