Berdasarkan penelitian oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017, Indonesia merupakan negara kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia, yakni sekitar 300 kilogram tiap individu.
Keadaan ini cukup miris, apalagi bila kita membandingkan dengan tingkat kelaparan di Indonesia yang masih dalam kategori serius, seharusnya makanan yang terbuang tersebut mampu menghidupi 28 juta atau sekitar 11% penduduk di Indonesia.
Apa itu Food Waste?
Food waste atau sampah makanan merujuk pada makanan siap konsumsi dan memenuhi gizi seimbang yang terbuang begitu saja. Sampah makanan menjadi penyumbang terbesar sampah di Indonesia.
Berdasarkan data pengolahan sampah pada tahun 2017-2018 dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di beberapa regional seperti Jawa, sampah makanan masih mendominasi komposisi keseluruhan jenis sampah sebesar 46,75%.
Sampah makanan bisa terjadi pada tingkat distribusi dan konsumsi. Pada tingkat distribusi, sampah makanan berasal dari pasar tradisional atau supermarket, contohnya produk makanan yang sudah expired.
Sedangkan pada tingkat konsumsi, sampah makanan berasal dari sisa potongan sayur atau buah serta kebiasaan menyisakan makanan.
Terkadang sampah makanan paling banyak bukan berasal dari restoran, pasar tradisional, atau supermarket, tetapi berasal dari rumah tangga. Perilaku-perilaku individu yang menyebabkan timbul sampah makanan:
- Tidak menghabiskan makanan
- Makan tidak sesuai porsi makanan
- Membeli atau memasak makanan yang tidak disukai
- Gaya hidup dan rasa gengsi bila menghabiskan makanan di depan orang banyak
Apa Sulitnya Membuang Makanan Sisa?
Saya adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Karena terlahir di keluarga dengan keadaan perekonomian yang jauh lebih baik dari kakak-kakak, anak bungsu seperti saya ini cenderung lebih dituruti keinginannya.
Saya bisa makan apa saja yang saya mau. Ingin makan bakso? Bisa, tinggal beli. Mau ikan goreng setiap hari? Mudah, pergi saja ke pasar, pasti sudah dapat ikan. Tergiur instastory teman yang beli ayam krispi?
Gampang, tinggal klik, barang langsung ada. Berkat kemudahan-kemudahan inilah akhirnya terbentuk sikap kurang bisa menghargai makanan.
Saya juga melihat fenomena yang saya rasakan di Ibu saya kala itu. Sebagai ibu rumah tangga, pasar tradisional adalah tempat liburan untuknya. Saya sering menemani sekaligus membantu membawakan belanjaan untuk meringankan beban Ibu tercinta.
Setiap kios yang kami datangi kebanyakan memasang harga yang relatif murah untuk ukuran bahan masakan. Sayur bayam satu ikat saja hanya Rp. 1500,00. Kacang buncis setengah kilogram hanya Rp 3.500,00.
Ya begitulah, harga yang murah ini wajar saja terjadi karena dari petani langsung dijual ke pasar, tidak pakai perantara.
Sembari berjalan dari satu kios ke kios lain, saya mulai memahami keadaan di dalam pasar. Para pedagang ini rela bermalam di pasar demi menafkahi hidupnya. Di sepanjang lorong kios-kios kita bisa menjumpai pedagang yang didominasi oleh wanita berusia lanjut.
Kondisi seperti ini sangat membuat Ibu saya iba setiap berbelanja di pasar. Ibu sebisa mungkin membantu dengan cara membeli dagangannya. Di sisi lain, Ibu saya juga tidak membuat perencanaan berbelanja dengan baik sehingga kami pulang ke rumah dengan belanjaan yang berlebih.
Selanjutnya apakah bahan-bahan tadi bisa dihabiskan semuanya? Jawabannya tidak. Pasti ada yang sisa. Terus diapakan sisa-sia ini?
Dahulu saya punya pemikiran yang sederhana.
"Oh, kalau makanan sisa ya tinggal dibuang saja, beres toh? Apa sulitnya? Nanti kan juga bisa terurai. Namanya juga sampah organik."
Coba bayangkan, jika seratus orang punya pemikiran yang sama seperti saya, berapa banyak sampah makanan yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA)?
Titik Balik
Pemikiran ini terus melekat sampai akhirnya saya mengikuti sebuah acara yang berlokasi di lingkungan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara selama tiga hari. Waktu itu, saya duduk di bangku kelas 2 SMP.
Tentara amat lekat dengan cara mendidik yang "keras dan tegas". Kami disediakan makanan prasmanan dan ompreng. Mengambil makan haruslah secara bergantian. Makan harus serentak.
Mulai dan selesai harus bersamaan. Tidak berhenti di situ, para tentara ini memberi waktu makan dengan hitungan dari satu sampai lima saja.
Tidak ada yang namanya menikmati makanan. Di pikiran hanyalah, harus habiskan secepat mungkin. Payahnya lagi, jika di dalam piring ada sisa makanan, maka teman sebelahnya harus membantu menghabiskan. Kalau tidak, kami akan diceburkan di kolam berwarna cokelat.
Setelah sesi makan, kami ditugaskan secara bergiliran menyuci ompreng. Ah, saya baru sadar. Mencuci ompreng yang tidak ada sisa makanannya jauh lebih mudah dan cepat dibandingkan membersihkan ompreng yang terdapat banyak food waste. Selain itu terasa sedikit ribet karena harus menyediakan tempat sampah.
Makanan yang tersisa di tempat prasmanan bisa diberikan pada yang membutuhkan. Beda cerita dengan makanan yang ada di tempat sampah. Kalau penanganannya tidak tepat, maka hanya akan menjadi sia-sia.
Sejak saat itu saya benar-benar menyadari pentingnya mengambil makanan secukupnya dan menghabiskan segera. Kadang perut kita menipu. Kita tergiur oleh makanan-makanan enak tapi nyatanya tak sanggup menghabiskan. Di sinilah pentingnya kontrol diri.
Selepas acara tersebut, saya bercerita tentang pengalaman berharga ini pada Ibu saya dan kita mulai membiasakan gaya hidup baru: minim sampah makanan.
Ada banyak dampak yang timbul akibat sampah makanan ini yakni menambah pemanasan global akibat gas metana yang dihasilkan, terjadinya air lindi, bencana ledakan sampah, membuang-buang minyak bumi, dan masih banyak lagi.
Sekarang, setiap kali saya makan, saya selalu mengambil porsi sedikit dan menghabiskannya. Jika dirasa masih kurang, saya akan tambah. Akan tetapi, saya akan mengambil porsi tambahan saat makanan di piring sudah bersih.
Teman-teman saya tahu bahwa saya akan sangat jengkel dan mengomel jika ada makanan sisa di piring. Tak jarang pula saya menjadi sasaran "tempat sampah" mereka karena perut saya yang sengaja tidak saya penuhi.
Sehingga, selalu ada ruang kosong untuk menampung makanan lain. Namun, saya selalu berusaha mengajak teman-teman saya untuk bertanggung jawab atas makanan yang tersaji di atas piringnya.
Yuk, mulai bertanggung jawab pada piring, perut, dan lingkunganmu sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H