Mohon tunggu...
Marsefio
Marsefio Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pelita Harapan Karawaci Tangerang. Saat ini sedang menempuh studi S3 di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Kegemaran saya adalah menulis, menonton film, mengajar, melakukan kegiatan sosial dan kemasyarakatan serta menjadi trainer untuk pelatihan komunikasi efektif untuk sekolah sekolah, public speaking skkill untuk korporat serta kehumasan pemerintah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Hiperrealitas di Media Sosial: Ketika Ilusi Melampaui Kenyataan

26 Juli 2023   15:17 Diperbarui: 27 Juli 2023   08:15 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era digital dan komunikasi yang semakin canggih, media sosial telah menjadi pusat interaksi sosial dan sumber informasi bagi masyarakat Indonesia. 

Namun, fenomena ini juga membawa implikasi yang kompleks, salah satunya adalah munculnya hiperrealitas. Hiperrealitas mengacu pada kondisi di mana representasi di media sosial menjadi lebih penting daripada realitas itu sendiri, menciptakan dunia maya yang seringkali memperkuat ilusi dan memudarkan batas antara fakta dan fiksi. 

Dalam tulisan opini ini, penulis mengulas tentang tokoh pemikir filsafat kritis yakni Jean Baudrillard, hiperrealitas di media sosial, mengidentifikasi contoh-contoh yang relevan, serta membahas dampak dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghadapi realitas sosial yang terllihat.

Mengenal Jean Baudrillard

Jean Baudrillard, seorang tokoh berpengaruh dalam teori kebudayaan dan disebut juga sebagai filsuf kontemporer. Ia telah memberikan kontribusi besar pada era postmodern. 

Baudrillard, seorang tokoh teori kritis, yang memiliki pemikiran pemikiran menarik. Selain itu ia juga komentator politik, sosiolog, dan fotografer asal Prancis. 

Baudrillard lahir di Reims pada tanggal 27 Juli 1929, dan meninggal dunia di Paris, Perancis tanggal 6 Maret 2007. Pemikiran teoritisnya sejajar dengan tokoh-tokoh hebat lainnya pada zamannya, seperti Michel Foucault, Lacan, dan Derrida. 

Fokus utama Baudrillard adalah tentang hakikat dan dampak komunikasi massa dalam masyarakat pasca modern. Dalam pemikirannya, Baudrillard dipengaruhi oleh konsep penting Marshall McLuhan tentang peran media massa dalam pandangan sosiologis. 

Dia juga terinspirasi oleh pemikiran Mauss tentang objecticity dan linguisticsosiological interface, Sigmund Freud tentang psikoanalisis, Bataille tentang surrealisme dan erotisme, serta Marxisme.

Hiperrealitas dan simulasi menjadi inti pemikiran Baudrillard. Bagi Baudrillard, hiperrealitas adalah kondisi di mana ilusi menyatu dengan keaslian, masa lalu berpadu dengan masa kini, fakta bercampur baur dengan rekayasa, dan tanda tergabung dengan realitas. 

Kategori-kategori seperti kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, dan realitas kehilangan arti dalam dunia ini. Dia menyadari konsekuensi radikal dari "kode" yang menembus dunia modern ini, yang berhubungan dengan komputerisasi dan digitalisasi, dan membuka jalan bagi munculnya hiperrealitas.

Ihttps://www.circulobellasartes.com/medallas/jean-baudrillard/nput sumber gambar
Ihttps://www.circulobellasartes.com/medallas/jean-baudrillard/nput sumber gambar

Simulasi, menurut Baudrillard, bukan lagi hanya tentang meniru atau membuat tiruan, tetapi lebih dari itu, yaitu menggantikan objek itu sendiri. Representasi menjadi lebih penting daripada objek aslinya. 

Simulakra adalah model-model kenyataan tanpa referensi pada realitas. Ini menciptakan realitas kedua yang merujuk pada dirinya sendiri, disebut sebagai simulakrum. 

Bentuk-bentuk seperti imajinasi, mimpi, fiksi, fantasi, dan halusinasi, melalui teknologi simulasi, akhirnya menjadi realitas, bahkan realitas yang sempurna. Simulakra memiliki kemampuan untuk menciptakan apa pun menjadi realitas, bahkan realitas yang sempurna. 

Ini menjadi suatu simulasi yang tidak memiliki referensi apapun, mencabut manusia dari kenyataan dan menjebakkannya dalam ruang simulasi yang dianggapnya nyata.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulasi dan hiperrealitas sebagai model penciptaan realitas yang tidak nyata tanpa referensi dari realitas asli. 

Hiperrealitas merupakan hasil dari proses simulakrum yang mengaburkan batas antara ilusi dan kenyataan. 

Fenomena ini mempengaruhi cara kita memahami dunia dan menuntut kesadaran kita tentang apa yang sebenarnya nyata di tengah kemajuan teknologi digital dan informasi.

Hiperrealitas di Media Sosial 

Kehadiran media sosial di Indonesia telah mengubah cara masyarakat berinteraksi, mendapatkan informasi, dan memandang diri sendiri. 

Platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, YouTube, Line dan WhatsApp telah menciptakan panggung virtual di mana orang berlomba-lomba menampilkan kehidupan mereka dalam versi yang serba indah dan sempurna. 

Pencitraan diri (self-presentation) dan proyeksi identitas (identity projection) menjadi dua aspek penting dalam menciptakan hiperrealitas di media sosial.

Contoh-contoh Hiperrealitas yang tampak di Media Sosial :

1. Kehidupan Sempurna: Di media sosial, sering terlihat orang seringkali membagikan momen-momen bahagia dan sukses dalam hidup mereka. 

Postingan tentang perjalanan mewah, acara sosial bergengsi, atau pencapaian luar biasa sering mendominasi. Namun, kenyataannya, banyak dari kita memiliki tantangan dan kegagalan di balik layar yang jarang diekspos.

2. Filter dan Pemalsuan: Dengan bantuan filter dan teknologi pengeditan, foto-foto yang diunggah di media sosial seringkali tidak mencerminkan kenyataan aslinya. 

Penggunaan filter dapat membuat kulit tampak mulus, warna kulit menjadi lebih cerah, dan bahkan mengubah bentuk tubuh. 

Akibatnya, standar kecantikan yang tak realistis semakin diperkuat, dengan ilusi dalam aplikasi yang ada di gawai, alias selamat datang di dunia tipu tipu. 

3. Perbandingan dan Rasa Tidak Puas: Dalam dunia hiperrealitas media sosial, netizen seringkali cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain. 

Ini dapat menyebabkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri dan kecemburuan terhadap kehidupan orang lain, tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lihat hanya potongan kecil dari kehidupan orang tersebut, dan terjadi juga kecenderungan untuk "mengadili" orang lain tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Akibatnya, orang akan cenderung masuk pada fenomena "half story" dan terjebak dalam ketidakbenaran tersebut. Informasi yang tidak benar dapat menjadi kebenaran jika hal tersebut telah menjadi viral di masyarakat.

4. Berita Palsu dan Hoaks: Media sosial juga menjadi sarang bagi penyebaran berita palsu (hoaks) dan informasi yang tidak diverifikasi dengan baik. 

Berita palsu dapat dengan mudah menyebar secara viral, menyebabkan kebingungan dan memperkuat pandangan yang salah tentang suatu isu. 

Karena itu kegiatan seperti media literasi perlu untuk selalu dilakukan pada masyarakat untuk meminimalisir terjadinya penyebaran berita bohong dan manipulasi informasi.

Dampak Hiperrealitas di Media Sosial 

Hiperrealitas di media sosial Indonesia memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat dan budaya digital kita.

1. Gangguan Kesehatan Mental:  Pemaparan yang terus-menerus terhadap citra yang sempurna di media sosial dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya rasa percaya diri. 

Orang yang merasa tidak mampu mencapai standar yang ditetapkan oleh hiperrealitas cenderung merasa gagal dan terasingkan.

2. Polarisasi dan Pertentangan: Media sosial juga telah menjadi medan pertempuran bagi opini yang berseberangan. 

Perbedaan pendapat yang tajam sering kali menyebabkan polarisasi dan pertentangan antara kelompok masyarakat, yang dapat memperburuk kesenjangan sosial dan politik. 

Terutama kehadiran buzzer yang membuat opini opini baru yang mendorong terjadinya perbedaan pendapat yang tajam dan dapat berujung pada situasi yang dapat semakin memanas.

3. Dukungan pada Berita Palsu: Hiperrealitas memperkuat penyebaran berita palsu dan hoaks di media sosial. 

Banyak orang yang tanpa sadar menyebarkan informasi palsu karena ingin "ikut berpartisipasi" dalam cerita yang menarik tanpa memverifikasinya terlebih dahulu, hal ini yang sering membuat "blunder" suatu berita / informasi. 

Kecenderungan ini sering terlihat di Whatsapp (WA) grup keluarga dimana sharing informasi sering terjadi, menambah subur ladang berita palsu serta ujaran kebencian (hate speech).

Menghadapi Hiperrealitas di Media Sosial

Untuk mengatasi masalah hiperrealitas yang muncul di berbagai platform media sosial, seperti langkah-langkah yang dapat diambil adalah;

1. Literasi Media Sosial: Pendidikan tentang literasi media sosial harus menjadi prioritas. Masyarakat terutama netizen perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan memahami sumber informasi yang dapat dipercaya serta mengenali berita palsu dan hoaks.

2. Transparansi Penggunaan Filter: Para influencer dan pengguna media sosial lainnya harus lebih transparan tentang penggunaan filter dan teknologi pengeditan dalam foto dan video mereka. 

Hal ini dapat membantu masyarakat memahami bahwa apa yang mereka lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan.

3. Promosikan Kebenaran dan Keseimbangan: Para pengguna media sosial, termasuk perusahaan media, harus lebih aktif dalam mempromosikan berita yang akurat, seimbang, dan berbobot. Jurnalis  harus memprioritaskan integritas jurnalisme dalam menyajikan informasi kepada masyarakat.

Kesimpulan

Hiperrealitas menurut pemikiran tokoh  filsafat kritis Jean Baudrillard ketika dibawa dalam konteks media sosial telah menciptakan dunia maya di mana ilusi seringkali lebih menarik daripada kenyataan. 

Representasi diri yang diolok-olok dan ilusi kehidupan yang sempurna dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat serta menyebabkan pertentangan dan polarisasi. 

Untuk menghadapi hiperrealitas, literasi media sosial menjadi krusial, dan kejujuran dalam berbagi informasi harus didorong. 

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang hiperrealitas, masyarakat dapat menyadari bahwa realitas sejati terletak di luar batas-batas dunia maya media sosial yang terkadang memperkuat ilusi semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun