Kategori-kategori seperti kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, dan realitas kehilangan arti dalam dunia ini. Dia menyadari konsekuensi radikal dari "kode" yang menembus dunia modern ini, yang berhubungan dengan komputerisasi dan digitalisasi, dan membuka jalan bagi munculnya hiperrealitas.
Simulasi, menurut Baudrillard, bukan lagi hanya tentang meniru atau membuat tiruan, tetapi lebih dari itu, yaitu menggantikan objek itu sendiri. Representasi menjadi lebih penting daripada objek aslinya.Â
Simulakra adalah model-model kenyataan tanpa referensi pada realitas. Ini menciptakan realitas kedua yang merujuk pada dirinya sendiri, disebut sebagai simulakrum.Â
Bentuk-bentuk seperti imajinasi, mimpi, fiksi, fantasi, dan halusinasi, melalui teknologi simulasi, akhirnya menjadi realitas, bahkan realitas yang sempurna. Simulakra memiliki kemampuan untuk menciptakan apa pun menjadi realitas, bahkan realitas yang sempurna.Â
Ini menjadi suatu simulasi yang tidak memiliki referensi apapun, mencabut manusia dari kenyataan dan menjebakkannya dalam ruang simulasi yang dianggapnya nyata.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulasi dan hiperrealitas sebagai model penciptaan realitas yang tidak nyata tanpa referensi dari realitas asli.Â
Hiperrealitas merupakan hasil dari proses simulakrum yang mengaburkan batas antara ilusi dan kenyataan.Â
Fenomena ini mempengaruhi cara kita memahami dunia dan menuntut kesadaran kita tentang apa yang sebenarnya nyata di tengah kemajuan teknologi digital dan informasi.
Hiperrealitas di Media SosialÂ
Kehadiran media sosial di Indonesia telah mengubah cara masyarakat berinteraksi, mendapatkan informasi, dan memandang diri sendiri.Â