Mohon tunggu...
Marqus Trianto
Marqus Trianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Penikmat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejenak, Menilik Dialektika Kampus

2 April 2019   01:26 Diperbarui: 2 April 2019   06:59 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Tugas, tugas, tugas! Laporan, laporan, laporan!" Demikian kurang lebih yang sering menjadi keresahan mahasiswa. Meski demikian, masih ada yang menganggap, jika tugas dan  laporan adalah sesuatu yang menarik. Sampai sini, dapat diketahui ada dua kecenderungan. Pertama, ada mahasiswa yang menganggap jika tugas dan laporan adalah hal yang membosankan. Sebaliknya, ada yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan.

Tetapi, apakah dunia kampus hanya melulu soal itu? Okelah,mungkin masih ada kegiatan di UKM, Organisasi, dan kepanitiaan. Mungkin masih ada yang lain lagi? Silahkan tambahkan sendiri.

Mahasiswa akan selalu identik dengan "kegiatan". Jelasnya, mahasiswa adalah orang yang berkegiatan. Baik yang akademik, maupun non akademik. Baik yang di dalam kampus maupun di luar kampus. Tugas, laporan, UKM, organisasi, dan kepanitiaan merupakan unsur-unsur dari kegiatan. Selanjutnya, saya akan menyebut kelima unsur itu dengan kegiatan saja.

Kegiatan tentu penting. Pasalnya, kegiatan adalah bentuk aplikatif dari idealisme. Dengan adanya kegiatan, ide atau gagasan kita bisa termanifestasikan. Sebagai misal, kita punya gagasan untuk ikut serta memajukan literasi kampus. Akhirnya kita memutuskan untuk ikut LPM. Benar, di LPM tersebut, kita bisa menerbitkan majalah kampus, mengadakan seminar, bazar buku, dan sebagainya yang berbau literasi. Itulah yang saya maksud dengan termanifestasi. 

Gagasan kita untuk memajukan literasi kampus hanyalah sesuatu yang tidak nampak. Tetapi, majalah yang kita terbitkan, seminar dan bazar yang kita adakan adalah sesuatu yang nampak. Kita perlu ikut LPM supaya gagasan tersebut menjadi nampak. LPM, atau kembali sebut saja kegiatan, adalah media dimana gagasan kita menjadi nampak.

Sebagai misal lagi, ada sebuah diskusi di kelas. Siapapun yang bertanya, menyanggah, atau menambahkan akan mendapatkan nilai. Semua mahasiswa di kelas tersebut pasti punya gagasan. Saya jamin. Akan tetapi, tidak semua mengungkapkannya. Yang bertanya, menyanggah, atau menambahkan dapat nilai. Sedangkan yang hanya menggagas saja tidak akan dapat apa-apa. Dalam diskusi tersebut, pertanyaan, sanggahan, atau tambahan yang kita ungkapkan adalah manifestasi dari gagasan kita. Adapun diskusi itu sendiri merupakan media, supaya gagasan kita dapat menjadi pertanyaan, sanggahan, atau tambahan. Lewat diskusi tersebut, apa yang tidak nampak menjadi nampak. Kemudian, nilai tersebut merupakan penghargaan yang kita terima. Sekali lagi hanya contoh.

Masalahnya, apakah "kegiatan" dalam batasan yang saya buat sendiri tersebut merupakan satu-satunya cara supaya apa yang tidak nampak menjadi nampak? Saya berpendapat: tidak. Gagasan kita untuk ikut serta dalam memajukan literasi kampus bisa dilakukan dengan aktif mengirim gagasan-gagasan kita dalam bentuk tulisan ke redaktur LPM terkait, tanpa harus masuk menjadi pengurusnya. Demikian juga, kita tidak perlu menunggu sampai ada diskusi di ruang dan waktu kuliah. Untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, kita bisa membuat ajang diskusi sendiri! Tidak perlu menunggu sampai ada jam kuliah.

Apabila melihat dari judulnya, poin utama saya bukan di contoh pertama. Melainkan di contoh kedua, yaitu tentang diskusi.

Apa yang saya rasakan selama ini adalah telah terjadi dikotomisasi di dunia kuliah, yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri. Termasuk mungkin saya diantaranya. Dikotomisasi yang saya maksud di sini adalah tentang apa yang "kegiatan" dan non kegiatan. Semoga pembaca masih ingat, tentang apa yang saya maksud kegiatan di sini. Dan tentu, itu hanya diksi yang saya buat sendiri.

Singkatnya, kegiatan adalah semua hal atau aktivitas yang bersifat formalistis. Sedangkan apa yang saya sebut non kegiatan, adalah segala sesuatu yang tidak formal. Apabila melakukan yang formal maka kita akan mendapatkan nilai, ijazah, sertifikat atau pujian. Sebaliknya, jika kita melakukan apa yang tidak formal [sepertinya] kita tidak akan mendapat "apapun".

Diskusi pada saat mengerjakan tugas, laporan, jam kuliah, dan rapat organisasi, adalah yang formal. Tanpa ada tugas dari dosen, bisakah kita mendiskusikan tugas dan laporan? Apabila tidak ada jam kuliah, mungkinkah kita tetap berdiskusi tentang mata kuliah terkait? Kemudian, apakah rapat organisasi merupakan satu-satunya tempat bagi kita untuk banyak bicara?

Kata formal akan selalu identik dengan tuntutan. Sesuatu bisa disebut dengan tuntutan apabila membuat kita menjadi orang yang merasa tertuntut. Saya kira apabila kita melakukan sebuah tuntutan, namun sedikitpun tidak menganggapnya demikian, maka kita bukanlah orang yang tertuntut. Ini cuma soal paradigma. Yang membuat kita menjadi tertuntut dan tidak tertuntut adalah diri kita sendiri. Meski begitu, terkadang formal bisa memaksa kita menjadi orang yang tidak orisinil.

Menurut saya, tuntutan itu seperti zat kimia. Dengan adanya percampuran zat kimia, suatu tanaman pangan tidak akan bisa disebut organik. Begitupun dengan kita. Jika hidup kita hanya diisi dengan tuntutan dan tuntutan, maka kita bukanlah orang yang organik. Apa yang formal belum tentu tidak organik, sedangkan tuntutan sudah pasti tidak organik.

Saya berangkat dari kegiatan, lalu formal, dan berujung pada tuntutan. Dalam "berkegiatan" apakah kita bertingkah laku sebagai seorang formalis? Atau, sebagai pihak yang tertuntut?

Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua hal yang dikemas dalam bentuk formal itu salah. Saya tidak bilang kalau diskusi ketika jam kuliah, rapat organisasi, atau mengerjakan tugas itu tidak tepat. Tidak! Justru disini masalahnya.

Dengan mengatasnamakan "kegiatan" kita cenderung memiliki pandangan yang rendah terhadap apa yang bukan kegiatan. Saat sudah sering rapat, kita langsung merasa aman. Seolah tidak merasa perlu lagi membuka interaksi di luar kegiatan tersebut. Parahnya, mungkin waktu kita sudah habis untuk rapat. Bukankah yang demikian justru terbalik?

Saya memiliki pandangan jika diskusi yang riil adalah diskusi di luar rapat, jam kuliah atau ketika mengerjakan tugas. Dengan kata lain, obrolan sehari-hari. Hal tersebut bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Di keluarga, di kantin, di angkirngan, di taman kampus, di burjo, dan sebagainya. 

Dan sebagainya itu bisa di ruang kelas, perpustakaan, atau di kantor sekretariat organisasi kita. Sayangnya, obrolan sehari-hari kita yang lebih nyata dan sudah selayaknya dilakukan oleh  manusia pada umumnya (dan mahasiswa pada khususnya) itu, telah dirampas oleh rapat, kuliah, dan tugas.

Saya banyak menjumpai jika orang akan lebih suka banyak bicara ketika sedang ngobrol di angkringan daripada di kelas. Masalahnya di kelas ada embel-embel kuliah dan nilai, sedangkan di angkringan tidak. Di kelas ada tuntutan, tetapi di angkringan tidak ada tuntutan. Tuntutan-tuntutan itu seringkali mempengaruhi kita menjadi orang-orang yang tertuntut. 

Kita menjadi orang-orang yang tidak riil, anorganik, dan munafik. Akhirnya yang sering terjadi adalah ketegangan dan ketidaknyamanan. Bukannya menjadi medium, untuk mengubah yang tidak nampak menjadi nampak, apa yang formal justru seringkali telah membatasi ide atau gagasan-gagasan brillian kita.

Karena adanya paradigma semacam itu, kita jadi kehilangan esensi dari obrolan sehari-hari. Seolah kita menjadi intelek, hanya pada waktu berada di ruang kelas. Berfikir akademis hanya pada saat mengerjakan tugas. Dan berlaku menjadi aktivis, hanya ketika sedang rapat organisasi. Saat kita berada di luar lingkaran tersebut, kita sudah menjadi orang yang berbeda.

Padahal, hidup kita haruslah diisi dengan obrolan-obrolan yang berkualitas dan berbobot. Tidak perlu menunggu ketika rapat, kuliah, atau mengerjakan tugas. Di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun, sudah sewajarnya kita mengadakan obrolan-obrolan yang demikian. 

Bukan untuk menunjukkan betapa inteleknya kita, melainkan untuk membangun dan mengembangkan keintelektualan kita. Bukan untuk sombong dan merasa menang sendiri, tapi untuk rendah hati dan terbuka.

Dalam obrolan-obrolan tersebut hendaknya diisi dengan masalah. Mendapati suatu masalah, menganalisanya, mencari pemecahan dan solusi, kemudian menetapkan langkah seperti apa yang akan diambil. Atau paling tidak sampai ke solusi. Sehingga apa yang sebelumnya tidak nampak, dapat menjadi nampak.

Kampus sudah sewajarnya menjadi ruang terbuka, bagi berlangsungnya dialektika. Tidak hanya di kelas, perpustakaan, atau sekretariat organisasi. Melainkan di kantin; taman; HIK, burjo, dan angkringan area kampus; serta tempat-tempat lain yang sering dipandang "rendah".

Yang membuat dialog menjadi rendah bukanlah tempat, waktu, dan dengan siapa kita melakukannya. Melainkan terletak pada konten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun